Kalau sekarang dapat 111 vote sebelum 24 jam, update lagi Minggu.
Kalau enggak, Senin, ya! 😍
Kemarin cuma dapat 102.... dikiiiit lagiiii
Aku tak tahu berapa lama tak sadarkan diri. Ketika akhirnya berhasil membuka mata, aku mengerjap-ngerjap memandang langit-langit putih. Apa yang terjadi? Sebenarnya aku tidak langsung sepenuhnya pingsan. Aku tadi masih samar mendengar saat mereka menanyakan keadaanku, lalu membawaku ke atas brankar dan dilarikan ke IGD. Namun, setelah itu sakit di perutku semakin menjadi hingga aku benar-benar tak sadarkan diri.
"Alhamdulillah, kowe wes sadar, Nduk!" Suara Ummi membuatku menoleh. Kulihat dia menyalakan tombol panggilan agar perawat segera datang.
"Kamu pingsan kelelahan katanya."
Aku berusaha bangkit saat teringat anak-anak, tapi Ummi menahan bahuku lembut.
"Ini di ruang VIP. Qadarullah, alhamdulillah yo pas ada yang keluar hari ini. Sisa depositnya anak-anak langsung masuk lagi jadi depositmu. Anak-anak ada di sana." Ummi menunjuk ke bagian kiriku.
Aku terbeliak melihat tidak hanya Sri dan Mirza. Namun, Andre, Bagas, dan Yoyok juga ada di sana. Ruang VIP berukuran 4x5 meter cukup luas dengan satu sofa panjang untuk penjenguk. Memang tidak ada ranjang kedua seperti kelas VVIP, tapi sofa biasanya boleh dipakai untuk tidur juga.
"Kok Ummi bisa ke sini?"
"Naik taksi. Andre yang pesankan setelah pihak rumah sakit menelepon nomor darurat yang sudah kamu tulis waktu awal pendaftaran. Sekarang masmu balik dari kantor."
Aku membeliak. "A-apa dia marah?"
Ummi mengangkat bahu. "Ndak mungkin lah marah kalau istri pingsan kecapaian karena merawat anak-anaknya."
Suara salam terdengar dari pintu. Dokter paruh baya dengan kacamata besar masuk setelah mengangguk sedikit. Jilbab panjangnya berkibar seiring langkahnya yang masih terlihat tegas.
"Selamat siang, Bu Asiyah. Saya Dokter Puspita, spesialis internis." Dokter itu memperkenalkan dirinya sembari menjabat tangan kananku yang sudah diberi infus.
"Terima kasih sudah dibantu, Dok."
"Tadi, kami sudah melakukan cek darah atas persetujuan Ibu Anda." Dokter Puspita menoleh ke arah Ummi. "Ibu terkena tipes."
Aku beristighfar. "Bukan cuma mag, Dok?"
"Permisi, saya mau cek, ya." Dokter Puspita memeriksa mulut, mata, dan kemudian mulai menekan-nekan perutku. "Ini sakit?"
Aku langsung meringis menahan nyeri.
"Iya. Tolong jaga makannya, ya, Bu. banyak-banyak istirahat juga. Tidak boleh terlalu capek."
KAMU SEDANG MEMBACA
END Rahim untuk Suamiku
General Fiction[18+ NOVEL DARK RELIGI] Darah yang membasah tak jua membuatmu peduli. Nyawaku mungkin sudah tak lagi berarti. Kau inginkan keturunan yang akan menyelamatkanmu di dunia dan akhirat. Namun, rahimku tak lagi mampu memenuhi keinginanmu. Ia pergi dituka...