Bab 2 - "Mas Radi marah rahimku diangkat."

18.2K 1K 269
                                    

Rumah ini terasa begitu sepi tanpa sikap hangat dari suami terkasih

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Rumah ini terasa begitu sepi tanpa sikap hangat dari suami terkasih. Fisiknya mungkin hadir di sisi, tapi aku bisa merasakan pikirannya tak sepenuhnya hadir. Kali ini, Mas Radi membimbingku ke kamar utama. Tak hanya itu, dia juga membantuku untuk tiduran di kasur. Akan tetapi, senyum tipis penuh kasih tak hadir menghias wajah tampannya.

"Mas, Fatimah pulang dulu, ya. Mas Eka sudah otw sambil bawa anak-anak." Adik iparku masih tampak ceria kala bersalaman dengan Mas Radi. Ternyata suaminya sudah berangkat ke sini sembari mengantar putra-putriku.

Binar mata penuh semangat terpancar kala balik menatapku. "Mbak, istirahat yang banyak, ya! Kalau perlu apa-apa, WA Fatimah aja."

Aku berterima kasih dan merengkuhnya erat. Siapa yang menyangka wanita berusia 38 tahun itu saat ini hamil anak kedelapan dari sepuluh kehamilan. Mobilitasnya sama sekali tak terganggu. Bahkan menurut penuturannya, dia sempat menjagaku di rumah sakit bergantian dengan ibu dan ibu mertua.

Dibanding ketujuh saudara Mas Radi yang sudah terpencar ke penjuru nusantara, rumah keluarga Fatimah kebetulan cukup dekat hingga silaturahmi cukup mudah dilakukan. Bahkan anak-anakku dititipkan ke rumahnya saat aku di rumah sakit.

Memang ada juga adik keempat Mas Radi yang juga tinggal di wilayah Jabodetabek. Namun, aku jarang bertemu karena dia begitu sibuk mengurus anaknya yang berkebutuhan khusus. Ibu mertuaku pun sering datang ke sana untuk menemaninya.

Kadang, ada selisip iri pada kesehatan dan betapa subur kandungan Fatimah. Namun, pikiran buruk itu langsung kutepis dengan istighfar berulang. Aku tak boleh menyebabkan ain pada ipar yang paling kusayang.

"Apa kamu perlu Ummi di sini?" Mas Radi membelai rambutku. Aku bisa merasakan tangannya sedikit bergetar. Entah karena menahan kesal atau marah akan kegagalanku mewujudkan cita-citanya.

Memikirkan wajah keriput wanita berusia 75 tahun itu membuatku tak tega. "Jangan, Mas. Aku nggak tega. Aku nggak apa-apa, kok." Aku berusaha bangkit, tapi nyeri menghantam perutku. Aku setengah menjerit.

"Sst ... tiduran aja." Mas Radi menahan bahuku agar tetap rebahan. "Aku akan minta tolong Ummi. Kasihan anak-anak juga kalau nggak ada yang urus."

"Maaf, aku selalu merepotkan Ummi," bisikku penuh sesal.

Mas Radi menggeleng dan tersenyum. Di mataku, senyuman itu terasa hambar dan sekadar basa-basi. "Ndak apa-apa. Sekarang adikku udah punya perawat khusus buat anaknya. Ummi bisa diminta ke sini. Beliau pasti maklum."

Aku hanya membisikkan ucapan terima kasih berulang. Aku sesungguhnya tak ingin merepotkan. Apalagi Ummi sebenarnya lebih dibutuhkan di sana karena keponakanku terkena cerebral palsy. Namun, jika Mas Radi berkehendak, aku tak pernah mampu membantah.

"Kuambilkan minum, ya! Tunggu sebentar."

Belum sempat aku mencegah, Mas Radi sudah menghilang dengan cepat. Suasana kembali sunyi. Belum ada tanda-tanda Dik Eka datang membawa anak-anak. Fatimah pasti masih menunggu di teras seperti biasa.

END Rahim untuk SuamikuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang