Bab 1 - "Dok, apa istri saya sudah boleh diberi tahu?"

28K 905 114
                                    

Aku membuka mata

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aku membuka mata. Setidaknya aku merasa begitu. Akan tetapi, hanya kegelapan yang melingkupi. Hawa gigil menyergap tanpa ragu hingga tengkuk pun meremang. Aku meraba-raba sekeliling. Aku bahkan tak bisa melihat kedua tanganku sendiri.

Kosong.

Gulita.

Hening.

Di mana aku? Apa yang terjadi?

Otakku mengais jawaban di antara sel-sel yang mungkin saat ini tak bisa berfungsi dengan baik. Seiring setiap doa yang kupanjatkan, perlahan ingatan kembali datang.

Di mana bayiku?

Kuraba perut yang ternyata sudah cukup rata. Apa aku masih di meja operasi? Apa aku masih belum bisa tersadar? Apa ini semua mimpi? 

Ya, Allah, apa aku akan mati? Jika memang belum waktunya aku mati, tolong sembuhkanlah aku. Jangan sampai aku menjadi beban suami dan kedua orangtuaku.

Jika memang sudah waktuku, aku ikhlas. Engkaulah yang Maha Pemberi Keputusan Terbaik. 

Kupanjatkan doa sepenuh hati pada Sang Maha Pengabul Keinginan. Allah pasti akan menunjukkan jalan untukku.

Kemudian, samar-samar kudengar lantunan Al Quran yang begitu merdu. Suara perempuan yang terdengar familier. Nada khusyuk itu membuat hatiku hangat. Rasa damai melingkupi jiwa yang entah masihkah memiliki raga.

Namun, otakku masih tak bisa berpikir banyak. Semua masih terasa kusut dan tak berbentuk. 

Tiba-tiba, seberkas cahaya putih meluncur dari kejauhan dan langsung melahapku bulat-bulat. Napasku seperti tertarik dengan cepat dan tubuhku diluncurkan ke bawah.

Saat semua guncangan lenyap, aku mulai bisa merasakan tubuhku sendiri. Suara deru mesin yang lembut, cahaya lampu, botol infus, alas tidur yang sedikit keras, dan aroma rumah sakit yang khas memancing semua indraku kembali.

Kali ini, kucoba membuka kelopak mata. Rasanya berat sekali. Namun, aku yakin mampu. 

Aku harus mampu! 

Kuucapkan bismillah dan sekali lagi aku berjuang menggerakkan kelopak mataku ke atas. Akhirnya berhasil meski susah payah.

"MasyaAllah! Mbak Asiyah sadar!" Lantunan ayat suci Al Quran terhenti dan digantikan seruan penuh haru.

Masih agak samar kala kulihat sosok wanita berjilbab lebar dan bercadar bangkit untuk menekan tombol di sebelahku. Mungkin memanggil petugas. Gamis hitamnya melambai seiring gerakannya yang gesit untuk menekan beberapa tombol di gawainya.

"Mbak bisa denger Fatimah?" Kali ini dia menggenggam jemariku erat. 

Aku memusatkan pandangan. Wajah dengan kulit hitam manis yang tersembunyi di balik cadar itu adalah adik iparku. Ada air mata haru menetes di kedua mata bulatnya.

END Rahim untuk SuamikuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang