Bab 5 - Seperti ikan yang menggelepar saat ditarik dari sungai dengan jala

7.4K 704 108
                                    

"Mbak Asiyah kenapa?"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Mbak Asiyah kenapa?"

Aku membisu kala kami duduk di atas kasurnya yang terasa keras dan dingin.

"Mbak ndak mau cerita? Fatimah ndak isa dipercaya, tha?" Wajahnya melembut, tapi juga tak bisa menyembunyikan kekhawatiran tulus. 

Aku hanya menggeleng lemah. "Ini soal Mas-mu. Aku nggak bisa cerita kalau soal suami, kan? Nanti dosa kalau menjelekkan suami sendiri. Katanya menyebarkan aib." Nada suaraku terdengar hambar di kepalaku sendiri.

Sejenak Fatimah tak menjawab sebelum berujar, "Mbak butuh pendapat orang lain? Enggak punya solusi atas masalah sama Mas Radi?"

Seperti ikan yang menggelepar saat ditarik dari sungai dengan jala, aku terjerat. "Mbak nggak tahu lagi harus gimana." Nada suaraku terdengar bergetar.

Tiba-tiba Fatimah merengkuhku erat. "Lek ndak gelem cerita, ndak apa-apa. Cuma, Mbak mesti tahu, lek Fatimah always ready kalau disuruh gebug Mas Radi seandainya Mas jahatin Mbak."

Segala perasaan sentimentilku ambyar mendengar dialog campur-campurnya. Fatimah yang humoris dan selalu mampu membuat hatiku terasa sedikit lebih ringan. Dia pun melepas dekapannya.

"Memang boleh cerita kekurangan suami ke orang lain?" Aku membuang muka tak berani menatap ekspresi yang akan dikeluarkan Fatimah. 

Tiba-tiba tanganku digenggamnya lembut. "Lek untuk menyelesaikan masalah rumah tangga, kenapa tidak? Asal Mbak yakin orang yang Mbak curhatin mampu ngasih solusi dan bukan cuma bakal dijadiin bahan ghibah sama orang lain. Ada beberapa jenis ghibah yang diperbolehkan. Salah satunya, ya, untuk mengurai masalah yang kusut."

Kali ini aku menoleh. Kutelan liurku yang selalu terasa pahit setiap mengingat perlakuan Kak Radi kepadaku.

Setelah mengucap basmalah dan membulatkan niat berkisah untuk mencari bantuan, bukan berghibah, aku pun mulai bercerita. "Mas Radi marah karena rahim Mbak diangkat. Mbak nggak bisa tepati janji saat menikah dulu untuk memberinya anak sepuluh. Mbak gagal jadi istri."

Aku bisa mendengar suara debas cukup keras. "Mas Radi ngomong gitu ke Mbak?"

Aku tidak mengiakan. "Sikapnya jadi dingin. Memang biasanya dia tidak pernah membantu mengurus anak-anak, tapi sikapnya hangat. Sering membawakan oleh-oleh, memijit, kadang mendengarkan Mbak cerita macem-macem." Aku kembali menarik napas berusaha mencegah semua sesak ini meledak hebat. "Tapi sekarang, buat anter ke sini aja nggak mau. Cuma melengos dan balik ngeliat HP-nya sambil bilang 'ndak' dengan juteknya. Habis makan, malah ngadep laptop dan salamku juga dibalas sekenanya."

Fatimah tiba-tiba menepuk dahinya keras-keras. "Kakangmas-ku satu ituuuuu!" 

Ada kalimat istighfar meluncur di bibir sebelum Fatimah kembali melanjutkan kalimatnya. "Coba apa kurangnya Mbak Asiyah? Cantik, pinter, bisa masak, jago beres-beres, sabar pula! Kok bisa dicuekin gitu? Hmmm." Jemarinya menopang dagu sembari berpikir. "Padahal dulu, ndak ada yang mau sama Mas Radi. Takut mereka. Soalnya Mas Radi selalu njaluk anak sepuluh."

END Rahim untuk SuamikuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang