Bab 05. Penyusup.

34 11 2
                                    

Puluhan Rasi bintang berkilau menghiasi kelamnya malam. Rembulan tak mau kalah memantulkan sinar mentari ke bumi ini. Malam ini, seluruh penduduk desa benar-benar memadati setiap sudut jalan dengan kesibukan mereka masing-masing.

Malam Festival yang sangat di nanti semua orang termasuk para turis yang berseliweran di sekitar balai kota. Sebenarnya aku belum tahu Festival apa ini, aku tak terlalu berminat sungguh.

Seekor merpati putih bertengger di jendela kamar yang sengaja aku buka, di kakinya terdapat segulung kertas. Aku mendekat lalu mengambil kertas gulung itu. Kemudian membukanya.

╔═════════════════════╗
Untuk Grand Duke Ethaniel Lucius.

Di sebelah barat kota Mhyte ada pergerakan dari mereka, kau harus datang secepatnya. Mereka mengincar Festival yang akan diadakan besok.

Dari White Lily.

═════════════════════╝


Sepertinya aku harus berurusan dengan darah dan nyawa manusia, lagi dan lagi.
Aku segera mengambil pedang dan jubahku, lalu berlari kearah barat kota. Melompat diatas atap rumah, lalu melompat ke atap rumah yang lain, begitu seterusnya.

Tiga menit berselang aku sudah sampai di bagian barat kota yang merupakan sebuah wilayah terbengkalai, bekas peperangan beberapa tahun lalu yang belum di pulihkan.

Sebuah rumah besar terdapat di antara hutan yang mengelilinginya, aku menutup setengah wajahku dengan kain hitam di leherku, menyisakan mata dan dahi yang tidak tertutup. Aku juga menutup kepalaku dengan tudung lalu melesat melompati setiap dahan pohon dan tiba di depan rumah itu.

Samar-samar aku mendengar suara seseorang dari dalam, Aura mereka bahkan bisa aku rasakan. Satu orang tingkat tujuh Aura, satu orang penyihir lingkaran ke-5, dan empat orang tingkat dua sampai tiga.

"Huh ... "

Aku melompat ke pohon yang dekat dengan jendela atas, lalu mengintip sedikit di balik jendela. Keenam orang itu tengah berada di dalam ruangan yang hanya disinari dengan lampu kuning yang agak redup, pria tingkat tujuh tersebut tengah duduk di kursinya, sedangkan si penyihir berdiri di sampingnya. Keempat orang bertudung hitam berdiri mengelilingi mereka tertunduk.

Aku melepas kain yang menutup setengah wajahku. Aroma anyir darah mulai menyeruak kedalam hidung. Suasana di tempat ini sangat luar biasa kacau, secepatnya aku pergi mencari asal dari aroma darah tersebut; dan mendapati sebuah bangunan yang terbuat dari batuan berbentuk persegi, pintunya terbuat daei besi, memantulkan cahaya rembulan yang bersinar terang.

Aku mencoba membuka pintu, akan tetapi pintunya sulit di buka. Cairan berwarna merah keluar dari dalam sana. Aku duduk dan menyentuh cairan itu dengan jari telunjukku. Darah segar tercium jelas, membuat nafsu membunuh menyelimuti diriku. Namun aku mencoba untuk menepis rasa itu.

Pintu belakang rumah kayu itu terbuka sedikit, tanpa berpikir lagi aku masuk kedalamnya. Di dalam sana hanya disinari lilin di setiap tiang kayu berwarna coklat. Sebuah tangga menuju keatas tampak di sudut ruangan, aku mendekat lalu mendengar suara dari lantai atas. Seorang pria tengah berbicara.

"Apa semuanya sudah selesai? Aku tak sabar untuk esok." ujarnya.

Tak lama suara-suara itu mereda, seseorang menuruni tangga. Aku segera bersembunyi dibalik sebuah box di dekat tangga itu. Seorang pria turun, aku segera melemparkan belati ku padanya, tepat mengenai jantungnya. Pria itu pun terjatuh.

Pria lainnya menyusul menuruni tangga, ia mendapati rekannya yang aku bunuh. Pria itu menatap sekitar, lalu naik keatas.

"Ada penyusup di rumah ini tuan," suaranya terdengar jelas. Pria itu melapor pada atasannya.

"Cari penyusup itu sampai ketemu!" titah pria satunya.

Langit-langit terbuat daei kayu, sehingga terdengar jelas semua perkataan di lanta atas olehku.

Pria tadi turun bersama dua rekannya, mencari diriku ke setiap sudut ruangan. Seseorang mendekat ke tempat persembunyian ku, hanya satu jengkal lagi dia menemukan diriku. Tiga buah pisau tergenggam erat di sela jariku, lalu menghujam ketiga pria di ruangan itu. Salah satu dari mereka berteriak kesakitan. Membuat dua orang pria diatas bergumam kesal lalu turun ke bawah.

Barulah aku menampakkan diriku. Pria tingkatan tujuh menatapku, senyum licik terukir diwajahnya. Sementara penyihir dibelakangnya hanya terdiam ia menunduk. Namun aku tahu ia sedang merapal mantra sihirnya.

"Aku tak menyangka bisa ketahuan begitu mudahnya, bahkan seorang Assassin rendahan ingin membunuh diriku."

Aku hanya bergeming, menatap pria itu. Pria dihadapanku merupakan salah satu buronan Kekaisaran. Salah satu dari anggota dark society. Walaupun tingkatannya paling rendah kedua di organisasi itu.

Aku membuka tudung kepalaku,"Apa kau mengenal diriku yang seorang Assassin rendahan ini?"

Kedua matanya kini berubah, tidak sombong saat pertama kali melihatku, "Kau sudah mengerti bukan,"

Pria itu menggerutu, lalu menarik pedang di pinggangnya,"Aku tidak bisa di provokasi!"

"Oh, mari kita lihat siapa yang akan mati terlebih dahulu." Aku mengeluarkan seluruh Auraku yang tadi aku sembunyikan. Memenuhi seisi ruangan sempit ini. Kemudian menarik pedang hitam milikku lalu melompat dan menebas tubuh pria itu.

Serangan ku tak mempan, ia menangkisnya. Permulaan yang bagus. Akan tetapi aku jauh lebih kuat. Pria itu menyerang, serangannya sangat brutal dan tak tentu arah. Sepertinya dia kesal karena diriku. Dan itu merupakan kesempatan yang baik untukku. Mempermainkan emosi lawan.

"Kau pikir seberapa kuat dirimu sampai merasa begitu mudah menghabisi nyawaku?"

Pria itu mencoba menebas tubuhku, aku langsungnya mengelak, melompat ke sisi lain lalu menyelimuti pedang dengan Aura. Lalu menebas pria dihadapanku. Pria itu tak bergeming kembali mengarahkan pedangnya padaku. Aku hanya menghindar.

"Apa kau hanya menghindar yang mulia? Bukankah anda dijuluki sebagai 'Anjing setia Kekaisaran', bukankah anda sangat kuat?"

"Memang, aku hanya bermain dengan dirimu, sudah lama tak bertarung seperti ini."

Pria itu mendesah kesal. Aku mencoba mempermainkan dirinya, itu hal yang sangat menyenangkan. Terlebih jika lawan menunjukan emosi, itu mempercepat pengambilan nyawa.

"Aku bukan mainan,"

Aku tak menghiraukan perkataannya, kembali memprovokasi. Saat ia mulai memanas aku menebas kepalanya. Darah segar berceceran memenuhi lantai. Si penyihir bergeming, tidak bergerak sedikitpun.

"Aku tak menyangka anda sudah berubah yang mulia," penyihir itu membuka tudung putihnya. Menampakkan wajahnya yang seputih susu, rambutnya berwarna perak keemasan, matanya kecil berwarna perak. Aku mencoba mengingat dirinya, namun hasilnya nihil aku tak tahu siapa orang dihadapanku.

"Apa anda tak mengenal diriku? Saat berusia lima belas tahun rasa haus darahmu sangat besar bukan? Bahkan kau sudah membunuh lebih dari seratus orang. Sekarang apa yang kau lakukan di tempat ini? Mencoba menjadi pahlawan dan menggagalkan rencana kami?"

Aku mendekati pria itu, "Aku tak pernah berpikir untuk berubah, haus darah? Tentunya aku identik dengan hal seperti itu."

Throne et Amore (Segera Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang