Bab. 17. Aula Pesta.

11 3 1
                                    

Aku sudah siap dengan pesta, memakai setelan pesta pertamaku. Baju berwarna putih dengan sulaman motif mawar berwarna biru tua. Benang emas menghiasi setiap tepian, Bros yang di berikan Lyon terpasang di dada kiriku. Bersama jubah putih dengan motif yang sama. Serta celana panjang yang senada dengan bajunya.

Semua mata tertuju padaku, aku tak tahu apa yang mereka pikirkan. Mungkin hadirnya aku di sebuah pesta aneh bagi mereka. Karena aku hanya menghadiri pesta yang di adakan untukku.

Aula Istana di padati setiap bangsawan di kekaisaran ini, bahkan Raja dan Ratu dari ketujuh kerajaan datang bersama anak-anak mereka.

Yang benar saja, ruangan ini benar-benar di penuhi berbagai aroma parfum yang menjijikkan, membuat isi perutku meronta ingin keluar.

Sekarang ini, aku tengah berdiri di samping Baginda Kaisar. Menyambut tamu yang hadir di pesta, sebagian dari mereka menatapku penuh dengan keheranan dan rasa penasaran. Sisanya biasa saja, bersikap normal.

Baginda Kaisar dengan jubah panjangnya menyambut setiap tamu dengan ramah, senyum terpasang di wajahnya. Setiap pria di sekitarku belum menikah, aku tidak tahu kenapa. Salah satunya pria berambut blonde di sampingku ini.

"Kakak, aku bosan dengan pesta ini!" ujarku.

Sang Kaisar menatapku, dia tersenyum simpul. Tangan kanannya menepuk pundakku, "Pestanya baru dimulai, kau sudah merasa bosan?"

Aku melepaskan genggaman tangannya dari pundakku, "Apa salahnya?"

Aku melirik ke sana-kemari, mencari seseorang untuk bisa di ajak berbicara. Ran belum tiba di pesta, mungkin sebentar lagi.

"Dimana Lyon?" tanyaku.

"Lyon? Dia sedang mengatur pesta di balik layar, apa kau tak tahu itu?"

"Benar, aku lupa! Aku akan pergi sebentar."

Tiba-tiba tangan kirinya direntangkan di hadapanku, "Keluarga Raizel akan tiba sebentar lagi, kau yakin tidak ingin bertemu dengan wanitamu?"

Aku menatapnya penuh tanya, 'bagaimana bisa dia tahu Ran akan datang?'

Aku mengurungkan niatku, tetap berdiri di sampingnya. Seorang pelayan wanita membawa dua gelas sampanye di atas nampan perak, aku dan pria itu mengambilnya. Meneguk cairan kuning lemon itu masuk kedalam mulutku kemudian meletakkannya di atas meja.

Aula pesta semakin lama semakin dipadati para bangsawan, aroma parfum berbagai macam menyeruak masuk kedalam hidungku. Seakan tahu apa yang aku rasakan Kaisar memberikan sepiring kue cokelat padaku. Aku mengambilnya dan menghabiskannya tanpa sisa.

"Terimakasih, bagaimana kau tahu aku mau muntah?"

"Alasanmu tidak menghadiri pesta karena bau parfum yang menyengat bukan, jadi aku menyuruh koki dapur untuk membuat kue cokelat dengan tambahan kopi di dalamnya. Untuk penangkal rasa mual,"

"Kau tahu aku suka cokelat, sejak kapan?"

"Kau selalu merengek meminta cokelat padaku sejak kau masih kecil bukan?" ujarnya sambil mendekati meja yang di penuhi berbagai macam kue.

Aku menunduk, merasa malu dengan ucapannya, "Kenapa kau mengatakan hal itu, itu membuatku malu!"

"Mau lagi?" tawarnya sambil memegang sepiring kue cokelat. Aku menganggukkan kepalaku, lalu meraih piring kecil di tangannya.

"Tak ada kegiatan lain selain menemani diriku?" tanyanya padaku.

Aku memandanginya, berusaha tak perduli. Pria itu berjalan pergi meninggalkan diriku bersama segelas sampanye dan sepiring kue.

Terdapat satu sofa kosong di belakangku, aku memilih duduk di sana sambil menghabiskan kue di piringku. Selesai membersihkan makanan yang berada di atas piring kecil, aku memutuskan untuk pergi ke tempat lainnya.

Beberapa detik kemudian suara sambutan dari penjaga bergema, menyebutkan satu nama keluarga yang tengah aku tunggu sedari tadi, Count Raizel dan keluarganya telah tiba. Aku bergegas mendekati pintu depan Aula, empat orang baru saja masuk dari sana.

Dua orang pria dan dua orang wanita, seorang wanita muda mengenakan gaun berwarna putih dengan gradasi biru tua di bagian bawahnya. Motif bunga mawar menghiasi gaunnya, tidak ada renda hanya ada seutas pita putih melingkar di pinggangnya. Gaun itu serasi dengan mata birunya yang sangat cerah, rambut hitam legamnya di ikat sedemikian rupa dengan tambahan aksesoris bunga mawar biru.

Wanita muda itu berjalan anggun di belakang kedua orang tuanya, seorang anak laki-laki berjalan beriringan di sampingnya memakai jas senada dengan wanita di sampingnya.

Aku hanya bisa terdiam, terpana melihat kecantikan dan keanggunan yang di miliki wanita di hadapanku.

Keempat orang itu berjalan mendekati sang kaisar, menunduk hormat padanya, lalu bercengkrama. Aku ingin mendekat, akan tetapi keraguan menyelimuti hatiku. Jadi aku mengurungkan niat untuk bertemu dengannya.

Lebih baik aku pergi merenung di balkon, seperti biasanya hingga acara usai. Setidaknya aku sudah melihat apa yang ingin kulihat.

Aku menatap sekitar, ramai. Semakin lama kian riuh dengan berbagai perbincangan. Entah itu gosip panas atau hal lain sejenisnya.

Tak lama, langkah seorang wanita terdengar di belakangku. Aku berbalik, dan mendapati seorang wanita dengan hiasan rambut berbentuk bunga mawar di kepalanya, tersenyum manis padaku.

Wanita itu menunduk, mengangkat gaun putihnya dengan jari kecil miliknya kemudian berujar, "Dame Raine Raizel memberi hormat kepada pedang yang menjaga Kekaisaran ini, Yang Mulia Grande Duke Ethaniel Lucius!"

"Terimakasih, saya pikir Dame mengurungkan niat untuk pergi ke Pesta ini," ujarku.

Wanita di hadapanku menutup bibir mungilnya dengan tangan kecilnya, kemudian tertawa pelan, "Tidak mungkin saya tidak menepati janji Yang Mulia!"

Aku melangkah mendekatinya, "Acara sudah hampir di mulai, apa Anda ingin berdansa dengan saya?"

Aku menunduk, memberikan tangan kananku padanya, sementara tangan kiriku berada tepat di depan pinggang. Wanita itu menyambut tanganku, "Suatu kehormatan bagi saya bisa berdansa dengan Anda!"

Dan setelah itu kami berdansa bersama dan hidup bahagia selamanya, kami menikah di karuniai dua anak kembar. Satu anak laki-laki, dan satu anak perempuan. Ran sudah menjadi seorang Grande Duchess yang sangat luar biasa. Sehingga aku bisa leluasa bersantai.

Seharusnya seperti itu jika sesuai dengan apa yang aku inginkan, tapi faktanya tidak. Di pertengahan dansa, semua mata tertuju padaku dan Dame Raine, setelahnya suara gaduh yang berasal dari bagian luar Istana kekaisaran terdengar begitu kencang. Setiap bangsawan yang memiliki kemampuan beladiri mengambil senjatanya masing-masing untuk berjaga. Sementara lima pasang insan yang tengah berdansa menghentikan langkahnya—termasuk kami berdua, musik berhenti mengalun.

Semua jendela kaca pecah, serpihannya bertaburan dimana-mana. Beberapa orang terluka, sementara itu gerombolan manusia berpakaian serba hitam muncul dari jendela yang sudah pecah tersebut.

"Apa ini penyergapan?" Ran bertanya padaku, wajahnya berubah panik. Pedang miliknya sudah berada di tangannya, begitupun denganku.

"Apa kau bisa bertarung menggunakan gaun?" tanyaku padanya.

"Tentu saja, aku tidak bisa!" balasannya sambil merobek bagian bawah gaun putihnya.

Throne et Amore (Segera Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang