"Flo ayo angkat, maafin aku..." Freya menangis sesenggukan seraya terus menerus menghubungi nomor telepon Flora.
Flora benar benar tak ada kabar, menghilang dari kemarin siang.
Setelah Freya memutuskan untuk menemani Bian dan tak mengabari Flora, Flora benar benar hilang kabar sampai sekarang. Nomernya bahkan tidak aktif, Freya datang ke kontrakan nya pun kosong.
Btw, Freya masih perang dingin dengan Adel. Hanya Zean yang menyapanya, walaupun Zean masih marah dengan Freya. Laki laki berkebangsaan Inggris itu sadar ini bukan hubungannya dan tidak berhak marah lebih lama pada Freya. Zean tetap menyapa Freya seperti biasa, berbeda dengan Adel yang sepertinya melihat wajah Freya saja dia sudah muak.
Freya juga sudah memohon mohon kepada Adel untuk membantunya mencari Flora, akan tetapi nihil, Adel bahkan tidak merespon chat nya sama sekali.
Freya hanya bisa menangis dan khawatir akan keadaan pacarnya itu.
Saat sedang menangis di balkon kamarnya, menunggu kabar Flora, pintu balkon terbuka menandakan ada seseorang yang masuk.
"Untuk apa kamu menangisi gadis itu." Tepat, itu Zeran.
"Semalam, ayah temui dia dan ayah beri penjelasan kenapa dia tidak akan pernah bisa bersatu dengan kamu. Dari segi finansial saja sudah terlihat. Putus sekolah. Kerja hanya dengan gaji 2 juta. Bagaimana bisa dia mau menikahi kamu. Mau di kasih makan apa kamu sama orang itu?"
Freya memejamkan matanya dan kemudian menarik nafas dalam. Dadanya terasa sesak mendengar ucapan menyakitkan ayahnya tentang Flora.
"Sangat berbeda jauh dengan nak Bian. Dia calon diplomat, kerjaannya jelas. Ayah juga kenal baik dengan kedua orangtua Bian. Jadi—ayah minta sama kamu, stop mikirin Flora yang tidak jelas itu. Ada Bian, kamu bisa sama Bian. Lupain lah gadis miskin itu. Cari yang sama sama ber value." Pungkas Zeran yang membuat kepala Freya semakin dalam menunduk.
Tuhan, sungguh Freya tidak mau membantah dan durhaka kepada ayahnya, akan tetapi mulut ayahnya sungguh sudah di luar batas. Tidak bisa di diemin, ayahnya sudah keterlaluan.
"Kamu berangkat kuliah ke Colombia satu Minggu lagi. Kamu kuliah disana bareng nak Bian, dia juga ikut kamu pindah ke Colombia. Ayah harap kamu mengerti. Ingat, ayah tidak suka di bantah." Tegas Zeran dan kemudian membalikkan tubuhnya untuk pergi dari balkon.
Saat kaki Zeran ingin melangkah, perkataan Freya membuatnya menghentikan langkahnya.
"Kalo aku gak mau, apa yang bakal ayah lakuin?" Balas Freya lirih.
Tawa Zeran terdengar, "Hahahahaha, mau melawan kamu sama ayah? Mau jadi anak pembangkang seperti Cici mu? Sudah, jangan menentang. Cuma kamu yang bisa ayah harapkan." Ujar Zeran dengan nada penuh keegoisan.
"Apa ayah bakalan enggan untuk anggap aku anak ayah, kalau semisalnya aku nolak untuk kuliah di Colombia?" Freya menghiraukan ucapan Zeran dan terus bertanya.
"Ayah tau? Aku cape hidup dibawah tekanan..."
"Mau melawan kamu, hah?!" Seru Zeran.
Freya menangis.
"Aku cape yah... Aku cuma pengen bahagia dengan orang pilihan aku. Dari kecil aku selalu turutin semua kemauan ayah. Mulai dari SMP, ayah gak bolehin aku untuk dapat nilai dibawah 100, oke, nilai aku semuanya 100 seperti yang ayah mau. SMA, ayah suruh aku masuk IPA dan terus nge-push aku agar mendapat nilai terbaik dari seluruh angkatan. Apa ayah ingat? Cita cita aku itu jadi penyanyi yah, tapi dari aku SD, ayah selalu push aku agar aku jadi Dokter. Aku selalu relain semuanya demi mengikuti kemauan ayah, aku harus mengubur dalam dalam mimpi aku untuk jadi seorang penyanyi, aku merelakan masa remaja aku untuk fokus belajar belajar dan belajar. Itu semua karena apa? Karena aku gak mau ngecewain ayah..."