Patah Hati

573 72 11
                                    

"Benar kata orang, kalau siap jatuh cinta juga harus siap untuk patah hati. Makanya, ada yang bilang kalau jatuh cinta jangan berlebihan, supaya kalau patah enggak ambyaaar!"

__________________

Adipati

Aku berdiri menatap bangga lurus kedepan saat baret komando dipasangkan dikepala oleh Komandan Jenderal Kopasus, Letnan Jenderal Sumitro Hadiwijoyo. Rasanya seluruh kerja keras, rasa lelah, dan memar ditubuh selama pelatihan komando tujuh bulan ini terbayar sudah.

Usai pembaretan, seperti biasa, aku berbaris bersama yang lainnya menunggu untuk 'diserbu' oleh keluarga dan orang tercinta. Aku melihat banyak dari orang tua dan orang tercinta kami yang berlari mencari anak mereka di balik balutan wajah hitam kami yang tentu saja akan sulit untuk dikenali.

Aku mulai putus asa karena sudah hampir lima belas menit berdiri, tapi belum ada dari orang terdekatku yang 'menemukanku'. Kalau orang tuaku, sudah pasti tidak akan hadir dalam acara seperti ini. Pencapaianku selama pendidikan baik selama menjadi taruna dan siswa komando seolah tidak ada harganya di mata mereka.

Aku merasa maklum, karena kedua orang tuaku agaknya kurang setuju saat aku memutuskan memilih militer sebagai jalan hidupku. Maunya, ya, meneruskan usaha kuliner yang sudah mereka rintis sejak lama, atau menjadi seperti yang ayahku inginkan, masuk kedokteran. Namun, terkadang, sebagai anak kita juga harus membuktikan jika kita bisa berprestasi dan 'hidup' dengan mimpi yang kita pilih.

Aku menatap sekeliling. Sepertinya sudah hampir semua prajurit ditemukan oleh keluarganya. Oke, aku mulai putus asa karena aku juga belum melihat sosok cintaku itu ditengah-tengah kerumunan para keluarga.

Dia nggak mungkin salah meluk orang, kan?

Lihat, kan? Aku se-frustrasi itu kalau belum berhasil menemukan cintaku itu. Namun, tak lama, aku melihat dia, berbalut kemeja putih hitam dan celana kain panjang sedang berjalan cepat, setengah berlari membawa sebuah bucket bunga. Rambut panjangnya yang hitam tertiup angin, membuat wajah ayu-nya segera terpampang nyata. Wajah yang selalu aku rindukan selama tujuh bulan ini.

Aku tersenyum. Itu dia takdirku.

Perempuan yang tidak sengaja aku temui di pelataran Malioboro saat masih taruna dulu. Kami sama-sama mengisi acara di Pekan Budaya Tionghoa di Jogjakarta. Aku dengan drum band kebanggaanku bersama teman-teman tarunaku dan dia bersama teman-teman dari sanggar teaternya.

"Halo, Bang ... selamat, yah, akhirnya kesampaian juga cita-citanya pakai baret merah."

Aku tersenyum bangga. Ingin rasanya kupeluk tubuh rampingnya itu, ingin rasanya mengungkapkan seberapa rindunya aku dengan perempuan yang menjadi cinta pertamaku ini. (Yang aku harapkan juga akan menjadi yang terakhir, jika Tuhan mengizinkan.)

"Terima kasih, ya, sudah datang." Aku hanya sanggup mengacak lembut puncak kepalanya. Aku juga tidak tega jika nantinya pakaiannya kotor terkena lumpur dan cat dari tubuhku.

"Datang sama siapa sampai sini?"

Aku akhirnya keluar dari barisan. Rindu rasanya mengobrol dan mendengar suara Ranita. Ya, bagaimana selama tujuh bulan penuh yang didengar di telinga hanya teriakan para pelatih komando saja.

"Teman," jawabnya singkat.

Aku mengernyit. Jawaban yang keluar dari mulutnya sebenarnya bukan jawaban yang aku harapkan. Jujur saja, aku sudah berpacaran hampir tiga tahun dengan Ranita, aku pun sudah mengenal dekat keluarganya. Ayah, ibu, dan adik laki-lakinya. Aku berharap sesungguhnya dia bisa datang bersama keluarganya, bukan temannya.

ARAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang