Aku berdiri tegap dengan menggunakan pakaian dinas upacara. Usai melalui pendidikan di Amerika Serikat, aku segera mendapatkan pendidikan intelejen di negara besar itu selama kurang lebih tujuh bulan. Atasanku bahkan melarang ku memotong rambut hingga rambut yang semula pelontos ini sudah menjadi lebih panjang.
Awalnya, usai pendidikan, aku mendapatkan tugas mengintai kapal perompak somalia di perairan Samudera Hindia. Berhasil menghalau perompak, aku kembali mendapatkan tugas di Kongo selama satu tahun. Di negara itu, aku mendapat tugas khusus untuk mengintai dan melakukan infiltrasi dengan pihak pemberontak di sana.
Terakhir, atasan memilihku untuk menyusup ke dalam sindikat mafia White Rose. Menggali berbagai informasi di sana, mencari tahu bagian sindikat hitam yang bisa saja mengancam negara ini. Tugas yang melelahkan, berbahaya, dan lama. Selama itu pula, pikiranku terus berputar pada Lengkara.
Aku sudah sangat kejam kepadanya. Mungkin dia sudah membenciku saat ini. Atau mungkin sudah melupakanku. Delapan tahun bertugas di luar negeri dengan identitas baru membuatku cukup asing saat kembali ke negeri sendiri.
Aku menerima kenaikan pangkat dan tanda jasa atas kesuksesan tugasku. Tiga balok emas kini sudah tersemat di kedua bahuku. Sebuah tanggung jawab yang lebih besar kini mulai menanti. Aku sedikit terkejut saat mendapat surat panggilan langsung dari bapak presiden. Beliau memintaku secara langsung untuk bergabung dalam korps pasukan pengawalan presiden. Aku mendapat tugas dalam grup 1. Pengawalan presiden.
"Identitas aslimu sudah kembali. Jadi, mulai sekarang kamu kembali menjadi Adipati Danardyaksa."
Aku mengulas senyum dan bernapas lega. Akhirnya setelah delapan tahun berada di luat negeri dengan identitas asing, aku akhirnya dapat kembali menjadi diriku sendiri. Yang aku lakukan sekarang membuka ponselku dan mencari nomor ponsel Lengkara.
Aku terdiam. Menatap ponsel yang sudah jelas tidak dapat diaktifkan lagi itu. Belum sempat menghubungi Lengkara, aku sudah diminta menghadap ke istana.
Bergabung dengan korps pasukan pengawalan presiden rupanya jauh lebih sibuk. Aku harus mengikuti kegiatan presiden yang begitu banyak dan padat. Senantiasa waspada saat menjalankan kunjungan baik ke daerah, maupun ke luar negeri.
Tubuh ini lelah, tapi melihat semangat bapak presiden yang seolah tidak kenal lelah itu, rasanya menjadi penyemangat tersendiri bagiku.
"Ada pertemuan di Jogjakarta dengan perusahaan tambang dan beberapa investor. Kamu masih sendiri, kan? Tugas ini saya berikan sama kamu. Setelah ini kamu boleh mengambil cuti."
Aku mengangguk pasrah saja. Tetap siap sedia dalam berbagai suasana. Rombongan kami pun berangkat ke Jogjakarta dengan menggunakan pesawat kepresidenan. Rombongan bertolak dari bandar udara di Papua menuju Jogjakarta.
Tidak lama setelah mendarat, presiden sempat beristirahat sejenak di Istana negara. Tidak lama setelah itu, presiden kembali bersiap untuk berangkat menuju acara Gala Dinner sebuah perusahaan tambang nikel terbesar di Indonesia.
"Adi, lelah ikut saya?" tanya bapak presiden saat aku duduk di kursi paling depan.
"Siap, izin tidak, Bapak."
"Kamu masih muda. Berprestasi lagi, sudah punya pacar?"
"Izin. Sudah, Bapak."
Presiden mengangguk. "Kasihan pacarmu, ditinggal terus, ya. Langsung menikah saja, Di. Nanti saya yang jadi saksinya."
"Izin, Bapak, terima kasih banyak atas perhatiannya."
"Saya tidak bisa memberikan apa-apa selain menyaksikan kamu menikah dengan calonmu. Saya tunggu undangannya. Pasti saya akan datang, Di."
KAMU SEDANG MEMBACA
ARAH
Romantizm"Seperti berjalan, hubungan pun juga harus punya arah agar jelas kemana nantinya akan bermuara."