"Rasanya, hati ini sudah mati. Tidak ada lagi getaran unik yang muncul seperti saat aku bertemu dengan cinta pertamaku. Apa mungkin benar kata orang, cinta pertama itu terlalu berkesan hingga sulit dilupakan. "
____________________
Adipati
"Jadi, siapa itu Clarisa?" tanyaku pada seluruh anggota reguku yang sudah aku minta untuk berbaris rapi di lapangan batalyon. Raunganku ini mungkin bisa saja terdengar sampai ke sudut-sudut batalyon saking kerasnya.
Aku mengeratkan rahang, mengedarkan tatapan tajamku ke arah beberapa anggotaku yang kini sedang ' kusiksa'. Mereka aku minta melepaskan pakaian mereka dan bertelanjang dada, lalu merebahkan diri di atas lapangan basket yang permukaannya panas karena terpapar bebas oleh sinar matahari siang itu.
Aku biarkan mereka menatap lurus ke atas, langsung ke arah matahari.
"Saya ulangi, siapa itu Clarisa?" tanyaku sekali lagi dengan rauangan yang lebih keras. Namun, tidak ada satu pun dari anggota reguku yang berani buka suara.
"Sit up satu seri!" titahku yang segera dilaksanakan oleh mereka. Usai melakukan sit up, aku minta mereka untuk membalikkan tubuhnya dalam posisi tengkurap.
"Saya tanya untuk yang terakhir, siapa itu Clarisa?"
Kali ini, aku sudah mengambil selang panjang yang biasa digunakan pelatih, aku minta mereka melakukan push up sebanyak satu seri dan ditengah-tengah acara push up itu, aku memukul punggung mereka bergantian secara membabibuta.
"Kalau tidak ada yang mau menjawab, saya akan kasih kalian sikap taubat di sini sampai maghrib!" ucapku tegas. "... ingat, kan slogan kita, sakit satu sakit semua?"
Tak lama, salah seorang anggotaku berdiri tegap seraya memberikan hormatnya.
"Izin, Ndan. Ini semua salah saya!" teriaknya lantang.
Aku menoleh, menatap anggotaku itu dengan saksama. Aku pun berjalan menghampiri anggotaku itu. Serka Sigit namanya. Aku menatapnya sengit. Berani sekali dia memberikan nomor ponselku pada orang lain. Perempuan lagi! Jangan harap bisa lepas!
"Jadi, jelaskan, siapa itu Clarisa?" tanyaku tegas.
"Izin, Komandan dia itu ... sahabat pacar saya. Katanya naksir dengan komandan waktu ada acara donor darah di Universitas Hasan Sadikin. Dia minta nomor komandan."
"Terus kamu kasih?"
"Izin, awalnya tidak, Ndan."
"Terus, kok, dia bisa telepon saya?"
"Izin, Ndan, dia minta pacar saya untuk mengirimkan nomor itu sama Clarisa."
Aku memicingkan mataku. Entah siapa yang benar di sini. Keduanya mengungkapkan hal yang berbeda. Clarisa bahkan mengatakan jika Serka Sigit yang memberi nomor dan memintanya menelponku. Hhh ... ada-ada saja.
Aku membuang napas kasar.
"Siap, Salah, Danton!" teriaknya lantang.
Aku mengeratkan rahangku, mendekati dia dan menatapnya dengan tajam. Aku menggeram kesal. Meskipun aku tetap menanggapi telepon Clarisa itu dengan baik dan sopan, tetap saja memberikan nomor telepon orang lain tanpa izin dengan tujuan yang tidak jelas itu sudah melanggar privasi.
"Kamu tahu apa salahmu?"
"Siap, tahu!"
Aku menggeram sekali lagi dan meminta anggota reguku itu untuk berdiri tegak, mengambil sikap sempurna. Kalau tidak dihukum dengan maksimal, bisa-bisa kejadian seperti akan terulang lagi. Selain aku mendapat malu, juga rasanya pride-ku sebagai komandan hilang seketika.
![](https://img.wattpad.com/cover/342310739-288-k25943.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
ARAH
Romance"Seperti berjalan, hubungan pun juga harus punya arah agar jelas kemana nantinya akan bermuara."