Delapan Tahun Kemudian.
"Jadi, kamu serius nolak pinangan Pak Dirga, Kar?" tanya Tania saat kami berjanji temu usai seharian bekerja.
Ya, delapan tahun berlalu, banyak hal yang sudah aku lewati. Lulus kuliah, sampai dapat beasiswa ke luar negeri setelah kurang lebih satu tahun aku mengikhlaskan kepergian Adipati. Sekarang, sudah delapan tahun sejak kejadian itu dan,ya ... aku masih sendiri.
Tania dan Bayu akhirnya menikah. Mereka mempunyai anak yang lucu, namanya Azriel. Sekarang, Azriel bersekolah di tempat aku mengajar. Kebetulan, aku sekarang menjadi tenaga pendidik taman kanak kanak di TK Tunas Bangsa.
Pak Dirga yang sedang dibicarakan Tania itu adalah rekan kerja Bayu. Suaminya sekarang bekerja di perusahaan tambang di luar pulau. Bisa di bilang, Pak Dirga adalah pemilik dari perusahaan tempat Bayu bekerja. Bahasa kerennya, CEO.
Aku juga heran, kenapa Pak Dirga itu terus mengejar jawabanku untuk menikah dengannya. Jangan salfok dengan panggilan 'Pak' , sebenarnya, Dirga juga belum tua-tua amat. Usianya hanya terpaut dua tahun dariku. Beruntung, dia anak sultan, jadi diumurnya yang baru menginjak tiga puluh tahun, dia sudah dipercaya oleh keluarganya untuk menjadi CEO.
"Jadi, Pak Dirga kurang apa, Kar?" tanya Tania sembari melipat kedua tangannya tepat di depan dada.
"Nggak ada."
"Terus, kenapa ditolak?"
Aku mengembuskan napas panjang seraya menyuapkan satu kentang goreng pada Azriel.
"Ya ... nggak bisa aja. "
Tania menatapku tajam dengan wajah dan ekspresi yang sulit diartikan.
"Masih gara-gara Adipati, Kar?"
Aku membulatkan mataku, menatap Tania malas. Aku memutar kedua bola mataku. "Kenapa sebut lagi nama itu, Tan?"
"Habisnya... kamu kayak masih nungguin dia terus. Ini sudah delapan tahun, Kara. Sadar! Kamu nggak pernah dapat kabarnya, ponsel tidak aktif berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun. Mana tahu kamu kalau dia sudah nikah sama orang lain atau belum? Kar, aku kasih tahu, ya, hidup itu harus realistis. Begitu pula cinta. Untuk apa kamu nungguin orang yang nggak pasti keberadaannya. Aku rasa, delapan tahun bukan waktu yang singkat buat kamu ngelupain dia."
Aku menunduk, memandang Azriel yang sedang asyik melihat orang-orang berlalu lalang di hadapannya.
"Mami, mau mimik."
Aku menoleh saat mendengar Azriel mulai merengek. Yah, meskipun ada ibu kandungnya di depan mata, tetap saja, anak laki-laki menggemaskan ini memeluk, merajuk, dan memanggilku dengan sebutan 'Mami' seolah aku ini adalah mama kandungnya.
"Semakin ke sini, aku jadi semakin sadar kalau ternyata, Mas Adi nggak bisa sepenuhnya dilupakan."
Tania diam sejenak. Ia menatapku semakin lekat. Tania mendekatkan posisi duduknya ke arahku, lalu berkata, "Jadi kamu masih berharap dia pulang dan kembali sama kamu, Kar?"
Aku menahan napas sejenak. Mengharapkan Adipati kembali sama seperti sebuah fatamorgana bagiku. Sudah delapan tahun berlalu, hari demi hari aku lalui dengan terus berharap dan menunggu. Mungkin aku yang bodoh, dia sudah tidak mau berjanji, tidak mau memberi harapan, aku saja yang terus berharap.
"Ini sudah delapan tahun, Kar," lanjut Tania lirih seraya menggenggam tanganku.
Aku menatapnya dengan mata sedikit berkabut. Aku tersenyum getir menertawakan kebodohanku. Bodoh karena terus menunggu sesuatu yang tak berujung. Sesak di dada ini seolah masih sama seperti saat aku melihat Adipati berjalan kian menjauh tanpa menatap kembali kebelakang. Apa mungkin dia sudah melupakan aku? Delapan tahun berlalu, aku bahkan tidak tahu Adipati masih bernyawa atau sudah tiada.
KAMU SEDANG MEMBACA
ARAH
Romance"Seperti berjalan, hubungan pun juga harus punya arah agar jelas kemana nantinya akan bermuara."