Tidak Bisa Lupa

355 48 22
                                    

"Jika hatimu meragu, lebih baik pastikan dulu. Perasaanmu itu nyata atau hanya butuh persinggahan."

___________________

Adipati

"Bantu saya melupakan Ranita. Jadi pendamping saya, mau?"

Sepertinya aku sudah benar-benar gila! Mengatakan hal seperti itu tanpa berpikir dua kali saat aku sedang bersama Lengkara. Maksudku, aku memang memiliki debaran aneh saat sedang bersama Lengkara. Aku masih ragu akan debaran itu, tapi bisa mengatakan hal semacam itu padanya.

Aku menggigit bibirku. Jantungku sudah berdebar tidak karuan. Walaupun kelihatannya aku tegar dan masih tetap tegak berdiri menatap Lengkara yang masih syok dengan ajakan gilaku itu, tapi aku tidak akan pernah tahu debaran apa ini jika aku tidak segera mendekat pada Lengkara.

Jujur, saat ini gadis itu hanya tersenyum. Kian lama kian lebar. Aku jadi takut saat dia tidak kunjung menjawab. Apa ini artinya aku akan ditolak? Ah! Apa mungkin aku terlalu yakin jika aku pasti akan diterima olehnya? Sial!

"Mas Adi, serius? Ini berarti ngajakin Kara pacaran, kan?" tanyanya dengan mata yang berbinar.

Aku mengangguk. "Saya maunya serius. Jadi, nggak cuma sekedar pacaran. Itu pun kalau kamu mau."

Lengkara kembali tersenyum. Beberapa kali ia menatapku dengan mata yang begitu berbinar. Tampak bahagia, tapi kenapa tidak kunjung menjawab? Aku ini diterima atau tidak sebenarnya?

Lima menit.

Sepuluh menit.

Oke. Kalau lima menit lagi dia masih senyum-senyum tidak jelas, lebih baik aku tarik saja kata-kataku!

"Kara .... "

"Kara mau!"

Aku diam sejenak. Menatapnya tidak percaya. Tepat lima belas menit aku menunggu dan melihatnya senyum-senyum tidak jelas, akhirnya aku mendengar jawaban itu keluar dari mulutnya.

"Jadi, kita pacaran, kan,Mas?"

Aku tersenyum. Lega rasanya. Jujur ya, menunggu jawaban Lengkara itu jauh lebih menyiksa daripada harus berdiam dan mengintai di wilayah musuh! Sepertinya waktu dulu 'nembak' Ranita, dia juga segera menjawab, tidak berpikir panjang kali lebar begini.

"Iya. Pacaran," jawabku sambil tersenyum.

Sumpah! Lengkara itu terlalu menggemaskan. Ia segera mengambil ponselnya dan meminta izin untuk berfoto denganku, "Boleh foto bareng, Mas?" tanyanya.

Aku tersenyum. "Jangan."

"Lho kenapa?"

"Kamu boleh foto saya,  tapi jangan sampai terlihat wajah saya."

Dia mengernyit heran. "Kenapa?" raut wajahnya sedih dan itu sungguh lucu menurutku.

"Anggap saja, karena pekerjaan."

Lengkara tampak kecewa, tapi tak lama ia kembali tersenyum. "Ya udah. Kara udah ada foto kita kalau itu."

Lengkara menunjukkan foto dari ponselnya dan aku mengernyit saat melihat sebuah bayangan pantulan sinar matahari di sana. Laki-lakinya tampak berdiri tegak dan yang perempuan tampak menyandarkan kepala di pundak si laki-laki.

"Kapan fotonya? Perasaan kita nggak ada pose begitu?"

"Tadi. Dan memang cuma bayangannya aja. Lucu ya, Mas. Aku boleh simpan, kan, kalau foto yang ini?"

Aku tersenyum. Mengulurkan tangan untuk mengacak puncak kepalanya.

"Eh, ponsel mas bunyi lagi, tuh."

ARAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang