Hal Tak Terduga

483 46 22
                                    

Author POV

"Lepaskan Kara, Mas. Kara mohon!" ucap Lengkara dengan penuh penekanan usai ia melampiaskan amarah dan tangisannya pada Adipati.

Perlahan, tapi pasti, Adipati melepaskan pelukannya dan membiarkan Kara berdiri di hadapannya. Hatinya teriris perih manakala ia melihat wajah Lengkara yang menangis begitu pilu di hadapannya.

"Lengkara, saya minta maaf, saya ...."

Belum sempat Adipati menyelesaikan ucapannya, Lengkara menghentikannya dengan menaikkan tangannya. Tatapan mata gadis itu menyorot begitu tajam.

"Cukup, Mas! Kara nggak mau dengar lagi. Kita sudah selesai, bukan? Kara sama mas sudah tidak ada hubungan apapun lagi."

"Lengkara ...."

"Mas Adi kira hati Kara ini apa? Mas Adi nggak berpikir gimana perasaan Kara dibuat tarik ulur begitu? Mas Adi nggak tahu gimana setiap detik Kara tersiksa karena Kara merasa bodoh, sudah dicampakkan, tapi nggak bisa melupakan! Kara nggak bisa begini terus, Mas. Mas dengan seenaknya datang dan pergi sesuka hati mas. Mas anggap Kara ini apa?" tanya Lengkara dengan suara paraunya.

Adipati menatap Lengkara dengan mata yang mulai berkabut.

"Kara, saya janji, setelah ini saya nggak akan meninggalkan kamu lagi. Andai kamu tahu alasan saya kenapa memilih pergi waktu itu ...."

"Apa? Apa alasan mas ninggalin Kara? Karena tugas?Mas, Kara bisa terima mas tugas. Kara tahu mas tentara, konsekuensi tugasnya sudah Kara pahami, meskipun terkadang hati deg-degan menunggu kabar mas berhasil atau tidak dalam tugas mas. Kara selalu berharap-harap cemas Mas Adi masih hidup atau sudah gugur! Kara bersedia menunggu mas selama apapun, tapi apa? Mas Adi usir Kara. Mas Adi nggak mau kasih kesempatan Kara buat menunggu. Mas Adi lebih memilih mencampakkan Kara seperti sampah!

"Delapan tahun, Mas! Delapan tahun Kara nungguin mas seperti orang bodoh! Delapan tahun Kara berharap seperti orang bodoh! Mas pikir gampang melalui delapan tahun ini begitu saja?"

Adipati diam ditempatnya. Ia menunduk dalam, penuh rasa bersalah. Ia pasrah saja saat Lengkara tiba-tiba pergi mengendarai mobil meninggalkannya.

***
Adipati diam di tempatnya. Ia menjadi orang yang paling terakhir sampai di Istana Negara. Ia tahu akan mendapat konsekuensi atas tindakannya meninggalkan tugas tadi. Sekarang saja, ia sedang berdiri di dalam ruang kerja komandan pasukan pengawalan presiden, menunggu hukumannya.

"Saya tidak habis pikir, perwira paling rawan seperti kamu bisa-bisanya meninggalkan tempat tugas begitu saja. Baru saja kamu mendapat tanggung jawab dan kenaikan pangkat, Kapten. Kamu komandan tim  dalam pengawalan tadi, bisa-bisanya kamu meninggalkan tugas begitu saja!" ucap Mayjend Reynold Simbolon geram.

"Siap, salah!" ucap Adipati tegas.

"Apa alasannya, Kapten? Ada anggota yang bilang katanya melihat kamu mengejar perempuan. Apa perempuan itu lebih penting daripada tugasmu, Kapten?" Mayjend Reynold menjeda kalimatnya sejenak. Ia menatap Adipati dengan sorot mata tajam.

"Sayang sekali.  Kamu sudah menorehkan segudang prestasi dan dikenal dengan perwira berdedikasi tinggi, tapi hanya karena urusan perempuan kamu meninggalkan tugasmu! Saya tidak peduli kamu mendapat rekomendasi langsung dan merupakan perwira pilihan presiden langsung, kalau kelakuan kamu seperti tadi, saya tidak segan-segan mengeluarkan kamu dari tugas ini, Kapten!" lanjut Mayjend Reynold tegas.

"Siap, salah!"

Mayjend Reynold berdiri dan berjalan mendekati Adipati. Ia menatap tajam. Memperhatikan Adipati dengan saksama.

"Bapak presiden yang meminta saya mengampuni kesalahan kamu kali ini. Namun, setelah ini, tidak ada lain kali! Kamu tetap akan saya beri sanksi agar tidak mengulangi kesalahan fatalmu ini! Kamu dilarang mengambil cuti selama delapan bulan berturut-turut! Tidak ads libur! Paham?"

ARAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang