Ancaman

299 50 13
                                    

Author POV.

Flashback on.

"Siapa yang baru saja ke sini, Nit?" tanya Bramastya saat ia tiba-tiba kembali ke rumah yang masih berantakan itu.

Ranita diam ditempat. Tubuhnya gemetaran dengan mata yang mulai berkabut saat melihat Bramastya berjalan perlahan dan mendekat ke arahnya.

"I-itu ... bu-bukan siapa-siapa, Mas," ucap Ranita terbata.

Bramastya menggeram kesal. Ia mendekat ke arah Ranita, awalnya ia mengusap lembut wajah dan kepala Ranita sebelum akhirnya menarik rambut panjang Ranita ke belakang, membuat Ranita meringis perih.

"Sa-sakit, Mas."

"Kamu tahu, aku tidak suka menunggu. Kamu biarkan aku menunggu jawabanmu! Ada yang kamu sembunyikan?" raung Bramastya tepat di telinga Ranita.

Wanita itu menggeleng beberapa kali sembari menatap Bramastya takut-takut.

"Jadi, katakan, siapa yang datang?"

"B-bang A-Adi, Mas."

Bramastya diam sejenak. Ia mengingat-ingat nama yang sudah nyaris hampir ia lupakan.

"Tentara itu?"

Ranita mengangguk beberapa kali.

"Mau apa dia kemari?"

Ranita menggeleng cepat. "Dia cuma lewat. Pacarnya tinggal di daerah sini juga."

Bramastya kembali menggeram, lalu menepuk pipi Ranita beberapa kali.

"Kalau tentara itu sampai kembali dan mendekatimu, itu artinya ancaman buat aku."

"Mas, kamu nggak akan berbuat buruk sama Bang Adi, kan?"

Bramastya menyeringai. "Tergantung apa rencananya. Jika dia mengancamku, aku akan melakukan hal yang sama. Jadi, laporkan semua hal berkaitan dengan mantan kekasihmu itu. Kamu masih mau jadi istriku, kan?" tanya Bramastya dengan alis terangkat satu.

Ranita tidak punya pilihan. Ia hanya bisa mengangguk dan menuruti semua permintaan Bramastya.

"Pertemuan di Café Lintas Senja tadi bagaimana?" tanya Bramastya saat malam harinya ia bertandang ke apartemen Ranita. Ia sengaja menyewa apartemen untuk Ranita agar memperkuat alibi jika rumah tangganya kini sedang bermasalah. Terlebih, untuk mengecoh Adipati dan petugas lainnya agar tidak terlalu fokus pada Bramastya.

"Tidak ada hal yang menarik, tapi dia menanyakan tentang kamu, Mas."

"Tanya soal apa?"

"Semua sudah ada pada rekaman dalam ponselku. Dengarkan saja." Ranita berlalu pergi dengan wajah malasnya. Ia lelah sekaligus malas meladeni sikap otoriter dan semena-mena Bramastya. Sejak memiliki usaha baru bersama beberapa temannya, yang Ranita tahu bukanlah usaha dalam hal yang halal, perangai Bramastya berubah. Tidak lagi manis dan lembut saat memperlakukan Ranita. Bramastya juga jarang pulang dan sering membawa wanita lain berbeda-beda ke rumah mereka.

Pernah, saat ulang tahun pernikahannya yang ketiga, Bramastya justru membawa dua orang wanita asing dan asik pesta miras dan obat terlarang di dalam kamar mereka.

Belum Ranita menggapai ranjang, tangan kekar Bramastya menarik lengan Ranita dan membuat tubuhnya menabrak dada bidang Bramastya. Kedua tangan Bramastya mencengkeram lengan Ranita hingga tercetak warna merah di kedua lengan Ranita.

Ranita meringis perih merasakan cengekraman Bramastya di lengannya yang semakin lama semakin kuat.

"Sa-kit, Mas," ucap Ranita lirih.

ARAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang