Dilema

356 50 34
                                    

"Tugas adalah kebanggan sekaligus ujian kehidupan."

___________

Adipati

Aku menatap nanar punggung Lengkara yang kian menjauh dan lama kelamaan hilang bersama dengan ojek online yang ia tumpangi. Aku menggeram kesal sekaligus memejamkan mata, tidak habis pikir rasanya jika Lengkara bisa mengikutiku hingga ke cafe itu.

Aku kembali mengendarai mobilku ke Cafe Lintas Senja. Aku berjalan dan kembali menghampiri Ranita yang sedang asyik menatap kereta api yang lewat di sana.

"Sudah selesai makannya?" tanyaku saat duduk di hadapan Ranita.

"Belum. Abang keburu? Nita masih ingin lama mengobrol dengan abang di sini."

"Saya antar kamu pulang saja. Kita bisa lanjutkan obrolan di rumah."

Ranita tersenyum, lalu mengangguk dan segera beranjak dari tempat duduknya untuk mengekori aku.

"Ini, saya antar ke Jalan Surya, kan?"

Ranita menggeleng. "Aku sudah pindah, Bang."

"Pindah?"

"Iya. Sejak memutuskan untuk bercerai, aku memilih untuk tinggal di Pop Apartemen."

Aku mengangguk paham. "Oh, ya, Bang, perempuan yang tadi itu ... calon abang, kan? Dia selidiki aku ya? Atau cemburu pacarnya ketemuan sama mantan?" tanya Ranita seraya tersenyum.

Aku membuang napas kasar. "Kami sudah putus."

"Putus? Apa karena ... aku?"

Aku melirik sepintas, lalu kembali fokus pada kemudiku.

"Mungkin dia salah paham. Saya baru akan menjelaskan, tapi sepertinya dia enggan mendengarkan."

Ranita tampak terkejut, tapi tak lama ia memasang wajah iba dan mengusap lenganku begitu lembut.

"Aku turut prihatin, Bang."

"Padahal saya sudah bertekad untuk berhubungan serius dengan dia. Namun, sepertinya bukan takdir saya. "

Ranita kembali tersenyum. Ia melingkarkan tangan di lenganku seraya menatapku lekat-lekat.

"Bang, abang merasa tidak jika takdir itu kadang terlihat lucu? Kita bisa bertemu lagi setelah sekian lama dalam kondisi yang seperti sekarang. Abang single  dan aku dalam proses bercerai. Sepertinya semesta berpihak sama kita, Bang."

Aku memgernyit. Meskipun tahu kemana arah pembicaraan Ranita saat ini.

"Maksudnya?"

Ranita tersenyum. Ia pun mendekatkan wajahnya ke telingaku.

"Apa ini pertanda untuk kita bisa kembali bersama, Bang? Jujur, sejak pertemuan pertamaku di warung gudeg itu, aku terus kepikiran abang. Aku tahu, aku sudah salah, aku ingin memperbaiki hubungan kita, Bang. Bagaimana kalau kita mulai semuanya lagi dari awal, Bang?" ucap Ranita setengah berbisik.

Aku diam. Memilih fokus pada kemudiku sementara waktu hingga akhirnya kami sampai di kompleks apartemen tempat Ranita tinggal.

ARAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang