"Jika takdir adalah jawaban dari doa, apakah ini artinya dia adalah harapan yang menjadi nyata?"
__________________
Lengkara
"Lengkara, kalau saya mau mengenal kamu lebih dekat, apakah boleh?"
Astaga!
Apa benar yang disampaikan Adipati padaku barusan? Katakan jika ini bukan mimpi!
Aku mencubit kecil pipiku untuk memastikan jika semua ini nyata.
"Aww!"
Adipati mengernyit. "Kenapa? Kok, pipinya dicubit?"
"Eh, eng... enggak, Mas. Kara takut kalau ini mimpi. Mas Adi nggak salah mau kenal lebih dekat sama Kara?"
Adipati tertawa geli, lalu mengangguk. "Itupun kalau diizinkan dan tidak ada yang marah."
"Ya, pasti diizinkanlah! Nggak ada yang marah juga dan kayaknya nggak akan pernah ada!" Soalnya aku berdoa hal semacam ini sudah dari lima tahun yang lalu. Tuhan itu kadang lucu, sudah niat mau melupakan, eh, malah didekatkan orangnya.
"Oke. Makasih, Lengkara. Hari ini ada kuliah tidak?"
Aku mengangguk beberapa kali. Sungguh aku tidak bisa berhenti tersenyum, terlebih saat Adipati menggandeng tanganku saat kami menyeberang. Ah, sungguh, orang ini benar-benar bikin jantungku enggak aman.
Langkah kami melambat saat kami sampai di depan rumah. Aku mengernyit saat melihat sebuah mobil jeep berwarna hijau lumut sudah terparkir tepat di depan rumahku. Aku segera berlari dan melepaskan genggaman tangan Adipati. Aku terkejut saat melihat seorang pria berjaket kulit warna hitam dengan wajah yang sangat tegas sedang duduk di sudut ruang tamu rumahku.
Tak lama aku melihat Mas Reksa keluar dari kamarnya. Ia sudah rapi, mengenakan jaket kulit warna cokelat dengan rambut yang setengah basah, dan parfum manly favoritnya.
"Lho, Mas? Mau kemana?" tanyaku heran saat melihat Mas Reksa keluar dan berdiri di hadapanku.
Aku melihat ibu baru saja mengusap air matanya. Aku tahu ada yang tidak beres di sini.
"Mas?"
Mas Reksa meletakkan tas ranselnya di atas kursi, lalu berjalan pelan ke arahku. Ia mengulurkan tangannya, mendekap, lalu menarikku ke dalam pelukannya.
"Maaf, ya, mas harus kembali tugas. Ada perintah dadakan soalnya," ucap Mas Reksa lembut.
Aku memejamkan mata. Ribuan kupu-kupu yang tadi sempat beterbangan di dalam perutku tiba-tiba saja terbang, menghilang tanpa bekas. Berganti dengan rasa sesak yang menghimpit di dada.
"Ini nggak adil," gumamku.
Bagaimana tidak? Mas Reksa baru saja pulang. Belum puas rasanya kami melepas rindu dengan Mas Reksa. Belum puas kami bercerita dan bercengkerama, selepas dua tahun tidak bertemu sama sekali. Hanya berkomunikasi melalui sebuah pesan singkat. Itu pun dapat dihitung dengan jari.
Aku baru menyadari, pantas saja setelah pulang kemarin Mas Reksa selalu menemani ibu di dapur, bahkan membantu ibu menjaga warung. Hingga malam tiba, ia masih terus bercerita dengan kami, membiarkan kami menyampaikan apa yang kami alami selama ia tidak berada di rumah. Aku juga menyampaikan bagaimana studyku. Aku dan ibu begitu antusias bercerita hingga kami lupa menanyakan keadaan Mas Reksa.

KAMU SEDANG MEMBACA
ARAH
Romance"Seperti berjalan, hubungan pun juga harus punya arah agar jelas kemana nantinya akan bermuara."