vinte e sete

369 32 15
                                    

"Bagaimana keadaanmu?"

Juyeon mengacuhkan pertanyaan itu. Bukan karena ia sengaja, hanya saja selain karena mulutnya kini tertutupi sebuah inkubator, ia juga merasa lemas sekali bahkan hanya untuk menggerakkan sedikit anggota tubuhnya.

Jacob tersenyum sangat tipis melihat Juyeon nampak melirik ke arahnya dengan netranya yang sayu. Kondisinya terbilang parah sekali dari sebelumnya, mungkin karena penyakit yang bersarang di tubuhnya sudah sedemikian kronis hingga Juyeon tak ubahnya bak manekin yang hanya bisa bernafas serta mengedipkan matanya saja.

"Maaf," ujarnya tiba-tiba. "Saya terlalu memaksamu sampai nggak paham sama rasa sakitmu," Pria itu berucap dengan suara lirihnya.

Begitu Jacob berniat untuk menyentuh lengannya, Juyeon dengan gerakan pelan kemudian memutuskan untuk menjauhkan tangannya dari jangkauan pria yang selama beberapa tahun ini sudah merawatnya. Kepalanya menggeleng kecil, menolak Jacob untuk menyentuhnya walau hanya seujung kuku.

"Sa ... kit ..."

Seolah dipaksa untuk kembali mengingat masa lalu, Jacob tanpa sengaja menyamakan nada suara Juyeon saat kali pertama mereka bertemu. Lelaki itu sangatlah rapuh hingga Jacob tanpa berpikir jika tindakan gegabahnya akan mendatangkan malapetaka bagi dirinya, memutuskan untuk menolong Juyeon agar bisa kabur.

Tapi, apa hasilnya? Tak peduli seberapa kerasnya ia berusaha untuk menyembuhkan Juyeon, lelaki itu tetap merasakan sakit meski dalam konteks yang berbeda. Pada dasarnya, satu-satunya yang bisa ia sembuhkan hanya mentalnya saja. Itupun belum cukup pantas untuk dikatakan 'berhasil'. Tidak dengan kondisi fisiknya.

"Capek banget, ya?"

Juyeon memberi isyarat setuju dengan sebuah kedipan mata. Jacob rasanya ingin sekali menyemangati Juyeon agar tetap berjuang demi kesembuhannya, tapi melihat bagaimana pucatnya lelaki itu saat ini, Jacob dengan berlinang air mata memberikan senyum getirnya dan perlahan mengangguk singkat.

Ingat, Jacob, dia sudah mencapai batas kuatnya. Sekarang giliran kamu yang mencoba untuk kuat ketika ingin melepaskannya.

"Makasih banget, ya, udah mau bertahan sampai sejauh ini. Dunia terlalu jahat ke kamu, jadi mungkin udah saatnya buat kamu ngelepasin diri—" —walaupun sebenernya, saya masih belum sudi.

Terlihat olehnya saat ini Juyeon tengah tersenyum, meskipun sangat tipis sekali sampai andai Jacob tak cukup intens dalam memperhatikannya, ia mungkin tak akan bisa menyadarinya.

Netra kepunyaan Juyeon perlahan mulai tertutup. Beriringan dengan jatuhnya setetes air mata dari sisi matanya, bunyi panjang dari alat pendeteksi detak jantung terdengar sangat memekakkan telinga. Jacob seketika merosot dan nyaris terjatuh andai dokter yang tadi mengobrol dengannya, tak cukup sigap untuk merengkuhnya.

"Kamu orang yang hebat, Jacob. Maka sekarang kuatkan dirimu, Juyeon akan sedih di atas sana melihat kamu dalam kondisi seperti ini. Biarkan dia istirahat dengan tenang dan nggak dibekali rasa bersalah lagi pas udah ninggalin dunia kita."

Tapi, Jacob tetaplah orang yang lemah dalam mengontrol emosinya sendiri. Dia tak hentinya meraung di dalam pelukan sang dokter yang dengan setia mengelus punggungnya guna sedikit memberi ketenangan pada batin pria itu.

"Tolong, ambilkan saya suntikan obat penenang," pintanya kepada salah seorang suster yang berdiri di dekatnya. Ia tak tega melihat Jacob terus-menerus dilanda kesedihan seperti ini.

.
[Limerence]
.

Bunyi sepatu yang berbenturan dengan lantai marmer rumah sakit tersebut berhenti di depan sebuah ruangan bertuliskan 'Kamar Jenazah'. Dengan mudahnya ia membuka pintu yang sama sekali tak dikunci—supaya tukang bersih-bersih bisa masuk dengan mudah ke sana saat sudah masuk jam bertugasnya nanti—dan menoleh ke sana dan ke sini.

Salah satu brankar menyita perhatiannya. Dimana tulisan dipapannya menerangkan tanggal hari ini. Tanpa ragu, ia membuka kain putih yang menutupi keseluruhan tubuh si mayat. Terlihat Juyeon dengan wajah pucatnya—yang menurutnya, masih sama cantik dengan saat raganya masih dalam keadaan bernyawa—terbujur kaku dengan mata yang sepenuhnya sudah terpejam rapat.

Perlahan, diangkatnya tubuh lelaki itu ke bahunya. Dengan gontai ia membawa Juyeon pergi tanpa harus takut ketahuan oleh pihak yang berjaga lantaran kondisi rumah sakit sedang sepi dan tentunya, siapa yang berani berjaga dini hari serta berada di sekitar ruangan yang menyeramkan itu?

"Juyeon, Ayah rindu." Sangyeon tersenyum lebar, apalagi menyadari bahwa Juyeon tak lagi dapat melawan kali ini. "Ayah senang bisa menjemputmu lebih dulu sebelum Hyunjae kembali menemukanmu. Ayo, hidup bersama selamanya mulai saat ini. Kamu dan Ayah, hanya kita berdua saja. Ayah janji, akan memperlakukanmu dengan baik setelah ini."

.
[End]
.

YESSSS, AKHIRNYA KELARRRRR. GIMANA, GUYS? PUAS DENGAN ENDINGNYA YANG MUNGKIN UDAH KETEBAK SEKALI INI? SEMOGA YA! SEE YA DI BOOK AKU YANG LAIN 🤙

Limerence +Sangju Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang