dezesseis

778 128 32
                                    

Hampir satu jam berlalu semenjak Younghoon memutuskan untuk pulang ke rumah dengan alasan ingin mengambil beberapa baju agar ia tidak perlu repot-repot lagi untuk berganti baju ketika ia sedang ingin menginap sekedar menemani sang adik yang masih terbaring kaku dan tak sadarkan diri di atas ranjang rumah sakit.

Sangyeon masih memperhatikannya dari dekat. Melihat keadaan Juyeon yang seperti ini membuatnya merasa kesal bukan main. Bagaimana jikalau Juyeon ternyata tidak sadarkan diri seperti ini untuk kurun waktu yang lama? Sia-sia saja ia merencanakan kecelakaan itu untuk membuat Eunseo pergi lebih cepat agar tidak menghalangi niatnya untuk memiliki Juyeon.

Melibatkan Juyeon dalam kecelakaan tersebut bukanlah merupakan bagian dari rencananya. Entah apa yang sebelumnya ia pikirkan ketika menyuruh Juyeon agar pergi bersama sang Ibu. Sepertinya karena kecemburuannya melihat Juyeon lebih dekat dengan Younghoon membuat Sangyeon spontan menyarankan hal yang diluar rencananya tersebut.

Mengapa ia tidak menyuruh Younghoon saja untuk ikut pergi bersama Eunseo?

"Ayah masih disini?" Younghoon memasuki ruangan dengan sebuah senyuman tipis. Obsidiannya menatap ke arah Sangyeon dan Juyeon secara bergiliran. Perbedaan ekspresi terlihat jelas ketika Younghoon memperhatikan kondisi Juyeon dan hal itu tertangkap jelas oleh retinanya sendiri.

Sangyeon sama sekali tidak perlu mendengar langsung dari Younghoon. Sangat jelas sekali darah dagingnya itu benar-benar jatuh pada pesona lugu dari seorang Lee Juyeon, sepertinya. Juyeon harusnya patut berbangga diri akan hal itu. Tanpa perlu bersusah-payah menggoda, ia bisa dengan mudah menjerat dua orang sekaligus.

"Ayah boleh pergi, biar aku yang jagain Juyeon."

Mendengar suruhan Younghoon tersebut membuat Sangyeon sedikit dibuat berjengit. Meskipun kembali merasakan kesal yang teramat sangat, Sangyeon tidak berkeinginan untuk menyanggahnya. Seandainya ia tinggal pun, Younghoon masih tetap berada disini. Dan itu sama sekali tidak memberikan keuntungan untuknya. Younghoon pastinya akan selalu berada disamping Juyeon dan itu lumayan mengganggu untuknya.

"Jaga adikmu baik-baik, kalau Juyeon udah sadar kabari Ayah." Sangyeon sedikit menepuk pundak Younghoon sebelum akhirnya beranjak dari ruang rawat dari sang anak tiri.

.
[Limerence]
.

Terik matahari yang masuk melalui gorden kamarnya membuat manik karamelnya perlahan terbuka. Meskipun pandangannya masih sedikit buram, ia bisa melihat ada sosok lelaki yang tidur dengan posisi duduk dan kedua tangannya ia jadikan sebagai bantal.

Tangan yang terpasang infus tersebut mulai bergerak kecil. Pergerakan tersebut tentu saja disadari oleh Younghoon yang tadi tidak sengaja tertidur. Perlahan ia mulai mengangkat kepalanya, menatap ke arah sang adik yang juga ikut menatapnya dengan mata yang masih terlihat sayu.

"Juyeon? Lo udah sadar?" Younghoon tidak bisa menyembunyikan raut kebahagiannya saat ini. Penantiannya selama tiga hari untuk menunggu masa ketika Juyeon membuka matanya membuat Younghoon merasa sedikit terharu.

Awalnya Younghoon berniat ingin memanggil dokter, akan tetapi ketika merasakan salah satu tangannya digenggam lembut membuat niatnya tersebut urung untuk dilakukan. Terutama saat Juyeon seakan menolak untuk dipanggilkan dokter dengan menggelengkan kepalanya dengan gerakan lamban.

"Ibu ..." panggilnya dengan nada lemah.

Younghoon mendadak bungkam. Juyeon baru saja bangun, apa memberitaukannya tentang kabar jikalau orang yang dicarinya saat ini telah meninggal semenjak hari pertama mereka dirawat adalah hal yang tepat untuk dilakukannya sekarang? Ia hanya tidak mau membuat Juyeon terpukul menerima kenyataan tersebut.

"Maaf, Ju." Younghoon menghela nafas berat. Meskipun kemungkinan terbesarnya Juyeon akan shock berat setelah ini, tetap saja Younghoon harus memberitaukan kebenarannya. "Ibu udah nggak ada."

.
[Tbc]
.

Limerence +Sangju Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang