Mozza membuka knop pintu rumahnya, deritan pintu terdengar karena rumahnya sangat sepi. Sudah biasa Mozza menjalani hari-hari nya dengan kesepian seperti ini.
Tak ada satupun orang dirumah nya. Tak lupa ia mengunci pintu depan, gadis itu menyalakan saklar lampu, dan berjalan menuju kamarnya. Merebahkan dirinya diatas kasur dan menatap langit-langit kamar yang dipenuhi gambar bintang itu.
"Dia siapa ya?"
Masih teringat dengan cowok yang mengantarkan dirinya pulang, banyak sekali pertanyaan yang muncul di benak gadis itu. Apa dia cowok yang diceritakan Gelia kemarin? yang katanya low fade itu? tapi, Mozza tidak melihat bagaimana wajah asli cowok itu karena wajahnya tertutup oleh helm.
Ting.
Mozza melirik handphone nya yang berada diatas nakas.Gelia
Gimana? lo udah sampai rumah?Mozza mengernyit heran, kenapa Gelia menanyakan hal yang selama ini tidak pernah ia tanyakan?
Udah, kenapa?
Ganteng ga?
Mozza memutar bola matanya malas. Sudah ketebak bahwa sahabatnya itu menjebak Mozza agar gadis itu pulang dengan cowok tadi. Gadis itu tidak menyalahkan Gelia, hitung-hitung Mozza bisa merasakan bagaimana diantar cowok pulang, karena dirinya sama sekali belum pernah pacaran.
Udah ketebak sih, li
Lo jahil bangetHAHAHA
Ganteng kan? CIYEETak sadar, Mozza mengulum senyum nya. Dipikir-pikir benar juga kata Gelia, ganteng. Matanya saja sudah semenawan itu, bagaimana kalau - Ah tidak, Mozza sudah dinodai oleh Gelia untuk menyukai cowok. Tak pernah terpikirkan oleh Mozza berpacaran di masa SMA.
Biasa aja, karna dia pakai helm tadi
Tak mau memperpanjang, Mozza mematikan ponselnya lalu kembali berbaring memeluk boneka cinnamoroll nya.
📞Mbak Asi is calling
Mozza dengan cepat mengangkat telepon dari asisten rumah tangga nya, yang sudah dianggap seperti ibu nya sendiri.
"Za, mbak ada kepentingan mendadak hari ini. Mozza jaga diri ya nak dirumah, kayak nya mbak pulang seminggu lagi. Mbak tadi udah masakin sesuatu buat Mozza di dapur"
"Satu minggu itu lama, mbak.." Rengek Mozza dan kemudian terdengar kekehan diseberang sana.
"Mau gimana lagi, za? ini penting banget dan mbak harus pulang dulu ke kampung halaman"
"Pak Rio juga, mbak?"
"Engga, sayang. Pak Rio tadi hanya mengantar mbak sampai ke bandara"
Tak ada jawaban, Mozza hanya mengangguk mengerti, walaupun diseberang sana Asi sama sekali tidak tau jawaban gadis itu.
"Mbak tutup ya, za. Mozza jangan telat makan ya nak"
Tut.
Telepon dimatikan sepihak oleh Asi. Mozza mengerucutkan bibirnya, saat ini ia kembali sendiri. Jangan tanya kemana orang tua gadis itu, Mozza sudah tidak mau lagi mengingat masa lalu nya yang mengenaskan.Di umur Mozza yang sudah menginjak 18 tahun, gadis itu semakin tau bahwa di dunia ini tidak ada hal yang benar-benar membuat kita bahagia. Kalau pun ada, mungkin itu hanya sesaat, dan akan pergi meninggalkan kita
Saat Mozza berumur 10 tahun banyak luka yang sudah ia rasakan, banyak kehilangan yang ia dapatkan. Terlepas dari hal itu, Mozza tidak pernah menyalahkan Tuhan atas takdir nya yang mengenaskan. Hidup sebatang kara bukanlah pilihan banyak orang, melainkan hanya orang-orang terpilih.
Mozza membuka laci meja nya, dan mengambil bingkai foto yang sudah sedikit berdebu. Disana, ia melihat senyum indah wanita paruh baya kesayangan nya. Tak sadar, Mozza ikut mengukir senyumnya.
Memeluk bingkai foto tersebut seakan berharap ia dapat memeluk wanita itu lagi. "Maafin orang jahat itu ya, ma?" Ucap gadis itu sendu.
Kejadian 8 tahun lalu masih terekam jelas di benak gadis itu. Dengan mata kepala nya sendiri, ia melihat Violet terkulai lemah dengan tali yang mengikat dirinya.
8 tahun juga Mozza selalu menyalahkan dirinya, gadis kecil berumur 10 tahun yang masih belum bisa berbuat apa-apa itu hanya bisa menatap sendu ke arah Violet dari jendela luar. Ruangan itu sangat gelap, hanya terdengar isak tangis dan rintihan wanita paruh baya itu.
Karena itu, hingga saat ini Mozza membenci ruangan yang gelap dan sesak."Kalau saat itu Mozza bisa selamatin mama, mungkin mama masih ada disini" Lidah gadis itu seakan tercekat mengatakan hal itu.
Mati-matian gadis itu tidak mengambil serpihan kaca yang sudah lama ia simpan. Mozza tidak pernah melakukan hal itu lagi selama 3 tahun lalu, namun entah mengapa rasa sakit masih menjalar di hati paling dalam gadis itu.
Srek..
Satu goresan yang cukup dalam tergambar jelas di tangan gadis itu, darah segar perlahan muncul, Mozza enggan menghapus nya. Ia membiarkan darah itu mengalir membasahi kasurnya saat ini. Rasa sakit di tangannya tidak sebanding dengan rasa sakit Violetta yang dikurung saat itu.Srek..
Dua goresan yang hampir mengenai nadi gadis itu, untungnya Mozza masih sadar melakukan hal bodoh ini, maka ia tidak akan membunuh dirinya sendiri dengan hal gila itu.
Tak cukup dua goresan, gadis itu melanjutkan dengan isak tangis.Rasa sakit tiba-tiba menjalar di kepala gadis itu. Mozza mengerutkan keningnya, pandangannya mulai buram.
BRAK..
Seseorang mendobrak pintu kamarnya menimbulkan suara dubrakan yang sangat kencang. Samar-samar gadis itu masih bisa melihat seseorang menuju kearahnya, telinga nya tidak dapat mendengar apa-apa. Lidah nya kelu dan tidak dapat mengatakan sepatah kata pun. Siapa orang itu? bukannya ia hanya sendirian dirumah saat ini?
Lalu saat itu juga, Mozza ambruk dan semuanya gelap.
TINGGALKAN SEDIKIT JEJAK BAHWA KALIAN MENYUKAI CERITA INI YAAAA!
⭐⭐⭐

KAMU SEDANG MEMBACA
MOZZARKA
Ficção Adolescente"jika tidak kamu, maka tidak dengan yang lain" - MozzArka