41.RUMIT

42 2 0
                                    


Penyelesaian masalah tidak tergantung siapa yang memulainya. Tapi tentang siapa yang berani mengakui kesalahannya terlebih dahulu

***


             Hazell meletakkan ponsel diatas nakas. Setelah memutuskan panggilan dengan Farizam ia kembali meratapi dirinya yang begitu menyedihkan. Bisa sembuh dari trauma akibat ditinggal dihari pernikahan saja membutuhkan waktu lama. Dan sekarang saat ada lelaki yang baik dan siap menerimanya apa adanya, malah ditentang habis-habisan oleh ibunya. Sebenarnya apa salahnya, sampai mengalami kisah hidup serumit ini.

Tadi Hazell memberi tahu Farizam tentang apa yang terjadi. Jika ibunya itu menentang pernikahan mereka. Dan lelaki itu tampak tenang dari nada bicaranya, tapi tidak tahu apakah benar tenang atau hanya berusaha menutupi agar dirinya tidak khawatir.

"Kakak enggak akan bilang kalau kamu tidak sengaja membentak Mama tadi."

Hazell hanya melirik, sejak kapan kakaknya ini duduk disampingnya.
Disuguhkan pemandangan Jogja yang terpampang dari balkon kamarnya, Hazell enggan mengubah posisinya, apalagi harus menatap kakaknya yang seperti ingin menerkamnya.
Sebenarnya apa yang dilakukan kakaknya dirumah ini, kenapa sejak kemarin tidak kembali ke kediamannya di Gunung kidul sana.

"Aku juga gak butuh dukungan kakak,"ujar Hazell setelah selesai dengan isi kepalanya.

"Hazell,"panggil Haruma meraih tangannya,"kakak tahu bagaimana perasaan kamu. Tapi tolong jangan membantah Mama seperti tadi. Wajar jika kita berbeda pendapat dengan beliau, tapi alangkah baiknya bicarakan masalah baik-baik,"katanya sedikit memohon dengan suara lembut itu.

"Kakak ngomong gitu karena kakak gak ada diposisi aku. Dan gak pernah ngerasain rasanya jadi aku. Hidup kakak kelewat sempurna untuk ditentang sama mama."sanggah Hazell tidak mau kalah.

"Kakak paham. Tapi masalah tidak akan selesai jika dihadapi dengan amarah, cobalah menyikapinya dengan kepala dingin."

Hazell terkekeh,"kepala dingin? Bahkan Mama selalu emosi setiap berhadapan dengan aku,"ujarnya mengingat ibunya itu.

"Bukan seperti itu, Mama hanya ingin yang terbaik untuk kamu. Walaupun caranya itu salah, tapi niatnya baik."Haruma mencoba menggenggam tangan adiknya yang dingin dan berkeringat,"minta izin kepada beliau dengan cara yang baik. Minta maaf dan coba dengarkan persepsinya, jangan memulai argumentasi apapun,"memberi saran, yang sangat logis. Tapi sepertinya sangat mustahil untuk berhasil.

Hazell menepis tangan kakaknya begitu saja,"kalau Mama gak ngasih izin, aku gak akan melanjutkan pernikahan itu."cetusnya menatap kakaknya yang langsung melotot.

"Jangan sembarang Hazell. Besok jadwal Penataran. Pernikahan jangan dibuat mainan,"tegur Haruma dengan suara tegasnya.

"Kakak akan berbicara dengan Farizam besok."

Hazell langsung menegakkan tubuhnya, menatap kakaknya protes, tidak tidak. Ini tidak boleh terjadi.
Melihat keseriusan kakaknya yang langsung keluar membuatnya otomatis berteriak.

"JANGAN MACAM-MACAM KAK!"

***

Farizam dibuat bingung dengan kedatangan perempuan yang tidak lama lagi akan berstatus sebagai kakak iparnya.
Jauh-jauh ke Semarang hanya untuk bertemu dengannya.
Ada rasa canggung dan senang yang tidak bisa digambarkan. Walaupun ia yakin tujuan Haruma menemuinya pasti untuk membahas masalah Helena, calon mertuanya.

"Sebelumnya terimakasih untuk waktunya, Mas,"ujar Haruma mendekatkan minuman yang baru datang.

"Seharusnya saya yang berterima kasih karena Mbak sudah repot dan jauh-jauh datang kemari."

Haruma mengulas senyum,"kalau mas lupa, biar saya memperkenalkan diri. Saya Haruma, kakaknya Hazell,"ujarnya mengulurkan tangan dan langsung disambut.

Mana mungkin Farizam bisa lupa dengan Haruma. Walaupun hanya bertemu dua kali, tapi cukup untuk mengingat wajah sendu dokter muda ini.

"Saya minta maaf atas nama Mama dan seluruh keluarga saya. Bilamana ada kata dan perlakuan keluarga saya, terutama Mama, yang sangat menyinggung Mas. Saya harap Mas bisa memaklumi dan memahami jika kita memang seperti ini adanya,"ungkap Haruma menundukkan kepalanya.

Melihat sifat Haruma yang tenang, rasanya sulit dipercaya jika ia dan Hazell bersaudara, sedarah pula.

"Tidak masalah Mbak. Pak Hendrawan sudah sedikit menceritakan tentang keluarganya. Beliau juga meminta saya bersabar dan jangan terlalu dipikirkan. Tapi saya tidak bisa menganggap enteng peringatan Bu Helena kali ini,"Farizam tampak menghela nafas sesaat sebelum melanjutkannya,"saya dibesarkan oleh seorang Ibu. Semua yang keluar dari mulut beliau seperti perintah bagi saya. Saya tidak bisa mengabaikan begitu saja. Jujur, saya terus memikirkannya, Mbak."jelasnya dengan raut sedih.

Haruma mengulas senyum,"sejak kecil Hazell memang tidak pernah akur dengan Mama. Dia sedikit berbeda, dari saya dan Hamzah yang lebih nurut. Dia paling merengkel kalau dinasehati, dan tidak mau mendengarkan omongan orang lain selama dia tidak suka. Sedangkan Mama, menginginkan anaknya selalu sempurna."

Farizam menyimaknya dengan serius, tidak ada satu katapun yang terlewat.

"Hazell itu anaknya ngeyel, tidak mau mendengarkan omongan orang. Tidak bisa melakukan pekerjaan rumah, apalagi memasak dan tidak bisa menahan emosi,"Haruma tertawa kecil tiba-tiba,"walaupun kedengarannya saya seperti menjelekkan adik sendiri, tapi Mas Uzam harus tahu, agar tidak menyesal nantinya."

Farizam ikut tertawa kecil, sedikit banyak ia tahu bagaimana sifat Hazell saat bekerja dulu, dan itu tidak masalah sama sekali.

"Tapi saya tetap tidak bisa melanjutkan pernikahan ini, jika Bu Helena tidak memberikan izinnya."

Haruma langsung terdiam, tapi tetap dengan senyum tipis, lalu mengangguk pelan,"saya faham. Tapi tolong pikirkan dan diskusikan lagi dengan Hazell. Karena nantinya yang akan menjalani kalian. Jangan hiraukan atensi yang akan menyesalkan."katanya, yang terdengar seperti wejangan.

Setelah itu keduanya tidak membahas masalah pernikahan lagi. Kedatangan Arman dan Jasen mengalihkan obrolan.
Mereka yang tengah berada di resto, terpana sesaat kala menelisik bangunan klasik khas Jawa ini yang ternyata usaha milik Farizam. Itupun karena karena salah satu karyawan yang menjelaskan saat Farizam izin kebelakang tadi.

Ternyata Farizam......... pengusaha sukses.

***

Farizam melipat tangan kanannya untuk menopang kepalanya. Pemandangan langit Semarang yang tampak cerah malam ini yang dipandang dari teras kamarnya, membuat pikirannya semakin carut marut. Kenapa rumit sekali jalan yang harus ditempuh menuju hari bahagia. Ternyata ucapan pepatah yang mengatakan, akan ada halang rintang menuju hari H pernikahan.
Ia mengira semua akan mulus dan lancar saja, tapi sejak semalam otaknya tidak bisa melupakan masalah ini, ditambah kedatangan Haruma dan keluarga kecilnya menambah pikiran.
Ternyata kata 'yakin' saja tidak bisa memudahkan langkahnya, butuh perjuangan juga.

"Gimana le, udah siap semua suratnya?"

Suara ibunya membuat Farizam langsung mendudukkan tubuhnya dan bersidekap,"wes Bu."jawabnya mempersilahkan ibunya duduk.

"Menurut Ibu piye? Opo aku mundur wae?"

Sontak Fatwa melotot dan langsung melayangkan tangannya mencubit pelan lengannya. "Istighfar kalau ngomong. Kenapa usaha sejauh ini kalau mau dibatalkan, ndak melas Karo Hazell? Kamu sendiri yang bilang kalau dia pernah trauma karena ditinggal dihari pernikahan to."cecar ibunya geleng-geleng tak habis pikir, kenapa putranya berubah jadi sosok yang mudah putus asa seperti ini.

Farizam mendesah pelan, mengguyar rambutnya asal. Pikirannya benar-benar budreg.
"Masalahnya Hazell juga Ndak mau melanjutkan kalau ibunya tidak memberi restu, Bu."ungkapnya tak bisa menutupi kegelisahan.

Fatwa tersenyum, mengusap rambut putranya yang tiba-tiba tertidur di pangkuannya,"masih ada waktu beberapa hari. Jangan menyerah seperti ini. Ibu tahu kamu tekun dalam berusaha,"ungkapnya memberi semangat tersendiri.

Farizam sedikit tenang, hatinya menghangat, ibunya memang tempat pelipur lara. Ucapannya yang tegas tapi lembut mampu menenangkan hatinya.

_________________

04/06/23


HAZELL  ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang