9.KHAWATIR

81 5 0
                                    

Tujuan hidup bukan hanya bersenang-senang dan bahagia.
Ada kalanya menderita juga terhina, dan saat itulah iman kita dipertaruhkan apakah akan berjalan maju atau mundur

***


Hazell memegangi betisnya dengan tangan kirinya, sementara tangan kanannya berpegangan erat pembatasa tangga.
Bibirnya terus merintih melihat darah segar yang mengalir dibalik sepatutnya.
Belum lagi kepalanya yang terbentur anak tangga dengan kerasnya, sungguh menyedihkan.

"YAALLAH MBAK HAZELL!"Adel berteriak histeris seraya berlari menghampiri Hazell yang terduduk memprihatinkan.

"Kok bisa sih Mbak,"perempuan itu terus saja bertanya sambil membantu meluruskan kaki bosnya yang tertekuk.

"Enggak usah pegang-pegang,"Hazell menepis tangan Rani kasar saat perempuan itu ingin membantunya juga.

"Kenapa Mbak?"tanya Adel menatap keduanya bingung.

Hazell menatap sinis perempuan dengan rambut kucir kuda itu,"bukanya membantu saya dia malah berlari seperti nenek-nenek kerampokkan,"sargahnya kesal.

Rani nyengir sambil menggaruk tengkuknya,"hehe...maaf Mbak. Saya bingung tadi, jadi cari pertolongan terlebih dahulu."perempuan itu meraih lengan kanan Hazell.

"Lagian Mbak sedang apa, sampai terjatuh seperti ini?"tanya Rani.

Hazell menatap malu keduanya, wajahnya merah seketika, sebenarnya ini memalukan.
Selama sembilan tahun eksistensinya bermain dengan sepatu heels, untuk pertama kalinya siang ini dia terjungkal karena sepatu yang dia pakai menapak tepat diujung anak tangga, membuat keseimbangannya hilang.
Padahal yang dipakai saat ini hanya sepatu sepuluh cm tingginya, biasanya dia menguasai semua dan selalu sukses, bahkan dirinya pernah berlari memakai sepatu dengan tinggi dua puluh cm dan itu mulus-mulus saja. Tapi hari ini bukan waktunya dia sombong.

"Saya terjungkal karena sepatu,"ucapannya lirih. Jujur saja harga dirinya bisa hancur jika karyawan lain mendengarnya.

Adel dan Rani saling tatap menahan tawa,"makanya Mbak kalau pakai sepatu kerja yang eling ya."ingin keduanya mengatakan hal itu, tapi bisa dipastikan tanduk bosnya ini langsung keluar dan menendang mereka, tidak perduli dengan kaki terkilir sekalipun.

Hazell duduk kembali saat Adel dan Rani membantunya berdiri, kakinya lemas.

"Kenapa Mbak?"Adel bertanya panik.

Wanita menggeleng lemah, keringat dingin membanjiri wajahnya,"eng--ggak bisa."jawabnya terbata-bata menahan sakit.

"Ada yang bisa saya bantu?"

Ketiga perempuan itu otomatis menoleh kearah sumber suara, suara bariton ini sukses memecah kepanikan mereka.

"Mbak Hazell tidak bisa berjalan, Mas,"Rani angkat bicara.

Fahrizam melangkah mendekati,pantas saja tidak bisa berjalan kakinya saja bengkak dan berlumur darah, sudah pasti terkilir.

Dengan pelan, pria itu melepas sepatu coklat yang dipakai Hazell, dan benar saja warna biru telah menjalar memenuhi punggung kakinya.
Perlahan Farizam meletakkan tangan Hazell dipundaknya lalu merengkuhnya pinggangnya membantu berdiri.

"Sakit Uzam."Hazell mengerang pelan.

"Sabar Mbak sebentar lagi sampai,"ucapnya meyakinkan sambil berjalan menuju ruangan bosnya.

***

Baik Adel maupun Rani, keduanya menatap takjub pemuda berkacamata yang sejak tadi telaten mengobati kaki Hazell. Ternyata pria pemalu itu memiliki bakat menjadi dokter, mungkin cita-citanya yang terpendam.

HAZELL  ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang