42.IMPIAN NYATA

46 2 0
                                    


Semoga Tuhan tidak murka dengan cara saya mendapatkan kamu

***

           Farizam memutuskan untuk menginap di Jogja selama dua hari kedepan. Tekadnya sudah bulat untuk meminta restu Helena. Diawali dengan mendatangi dan meminta baik-baik, cara itupun tidak efektif sama sekali. Malah dirinya dihina habis-habisan didepan teman wanita itu.
Tidak kehabisan cara, Farizam mendatangi kediaman Hardosono, disambut Mbok Darmi, ia kembali menyakinkan Helena, bahkan ia merengek dan memohon kala itu, dan itupun tidak membuahkan hasil.
Malah dirinya mendapat umpatan saat itu.

"Jangan harap saya akan memberikan izin kepada kamu. Seharusnya kamu sadar diri."

Kurang lebih seperti itulah kata-kata yang Farizam ingat. Jujur hatinya sakit, tapi itu tidak sebanding dengan perjuangannya.
Dan yang terakhir yang Farizam lakukan menemui Helena dikantor suaminya, Hendrawan suami. Disitulah ia meminta seraya memohon kepada sepasang suami istri itu. Respon Hendrawan seperti biasa, welcome dan sangat hangat. Berbeda dengan Helena yang ogah-ogahan dan mengabaikan dirinya begitu saja.
Tentu itu semua ia lakukan tanpa sepengetahuan Hazell. Bahkan tidak ada kabar yang bisa mereka tukar. Karena sadar, mereka bukan anak ABG yang harus bertukar kabar setiap waktu.

Tapi dihari selanjutnya, Hendrawan mengajaknya bertemu, disebuah warung lesehan yang kental nuansa Jawa.

"Duduk yang nyaman,"ujar Hendrawan melihat Farizam yang duduk bersimpuh meletakkan kedua tangan diatas kaki.

Farizam mendongak sesaat, lantas menuruti.

"Sudah sejauh mana usaha kamu meluluhkan hati istri saya?"tanya pak Hendrawan santai.

"Tidak ada yang berhasil Pak, malah Bu Helena semakin tidak suka dengan saya,"jelas Farizam sedikit bercurhat, mengabaikan pertanyaan awal.

Terdengar tawa renyah dari sosok pria dihadapannya, membuat Farizam menatap bingung.

"Ya jelas dia tidak suka, bisa repot kalau istri saya suka dengan kamu,"timpalnya jenaka, sambil tertawa lepas.

Datar, tidak ada senyum atau raut gelisah, Farizam hanya memperhatikan dengan wajah bingungnya.

"Sudah, sudah. Kamu malah melawak."

Detik itu juga Farizam menautkan kedua alisnya, kenapa respon pak Hendrawan membuatnya malu.

"Saya harus bagaimana pak?"akhirnya pertanyaan itu keluar, dirinya butuh motivasi bukan malah ledekan.

Hendrawan tampak melepas kacamatanya, mengusap ujung matanya yang berair lalu memakai lensa kontak itu lagi,"sesuai rencana awal. Kamu mau menikah kan, ya lanjutkan. Jangan gentar dengan godaan sekitar."ucapannya santai.

"Tapi...Bu Helena?"

"Ada apa dengan istri saya?"

"Beliau tidak memberikan restunya. Bagaimana saya bisa melanjutkan, dan Mbak Hazell juga tidak mau melanjutkan pernikahan ini tanpa izin dari Mamanya,"jelas Farizam menautkan jari-jari tangannya gelisah.

Hendrawan tersenyum, tangannya terulur menepuk pelan bahu tegap lelaki dihadapannya ini,"yang akan menjalani kalian. Seharusnya tidak ada masalah lagi jika kedua calon mempelai sudah siap. Jangan hiraukan peringatan istri saya."

"Tidak ada yang bisa menjamin, dua atau tiga tahun kedepan istri saya akan memberikan izin kepada kamu. Dan selama itu apa kamu mau jadi perjaka tua dan membiarkan anak saya jadi perawan yang tidak laku,"celetukan itu terdengar gurauan, tapi dalam hati Farizam malah membenarkan.

"Sudah, lebih baik kamu fokus untuk acara besok, jangan sampai salah sebut nama Hazell karena bisa lain ceritanya.
Karena pernikahan akan tetap berlangsung, dengan atau tanpa restu istri saya. Bersiaplah."

HAZELL  ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang