23 | Mengawalinya

31 2 0
                                    

Afnan, lelaki itu sekali lagi membuatnya terenyuh, bagiamana tidak lelaki itu masih setia menunggunya sampai ia siap menerima lelaki, yang ia pikirkan kenapa Afnan tidak mencari wanita yang lebih baik darinya? Bahkan lebih sholehah dari dirinya kan?

Raifa meminta waktu selama sebulan pada saat Afnan kembali datang melamar dirinya.

Setelah mengikuti saran Bundanya, ia lebih memilih tuk shalat istikharah meminta petunjuk pada Allah taala setiap hari ia melakukannya.

"Ya Allah... jika Kak Afnan baik untukku tolong yakinkan aku tuk memilihnya." lirihnya pelan.

Bahkan kini kabar Hilman hilang begitu saja, pernah sekali bertemu itu pun tidak saling menyapa sama sekali, biasanya Hilman suka menyapanya namun sejak saat itu tidak, mungkin itu salah satu petunjuk dari Allah juga.

Merasa yakin dengan pilihannya, dengan ucapan basmallah ia menerima Afnan. Ia siap dengan segala resiko jika sesuatu kabar buruk tentangnya diketahui oleh Afnan. Kini, sudah sebulan tak terasa, waktu yang diberikan oleh Raifa sudah habis, ia siap menerima lelaki sebaik Afnan.

Saat ini, ia tengah menunggu Afnan tuk datang ke sebuah taman sesuai yang dijanjikan olehnya. Raifa melihat Afnan disana, lelaki itu sangat tampan, ah, lebih tepatnya berkarisma, tampak dari kejauhan lelaki itu tersenyum padanya sambil melambaikan tangan padanya.

"Assalamualaikum, Raifa." Afnan langsung duduk disamping gadis tersebut, Raifa tampak menunduk tanpa menatap suara empunya tersebut.

"Waalaikumsalam Kak."

Afnan tersenyum kembali. "Ohh katanya ada yang kamu sampaikan, apa itu Fa?"

Raifa gugup, jujur, ia memainkan jari-jemarinya.

Afnan peka, melihat gadis itu tampak gugup. "Raifa? Ada apa?"

Raifa terperanjat dan menatap Afnan. "Anu... masalah kemarin Kak—”

Afnan gemas langsung menyela ucapan Raifa karena terbata-bata. “Masalah yang mana, Fa?”

“Tentang lamaran kemarin...” Raifa menghela napasnya sejenak untuk menetralisir rasa gugupnya. “Saya bersedia, Kak.”

Afnan menatap Raifa dengan tatapan penuh haru sekaligus tak percaya. “Be—benarkah?” tanyanya tidak percaya.

Raifa mengangguk lemah.

“MasyaAllah Raifa, alhamdulilah, terimakasih yaa, insyaallah aku akan berusaha semaksimal mungkin untuk menjadi suami yang baik untuk kamu, Fa.”

Raifa tersenyum kecil, lalu menatap kembali pada lelaki itu. “Seharusnya aku yang berterima kasih, Kak.”

Afnan tersenyum. “Iya, Raifa, aku akan sabar menunggu kamu sampai siap dan akhirnya kamu siap. Itu karena aku benar-benar mencintaimu, Raifa.”

Tak lama, air mata Raifa berjatuhan di pipi begitu saja, air mata apakah ini? Inikah yang dinamakan air mata kebahagiaan?

“Kamu menangis, Fa?”

Afnan peka, melihat dirinya menangis, dengan cepat Raifa mengusap air matanya. “Ah, bukan Kak, mungkin lebih tepatnya, ini air mata kebahagiaan. Belum pernah aku merasakan seperti ini, Kak. Semenjak lima tahun yang lalu, aku menjadi anak pemurung dan—” Raifa langsung menghentikan ucapannya, ia malah menceritakan masa lalunya, apa yang kamu pikirkan Raifa?

Afnan menatap Raifa dengan bingung. “Maksudmu yang pertamakali kita bertemu, itu sudah menjadi anak yang pemurung dan—”

Raifa langsung menyela ucapan Afnan, memang tidak sopan tapi ia tidak mau masa lalunya terbongkar.

Dear, MakmumkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang