8 | Antara Bunga dan Do'a

39 2 0
                                    

بسم الله الرحمن الرحيم

Karena senjata terbaik untuk mencintai seseorang adalah doa.”

—Dear, Makmumku—
©fzyniaa.

•••

Rahma menatap Raifa yang tengah serius mengerjakan tugas, seperti biasa gadis itu selalu lupa waktu, ia takut anaknya lupa beribadah dan makan.

“Raifa, nanti dulu tugasnya, udah shalat belum?” tanya Rahma yang sudah berada disamping Raifa.

“Sudah Bun alhamdulillah.”

Rahma bernapas lega dan ia tersenyum. “Alhamdulillah, kalau gitu makan yuk?”

“Nanti Bun,” tolak Raifa.

“Tapi, kesehatan jauh lebih penting, Nak.”

Raifa mengangguk. Ia menurut, ia mematikan laptopnya sementara alias di sleep terlebih dahulu. “Iya, Bun.” Raifa mengikuti langkah Rahma yang sudah keluar dari kamar duluan.

“Lagi ngerjain tugas?” tanya Rahma penasaran.

Raifa menggeleng. “Bukan.”

Rahma heran, ia salah menduga. “Terus apa?”

“Usaha Bun.”

Rahma tidak mengerti, usaha apa yang Raifa jalankan dan mengapa tidak mengatakan padanya? “Usaha apa? Kok Bunda gak dikasih tahu?”

Raifa menunduk. “Maaf, Bun, tapi ini juga mendadak sih,” ungkapnya.

“Gak apa-apa, lain kali bilang kalau ada apa-apa. Usaha apa?” Rahma menyiapkan makanan untuk Raifa.

“Buat aplikasi buat user,” ucap Raifa sambil duduk.

Rahma menyodorkan makanan pada anaknya. “Aplikasi? Kayak GoJek?”

Raifa mengangguk. “Bebas, sesuai konsumen.” Raifa mengambil piring dari Rahma.

“Kamu sendiri buatnya?”

“Engga, aku ikutan sama Pak Adi Bun, lumayan loh kalau dijual harganya sampe 10 juta.”

Rahma menatap Raifa dengan berbinar-binar. “Ya Allah, itu bukan lumayan Nak, itu gede banget.”

“Iya, Bun. Buat tambah-tambah biaya kuliah kalau misalnya nilai aku turun.” Raifa kuliah mengambil jalur beasiswa, meskipun Raifa tersembunyi namun ia berprestasi, orang-orang saja yang tidak tahu, mengungkit kekurangan dirinya.

“MasyaAllah Bunda bangga sama kamu.”

“Iya, ini karena izin Allah juga. Yaudah kita makan dulu, nanti bahas lagi.” Sifat dingin Raifa mulai keluar lagi, Rahma hanya bisa tersenyum.

•••

Seperti biasa, hari-hari yang Raifa lalui terasa datar, ia hanya fokus untuk belajar sebagai pelampiasan mengalihkan rasa traumanya, meskipun tidak sepenuhnya. Setidaknya, ia kurang berinteraksi dengan orang, terutama lelaki.

Tepat dibangkunya, ia melihat setangkai bunga yang banyak. Ia terkejut, siapa lagi yang memberi? Ia muak dan memilih mengabaikan setangkai bunga tersebut.

“Hah...” Raifa menghela napasnya.

“Heh, lihat, si es dapet bunga tuh,” celetuk suara gadis tepat dibelakangnya. Raifa berdecak kesal, ia ceroboh, ia tidak melihat sisi yang lain.

Dear, MakmumkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang