Chapter 14

13 1 0
                                        

Chapter 14

"Wint..."

Aku membantu Winter duduk setelah melihat dia berusaha duduk. Dia melihat sekeliling.

"Udah enakan?"tanyaku.

"Lumayan."jawab Winter sambil memegang pinggangnya.

"Mau dipanggillin Henry?"tanyaku sambil melihat wajah Winter yang lumayan pucat.

"Aku sepucat itu?"

"Apa?"

Winter menunjuk kacamataku.
Aku melihat wajah Winter. Lalu memegang dahi Winter. "Akan kupanggilkan Henry." Aku menutup pintu kamar Henry.

************

[WINTER]

Aku mengambil minuman yang ada di meja sebelah kasur. Setelah minum aku meletakkan minuman itu kembali. Aku menutup mataku dan mendongakkan kepalaku.

Aku mendengar suara pintu dibuka. Pasti Henry!, pikirku.

Aku membuka mataku. Tapi mataku susah sekali dibuka. Aku membuka mataku dan melihat seorang perempuan berambut pirang sebahu, hidung dan mulutnya tertutup t. Dia menutup mulutku dengan sebuah kain. Entah apa yang dia masukan di kain itu tapi aku tertidur.

*********

Entah apa tapi ruangan ini bau sekali. Aku berusaha membuka mataku.

Aku baru menyadari aku duduk di tengah ruangan luas yang gelap. Kecuali lampu yang ada di atas kepalaku ini.

Aku berusaha menggerakkan badanku. Tapi tanganku terikat di kursi belakangku. Aku menarik tanganku dari ikatan tali itu. Tapi susah sekali. Aku terus berusaha sampai aku sadar kalau kepalaku sakit, entah kenapa.

Apa karena ini mimpi?

Tapi mimpi ini terlalu sakit untuk menjadi nyata.

"Lebih baik kau berhenti mencoba, Winter."

Itu suara seorang pria dan aku tidak kenal suara itu. Aku melihat kesegala penjuru. Tapi tak kutemukan orang yang mengatakan itu. Tiba tiba satu satunya lampu di atas kepalaku itu mati lalu menyala kembali. Beserta semua

Aku melihat berusaha mendongak. Tapi kepalaku sakit sekali. Aku kembali berusaha mendongak. Dan melihat kedepanku. Seorang pria berambut pirang dan seorang perempuan lain yang tadi menutup mulutku, dia masih mengenakan topengnya.

"Kau kaget, Wint?"tanya pria itu.

"Who are you?"tanyaku balik.

"You know who i am."jawabnya sambil berbalik membelakangiku.

Perempuan yang tadi melepas topengnya. Dan aku melihat dia mempunyai mata biru, kulit putih terang, dan bibir pink. Aku mengenalnya... Dia?

"Cali?"

"Ya. Kau baru sadar?"

Pria itu berbalik. "Jadi, kau tau siapa aku?"tanya pria itu sambil mengetukkan salah satu kakinya.

Aku mengingat ngingat. Kakakku pernah cerita tentang Killian, dia tertembak di kakinya. Tapi dia sudah mati.

"Kau sudah mati."

"Apa 'dia' melihatku mati?"

"Kau Killian?"

"Ya."

Aku melihat Cali dan Killian bergantian. Ark, Lark dan Drem mungkin sudah mati. Tapi tetap saja Killian hidup.

"Why i am here? What you want from me?"

"I want a revenge."jawab Killian dengan wajah datar. Cali tersenyum licik padaku. Mereka seperti Jane dan Caius Volturi di film Twilight. Hanya saja mata mereka tidak merah dan mereka bukan vampir.

"Why?"tanyaku.

"Karena kau hidup dan saudaraku mati."jawab Killian santai sambil menamparku.

Pipiku terasa perih sekali. Dia begitu keras menamparku.

"Kau mau membunuhku?"tanyaku dengan suara bergetar. Rasanya ingin menangis.

"Dengan cara yang sadis." Killian memperlihatkan sebuah pisau berukuran sedang.

"Aku butuh waktu."pintaku.

"Kakakkmu juga kuberi waktu. Dan dia membunuh keluargaku."jawab Killian sedikit membentak. Dan dia kembali berbalik.

"Tapi aku benar benar ingin menemui keluargaku."aku mulai menangis.

Killian berbalik dan memberi isyarat pada Cali. Cali mengeluarkan suntikan dari saku jaketnya. Dan jarum dingin itu menusuk leherku.

#ToBeCountinued
Date : Rabu, 20 Mei 2015

Wine Part 2 (SOHL #3)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang