AKU menutup pintu ruanganku sedikit keras. Kasihan pada pintunya karena harus menjadi tempat aku melepas rasa kesalku. Ini bukan pertama kalinya aku melakukan hal seperti ini dan beruntungnya pintu ini masih berdiri kukuh.
Aku yakin, beberapa karyawan yang mendengar dentuman pintu ruanganku kaget dengan tindakanku yang sangat jarang terjadi. Biasanya, seorang Apo Nattawin itu bisa menahan segala emosi walau sebanyak apapun masalah yang dihadapi dan lebih memilih untuk bersikap profesional. Namun beda lagi ceritanya jika itu adalah sebuah masalah besar.
Kali terakhir aku bertindak seperti ini adalah sebulan yang lalu. Setelah aku menerima surat penolakan dari perusahaan yang baru saja aku temui karyawannya di rapat tadi.
Kata-kata pria itu sungguh membuat aku hampir kehilangan kendali. Memangnya ada orang yang bercanda seperti itu? Bodoh sekali jika benar adanya! Candaan sama orangnya sekalian bodoh! Aku terus saja menyumpahi. Dia masih belum mengenal siapa Apo Nattawin sebenarnya! Hatiku sudah mula dikuasai dengan amarah.
Berkas yang ada di tanganku campakan begitu saja di atas meja dan aku malah memilih untuk berjalan mendekati ke jendala kaca di ruanganku. Berdiri disitu memandang ke gedung-gedung tinggi sambil tanganku masukan ke dalam saku celanaku. Berusaha untuk memadam kembali api kemarahan itu.
Saat itu, tiba-tiba saja rasa sayu menyapa perasaanku. Bagai semilir angin dingin yang menyapa lalu turun menggigit tangkai hati. Entah kapan perasaan sedih ini menjadi tamu yang tidak diundang. Semuanya terlalu pantas terjadi untuk aku menyadarinya.
Mataku mula terasa hangat dan pandanganku mulai kabur, jari ini mula menghapus beberapa titisan air mata – yang tanpa sadar – membasahi pipi.
“ Keluarga? Ayah? Ayah.”
Hanya dengan kata ‘ayah’ itu aku berhasil membangkitkan kembali kemarahanku hingga aku lagi-lagi menitiskan air mata. Apa benar yang aku rasakan saat ini adalah kemarahan atas kelakuannya dulu? Atau sebenarnya aku hanya merindukan sosoknya?
Setelah ayah berpulang beberapa tahun lalu, aku memang tidak pernah lagi menziarahi makamnya. Dengan kata lain, aku sudah hampir melupakan sosok itu. Apa aku masih pantas untuk menggunakan nama itu dibelakang namaku? Apa aku masih layak untuk dengan bangganya menyebut nama itu pada setiap orang yang aku temui setelah dendam dan sakit ini masih belum bisa aku padam?
Jawabannya tentu saja… TIDAK.
Namun hari ini, kata-kata pria itu seakan menamparku untuk segera sadar pada realita kehidupan. Kapan dan dimana sekali pun diriku ini berada, nama itu akan terus menjadi sebahagian dari kehidupanku. Keluarga itu – keluarga yang penuh dengan kecacatan itu adalah keluarga yang sedang aku lindungi dari segala perusak, termasuk ayah. Karena sebenci apapun aku padanya, aku tidak akan pernah lahir ke dunia tanpanya.
Nattawin Wattanagitiphat akan terus dan selalu menjadi seorang Nattawin Wattanagitiphat. Tidak akan ada yang bisa mengubah darah yang mengalir di tubuh ini.
Karena itu aku benci dengan takdir ini. Aku benci dengan nama yang ada di belakang namaku. Aku benci saat mengingat apa yang telah dia lakukan. Dan rasa benci itu semakin menjadi luka yang sangat dalam saat kisah itu didengar oleh mantanku hingga dia pergi begitu saja meninggalkanku.
Aku tahu, dia pergi bukan karena kisah hitam itu. Juga bukan kesalahan mendiang ayah. Namun, tetap saja rasa benci pada ayah terus saja memuncak saat pria itu mengatakan jika ayah adalah alesan dia pergi meninggalkanku! Sebuah alesan yang bodoh memang!
Tapi hari ini, aku lebih membenci diriku sendiri karena lagi dan lagi aku tidak bisa menerima takdir itu. Air mata dengan pantas aku hapus saat bunyi ketukan di pintu ku dengar beberapa kali.
KAMU SEDANG MEMBACA
1. Between Us [ MileApo ] ☑
FanfictionBook 1 : Fakta bahwa kisah diantara kita harus terhenti disini tanpa sebuah titik terang adalah sebuah kenyataan yang paling pahit untukku telan sendiri.