08

281 28 0
                                    

DI saat matahari mula tenggelam dan gerimis mula turun dari sang awan yang menampung air entah berapa lama, aku baru saja tiba di rumah. Tubuhku yang secara perlahan mula digigit rasa lelah, kurebahkan disofa ruang tamu. Saat aku mula ingin membuka hati untuk lembaran kisah baru malah kepahitan yang lebih dulu mengetuk, membuka kisah lalu tanpa izinku.

Sungguh, seorang Apo Nattawin telah pun secara perlahan menerima kepahitan yang ditinggal oleh Mew untuknya, berfikir jika itu sudah menjadi sebahagian dari jalan takdir kehidupannya. Namun, kenapa aku dibuat bingung dengan perasaan ini?

Wajah Mew terus saja hadir dan kali ini, pria itu tersenyum padaku dengan lambaian tangannya – melambai padaku. Aku mencoba untuk menggapainya dengan harapan dia tidak akan pergi jauh dariku. Sayangnya, pria itu tetap memilih untuk melangkah pergi dariku biar pun aku telah menahan langkah kakinya berkali-kali.

Mataku yang awalnya hanya berkaca dengan air mata akhirnya pecah saat bayangan Mew dipeluk seseorang dan terus melangkah meninggalkanku bersama sebuah mimpi ngeri yang tidak pernah padam.

Aku kembali ditarik pada kenyataan saat ponselku berteriak minta diangkat. Bunda!

“ Halo, bunda.”

“ Po, ini bunda! Kamu sehat, nak? Sudah makan apa belum?” suara bunda kedengaran ceria dihujung sana.

“ Sehat, bunda. Cuma aku belum memakan apapun lagi. Lagian, tadi sore aku makannya agak telat makanya sekarang aku masih terasa kenyang.” Bohongku, tidak ingin membuat hati wanita tua itu khawatir.

Nyatanya, seharian ini aku terlalu sibuk dengan segala pekerjaanku sehingga aku lupa untuk makan. Sampai-sampai rasa lapar itu hilang dengan sendirinya.

“ Baguslah kalau begitu. Bunda sebenarnya sengaja ingin menelefon kamu, Po. Setelah kamu pulang kemarin, kamu belum memberi kabar apa pun pada bunda. Bunda khawatir!” Sayu kedengaran di suara milik bunda.

Kali ini, rasa bersalah malah menyerangku. Karena terlalu menuruti hati dan perasaan yang terlanjur marah, tanpa sadar aku telah membuat bunda dan Kak Us mengkhawatirkan diri ini.

Benar, aku kecewa dengan Kak Us yang masih saja ingin membela suami bangsatnya itu dan bunda hanya menyetujui keputusan yang dibuat sama Kak Us. Beda lagi dengan si bangsat itu yang hanya tahu cara untuk menyakiti hatiku dan keluargaku dan saat ini pria itu sudah pintar menuduhku melakukan hal yang sungguh mustahil untuk dilakukan olehku.

“ Aku minta maaf, bunda.” Pintaku dengan penuh penyesalan.

Terdengar tawa halus wanita itu. “ Tidak apa, Po. Bunda tahu kalau kamu pasti sedang sibuk.” Bunda membujuk.

“ Kak Us sama anak-anaknya titp salam untukmu. Jaga dirimu baik-baik disana.” Bunda berpesan. Untuk beberapa waktu sepi menemaiku dan bunda.

“ A–Aku… ketemu sama Mew. Tidak sengaja ketemu lebih tepatnya.” Terangku gugup. Berat rasa hati ini untuk menuturkan nama itu di pendengaran bunda.

“ Apo sedih?” soal bunda ingin tahu. Aku bungkam. Tidak tahu kata apa yang bisa aku berikan sebagai jawaban untuk bunda terlebih untuk diriku sendiri.

“ Sengaja atau tidak, Apo ketemu dia itu sudah sebahagian dari takdir. Lupakan saja hal yang pernah terjadi diantara kalian dulu, Nattawin! Relakan dengan ikhlas. Jika selama ini kamu tidak pernah menangis, kenapa sekarang kamu malah bersedih?” bunda berkata dengan sedikit tegas tapi penuh kelembutan.

Seolah terpukul, pelupuk mata ini terasa hangat. Ingatan pada mendiang ayah, bayangan kisahku dengan Mew yang inginku lupakan dan tentu pertemuanku dengan Mile membuatku hampir tewas dengan perasaan.

1. Between Us [ MileApo ] ☑Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang