JIKA saja hari ini tidak aku putuskan untuk keluar berbelanja keperluan rumah yang sudah habis, tentu takdirku tidak sesial ini. Jika saja aku lebih memilih rasa malasku berbanding dengan bekal makanan yang sudah tidak tersisa dirumah, sudah pasti hal seperti ini bisa terelakkan.
Namun balik lagi pada awalan kata, jika.
Karena pada akhirnya disinilah aku. Duduk di salah satu meja di dalam café yang sialnya ramai pengunjung di hari itu bersama satu sosok yang tidak pernah aku harapkan keberadaannya.
Siapa yang harus aku salahkan di situasi seperti ini? Tuhankah karena dia yang membuat takdirku seperti ini atau pengujung yang membanjiri café langgananku atau diriku sendiri yang masih saja bertahan untuk duduk dikursi ini berhadapan dengan sosok ini?
Sumpah, keramaian ini membunuhku secara perlahan. Niatku singgah ke café ini hanya untuk menikmati waktu kesendirianku yang baru saja selesai berbelanja tanpa ditemani Tong yang harus pulang ke rumah keluarganya untuk mengurus beberapa hal sebelum pria itu berangkat ke Kanada pada hujung minggu ini. Bukan untuk bertemu sosok ini.
Sungguh aku kaget saat melihat wajah itu muncul kembali dihadapanku. Setelah bertahun lamanya wajah itu menghilang dari pandanganku dan kini hadir lagi. Tanpaku pinta, tidak juga aku duga.
“ Po.” Suara itu terdengar ditelingaku.
Dunia ini ternyata tidak sebesar yang aku harapkan. Betapa aku tidak menginginkan sosok ini muncul kembali dihadapanku setelah kejadian itu.
“ Po!”
Aku tersadar kembali saat namaku dipanggil untuk kedua kalinya. Semuanya bukanlah hanya sekadar mimpi. Sosok yang saat ini duduk dihadapanku itu adalah sebuah kenyataan yang tidak terelakan. Sebuah kenyataan yang membuka kembali luka lama.
“ Kamu… bagaimana kabarnya?”
“ Seperti yang kau lihat.” Jawabku ketus. Minuman yang sempat aku pesan sebelum kehadiran makhluk ini, kuminum sedikit. Berusaha terlihat tenang dihadapannya walau hati ini sudah dilanda seribu satu rasa.
“ Kamu habis dari mana?” soalnya lagi.
Kali ini aku memilih untuk tidak menjawab pertanyaan itu. Masih bingung bagaimana harus aku menghadapi situasi yang terlalu tiba-tiba ini. Terlintas difikiranku untuk segera beredar dari hadapan pria ini karena bagaimanapun juga hati ini tidaklah rela membiarkan mata itu – mata yang telah terlalu banyak menipuku – menatap wajah ini dengan pandangan seperti itu. Pandangan penuh kerinduan dan penyesalan.
Satu keluhan terlepas dari belahan bibirnya dan aku tetap memilih untuk diam.
“ Apa kau masih memarahiku?”
Oh, tentu! Apa yang kau harapkan dariku dengan bertanya pertanyaan seperti itu? Berharap jika aku, seorang Nattawin, untuk mengatakan tidak, aku sudah memaafkanmu disusul dengan sebuah senyuman lebar?
Terima kasih saja karena maaf seorang Apo Nattawin itu terlalu mahal untuk diberikan pada orang sepertinya.
Alih-alih menjawab pertanyaan itu, aku hanya memandangnya dengan sebuah pandangan sinis dan tanpa sadar bibirku juga mengukir senyuman kecil – mengejek.
“ Menurutmu?” aku balik bertanya.
Lagi – terdengar keluhan dari pria itu sebelum dia mengatur kata untuk menjawab pertanyaanku.
“ Apa hubungan diantara kita sudah tidak bisa seperti dulu?”
Satu tawa kecil terlepas dariku. Sungguh aku tidak menyangka bahwa pertanyaan seperti itu bakal keluar dari bibirnya setelah bertahun lamanya tidak bersua. Bercanda kali pria ini…
KAMU SEDANG MEMBACA
1. Between Us [ MileApo ] ☑
Fiksi PenggemarBook 1 : Fakta bahwa kisah diantara kita harus terhenti disini tanpa sebuah titik terang adalah sebuah kenyataan yang paling pahit untukku telan sendiri.