SEMENJAK tadi, telefon ku terus saja berteriak memaksaku untuk mengatur langkah mendekati meja kecil di kamar ku ini. Melihat layarnya yang hanya menampilkan sebaris nomor yang tidak terdaftar. Aku biarkan saja lantas meninggalkannya tanpa berniat untuk menerima – bersiap untuk mandi.
Kejadian buruk yang terjadi padaku secara beruntun membuat diriku benar-benar lunglai. Tidak ada lagi keinginan untuk melangkah. Bagaikan mati rasa. Apa aku yang salah atau takdir yang sedang mengutukku karena setelah sekian lama aku menyalahkan takdir atas semua yang terjadi di kehidupanku dulu?
Atau ini adalah karma untukku karena setelah sekian tahun aku mendendami ayah? Memarahi, mengutuk dan malah membenci semua tentangnya. Jika benar, aku bersedia untuk menerimanya.
Namun bagaimana dengan Mile? Bagaimana aku ingin menyembunyikan fakta itu darinya atau bagaimana caranya agar aku bisa menerangkan semua hal itu padanya tanpa perlu menghadapi penolakan darinya?
Aku belum siap untuk kehilangannya. Aku belum siap untuk melihat diriku kembali terpuruk dalam kesedihan untuk kedua kalinya. Aku belum siap.
Katakan saja jika Apo Nattawin yang sekarang ini lemah. Tidak lagi sekuat dulu dan bodoh karena cinta. Aku tidak apa. Asal jangan menyuruhku atau memaksaku untuk kehilangan Mile.Karena aku belum siap.
Sungguh.
Lagi – deringan telefonku kedengaran. Menyadarkan ku kembali dari terus tenggelam dalam lautan pikiran. Aku memandangi layar telefonku untuk beberapa waktu sebelum kembali meleparkannya di bawah bantal.
Biarlah. Aku tidak mengenal angka yang tercetak di layar itu. Lagi pula, pikiran ku membutuhkan istirahat setelah semua kejadian yang melelahkan hari ini. Tubuhku perlu kembali di isi dengan tenaga karena besok mungkin aku membutuh lebih banyak tenaga. Entah apa kejutan yang menanti. Kantong mataku kembali terasa panas setelah mengingat akan Mile yang tiba-tiba saja tidak bisa aku hubungi sejak sore tadi.
Bagaimana aku harus menghadapinya jika Gulf mengetahui hal ini dan mengabarkannya pada Mile? Setitis demi setitis air mata mula berjatuhan dan entah kapan aku akhirnya terlena bersama rasa bersalah.
Getaran yang aku rasakan kembali membuatku tersadar. Dan dengan terpaksa dan rasa lelah yang lagi-lagi menerpa membuatku menerima saja panggilan itu tanpa melihat layarnya.
“ Siapa ya?” tanyaku dengan suara serak khas bangun tidur.
“ Po, ini mama!”
Aku diam mengingat suara ‘mama’ itu dan akhirnya aku tahu jika Nyonya Ratree adalah pemilik suara itu setelah dia berulang kali memanggilku.
“ Ada apa, Nyonya?”
“ Apa kamu ada bertemu dengan Mile hari ini? Sekarang sudah jam 2 pagi dan anak itu masih belum pulang. Apa dia ada memberi tahu padamu ingin kemana?” pertanyaan itu membawaku sadar sepenuhnya dan lantas bangkit dari berbaring.
" Aku ada menemuinya di perusahaan tadi siang tapi dia tidak mengatakan padaku apa pun.”
Keluhan ku dengar jelas di balik talian.
“ Kalau begitu tidak apa. Mama hanya khawatir. Dia tidak pernah seperti ini. Biasanya dia akan kasi tahu ke mama jika dia pulang telat atau tidak pulang sama sekali. Maaf ya, mama jadi mengganggu tidurmu. Mungkin dia lupa kasi kabar ke mama. Oh ya, karena sudah terlanjur menelefonmu, mama mau tanya bagaimana persiapan pernikahannya? Gedung pernikahannya sudah kamu check dengan Mile?”
Aku memandangi jam di dinding. Jelas angka dua yang ditunjuk dan calon mertuaku malah mengajakku berbicara soal ini. Aku tersenyum kecil.
“ Sudah hampir siap semuanya… soal gedung pernikahannya, aku dan Mile masih belum punya waktu untuk ke sana jadi aku menyerahkan semuanya pada Kak Us untuk melihat-lihat kondisi di sana. Tapi hujung minggu ini aku bakal ke sana.”
KAMU SEDANG MEMBACA
1. Between Us [ MileApo ] ☑
FanfictionBook 1 : Fakta bahwa kisah diantara kita harus terhenti disini tanpa sebuah titik terang adalah sebuah kenyataan yang paling pahit untukku telan sendiri.