05

371 30 5
                                    

PANDANGAN mataku terarah pada jam tangan yang melingkari pergelangan tanganku. Angka sebelas sudah menghampiri petanda jika aku sudah hampir satu jam menunggu di ruangan ini. Tanpa ada perwakilan yang hadir atau sebarang kata atas kelewatan Pak Direktur.

Aku merengus. Air yang menjadi penemanku di ruangan ini, yang tadinya masih hangat malah sudah mendingin. Kesabaranku mula menipis. Janji temu yang tidak berjalan seperti yang telah dirancang adalah hal yang sangat tidak aku sukai.

Apa Pak Direktur baru itu tidak bisa mengirim seseorang untuk memaklumkan padaku atas kelewatannya? Setidaknya mengatakan jika janji temu hari ini perlu dijadwal ulang dan aku tidak akan mempermasalahkan hal itu asalkan tidak membiarkan aku sendirian disini, menunggu layaknya orang tolol!

Sungguh rasa kesal yang saat ini aku rasakan membuatkan aku lupa jika kelewatan ini terjadi juga karena kelewatanku tadi pagi.

Sedayanya aku membujuk diriku untuk tetap terus menunggu. Pak Boss diperusahaanku bekerja pasti menginginkan kabar yang menyenangkan hasil dari pertemuan kali ini. Aku akhirnya bangun dari dudukku. Berjalan menghampiri jendala kaca, berdiri disana memandang pada kesibukan kota.

Sewaktu-waktu, ingatanku terhadap pria itu kembali diingatan. Mungkin rasa rinduku pada mendiang ayah yang membawa diri ini mengingat padanya. Karena dia adalah orang yang berhasil menarikku pada kenyataan. Tidak peduli berapa kali aku menidakannya, ingatan itu tanpa malu terus mekar difikiran.

Dan ingatan itu telah membawaku pada wajah tenangnya yang dihiasi dengan sepasang mata dengan pandangan mata tajam khasnya. Alisnya tebal menghitam, hidung mancungnya dan bibir yang sering tersenyum tipis saat matanya bertaut denganku.

Aku memejamkan mataku. Mengingat ulang pertemuan pertamaku dengannya kemarin. Aneh, untuk apa ingatan ini bermain di fikiran? Aku lelah dengan permainan hati. Satu tarikan nafas aku ambil dan perlahan aku lepaskan, sebisa mungkin aku ingin mengusir rasa yang sudah mula hadir dihati ini. Aku benar-benar tidak mahu perasaan ini ada didalam sana. Tidak akan aku izinkan rasa itu mendapat tempatnya dihati ini!

Cukup sekali saja. Tidak aku merelakan hati ini kembali dilukai dan yang terpenting, aku tidak ingin lagi kisah kelam keluargaku dijadikan sebagai alesan perpisahan. Namun yang aku khawatiri, apa aku bisa mengusir perasaan aneh ini? Sedangkan aku hanyalah seorang manusia, bukan Tuhan.

Untuk kedua kalinya aku memandang pada jam tangan. Angka dua belas sudah terlewati dan aku memutuskan untuk pulang saja dengan tangan kosong.

Dengan hati yang dibaluti rasa hampa, tanganku mencapai tas yang aku bawa dan jas yang sempat aku sampirkan di kursi dan terus aku membuka langkah menuju pintu ruangan itu. Saat tanganku hampir saja memegang tombol pintu, pintu itu terlebih dahulu ditolak dari arah luar.

Aku terdorong beberapa langkah kebelakang. Untung saja kepalaku tidak terbentur.

Aku mengangkat pandanganku, memandang pada orang yang saat ini berdiri dihadapanku dan sungguh aku tidak tahu ini adalah sebuah ikatan takdir antara diriku dengan sosok ini atau hanya sebuah kesialan yang kebetulan lewat, ingin menyapa dan mentertawakanku.

“ Ops, sorry! Are you okay?” soalnya dengan nada yang panik.

Aku hanya menganggukan kepalaku sebagai jawaban.

“ Benar tidak apa-apa? Kau mau kemana?” dan pertanyaannya kali ini hanyaku biarkan sepi.

“ Maaf karena telah membuatmu menunggu terlalu lama.” Dia kembali menyambung katanya sambil kakinya terus melangkah mendekati kursi diruangan itu dan langsung duduk.

Aku masih saja mematung didekat pintu ruangan itu, yang sudah kembali tertutup rapat disaat dia mengarahkanku untuk mengambil tempat di salah satu kursi kosong diruangan itu.

1. Between Us [ MileApo ] ☑Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang