SETELAH kejadian itu, Mile tidak lagi pernah menghubungiku. Jika aku melefonnya juga tidak pernah diangkat olehnya. Apa dia masih memarahiku? Aku tidak ingin berkunjung ke perusahaannya lagi. Biarlah kali ini dia yang mencariku. Pada akhirnya, aku juga turut sama mendiamkan diri, membujuk agar terus berpikiran positif memandangkan hari pernikahan ku dan Mile semakin menghampiri.
Siang itu, aku menerima panggilan dari bunda. Hati ku sekali lagi hancur setelah mendengar kabar yang di sampaikan bunda padaku. Aak, anak tertua Kak Us bercerita pada bunda – hal yang sama pernah ku ceritakan belasan tahun dulu pada bunda dan Kak Us. Cerita yang sama setiap kali pulang dari sekolah.
Masalah ku dengan Mile saja masih belum menemukan titik terang dan sekarang aku malah mendengar kabar buruk ini. Apa ini yang disebut, lagi jatuh tertimpa tangga?
Aku tidak menyangka jika orang-orang di luar sana masih saja suka mengadili kehidupanku dan keluargaku hingga Aak lah yang harus menghadapinya saat ini – hal yang sama pernah ku lalui. Sungguh aku lelah dengan semua ini. Betapa aku berusaha keras untuk membersihkan sisa kotoran itu dari keluargaku namun mereka masih saja ingin mencari kesalahan keluarga kecil ku.
Terutama Tante Machida yang sering saja menjual cerita buruk keluargaku. Dia juga yang bercerita pada Aak setiap kali anak itu pulang sekolah yang kebetulan harus melewati jalan di hadapan rumah wanita biadap itu. Itu yang bunda ceritakan padaku. Pada akhirnya, Aak bakal pulang dalam keadaan menangis karena di tertawakan oleh teman-teman seusianya.
Hingga saat ini, anak itu masih belum punya teman. Ah, kasihan sekali keponakanku itu. Dia tiak mengerti apa-apa. Parahnya lagi, suami Kak Us terus saja memburukkan keluargaku pada teman bangsatnya.
Apa pria itu lupa jika yang dia bicarakan itu adalah keluarganya sendiri? Jiwaku semakin tertekan dan memberontak. Air mata tidak lagi aku tahan. Bukan karena nasib ku tapi karena Aak yang malah menjadi mangsa dalam kerasnya hidup di keluarga ini.
“ Kenapa bunda merahasiakan semuanya dariku?” tanyaku dengan suara serak – menahan tangis.
“ Bunda hanya tidak ingin membuatmu khawatir! Melihat perubahan dan keingananmu untuk menikah saja bunda sudah merasa bersyukur. Bunda tidak ingin jika harus melihat kamu kembali dingin seperti dulu!” kata bunda lembut.
Air mataku menitis lagi. Semakin aku hapus semakin lekas pula dia membasahi pipi.
“ Urusanku bukan prioritasnya! Keponakanku lebih penting, bunda! Aku sudah dewasa jadi aku bisa menguruskannya sendiri tapi mereka, keponakan ku usianya masih terlalu muda untuk melalui hal seperti ini!”
Mengingat jika hubunganku dan Mile semakin menjauh, kenyataan bunda membuatku terus kehilangan tempat untuk berpegang. Luka di hati ini tampaknya semakin parah lukanya.
“ Po, jangan berbicara seperti itu. Sekarang ini, kamu itu adalah prioritas buat bunda. Bunda ingin semuanya berjalan sesuai rencana. Bunda tidak ingin kamu memikirkan hal ini dan bunda berharap jika kamu sudah menikah nanti berhentilah untuk terlalu memikirkan permasalahan di keluarga kita. Kamu fokus saja dengan kehidupanmu.” Suara bunda kali ini sama sekali tidak dapat membujukku.
Sering kali kekhawatiran pada bunda dan keluarga Kak Us mengganggu ketenanganku. Memikirkan bagaimana keluarganya yang seakan berada di atas api, aku khawatir jika api itu malah membakar Aak dan Nine yang saat ini sedang membesar.
“ Aku tidak mungkin tinggal diam saja jika Aak harus melalui hal yang sama seperti ku dulu bunda! Aku tidak mau mendengarnya apa lagi melihat!”
Puas ku coba untuk menghilangkan rasa gusar ini. Mencoba melepaskan segalanya pada takdir.
“ Setelah pernikahanmu dan Mile selesai, bunda akan mengambilnya untuk tinggal bersama bunda. Lagi pula, bunda tidak mula Jj akan berubah. Kak Us juga sepertinya sudah tidak tahu ingin melakukan apa lagi. Biarkan saja dulu, yang terpenting saat ini adalah acara pernikahanmu dan Mile. Kamu diterima ke dalam keluarga Romsaithong saja sudah cukup bermakna untuk ku, Po!” bunda tanpa lelah terus saja membujuk sedang dirinya tidak ada yang sudi membujuk.
Tapi… dia sepertinya sudah tidak lagi menerimaku bunda. Aku bergumam kecil di hati. Lama sepi menemani ku dan bunda.
“ Aku merindukan ayah.” Ucapku lirih.
Benar-benar merindukannya. Hingga ke hari ini walau sapaan angin kerinduan itu menerpaku, aku masih belum punya kesempatan untuk mengunjungi makamnya.
“ Syukurlah…” suara bunda terdengar serak. Ada esakan tangis dihujungnya.
“ Bunda bersyukur akhirnya kamu membuka hati untuk belajar merindui ayahmu, Po. Dia tidak pernah mencurangiku, dia tidak pernah mengkhianati bunda. Salahnya adalah mengabaikan kita!”
Murah benar air mataku saat ini. Andai saja bunda tahu, bukan hanya karena merindukan sosok ayah tapi juga karena perubahan sikap Mile padaku.
Setelah panggilan itu berakhir, aku kembali melayani perasaan. Sedih dan pilu dibentak oleh Mile masih saja terasa. Bagai dihina saat mengingat bagaimana dia menginjak sema kad undangan pernikahan yang dia dan aku impikan layaknya sampah.
Mew! Nama itu sekali lagi terbit di benakku. Ah, aku tidak lagi peduli soalnya! Dia bukan lagi masalah dalam kehidupanku. Di saat dia pergi begitu saja dari kehidupanku dan malah dengan tega berteriak pada dan menghina ku dan keluargaku, aku benar-benar tidak lagi ingin melihat wajah itu.
Kisahku dan Mew telah kuburkan jauh dari kehidupanku – tanpa nama, tanpa tanda.
Tidak lagi perlu untuk aku mengungkapnya. Mew adalah masa lalu dan Mile adalah masa depan. Namun sayangnya, aku sendiri tidak tahu kemana hilangnya masa depan ku yang baru saja ingin dimulai.
Aku masih saja tenggelam dengan perasaan ku sendiri saat ketukan di pintu ruanganku kedengaran. Pantas air mata yang tersisa ku hapus tanpa jejak di wajah. Wajah Meen muncul dari balik pintu yang terbuka sedikit.
“ Masuk saja!”
“ Ini. Ada yang memintaku untuk memberikannya padamu!”
Meen mengangkat kantong kertas yang saat ini ada di tangannya. Sungguh! Semangatku hampir terbang tidak tersisa lagi di saat aku melihat kantong itu. Kantong kertas yang sama aku berikan pada Mile beberapa hari lalu dan kini ianya kembali padaku. Maksudnya apa?
Aku menguatkan semangatku dan bangun mendekati Meen. Kantong kertas itu bertukar tangan dan Meen terus saja berlalu merapatkan pintu ruanganku.
“ Apa maksudmu mengembalikan semua ini padaku? Apa kau tidak lagi mau menikah denganku?” aku bertanya pada diri sendiri dengan suara yang cukup lirih.
Hatiku benar-benar hancur dengan pertanyaan yang tidak ada jawabannya. Sakit rasanya saat mengingat semua janji yang pernah pria itu katakan padaku. Pedih rasanya di saat mengingat bagaimana dia berjanji untuk melindungi hatiku dan malah dia sendiri menoreh lukanya di sana.
Kantong kertas itu aku peluk erat dan tanpa sengaja jariku menyentuh selembar kertas kecil yang jelas menuliskan beberapa aksara di sana. Ingatan lalu kembali bermain di pikiran. Ingatan dimana dia pertama kali mengusik hati ku dengan kata-katanya. Tapi kini, aku yakin kata seperti itu tidak akan pernah ada lagi.
Kaki ini sudah tidak lagi kuat untuk menampung tubuhku yang lunglai. Akibatnya aku terduduk di lantai setelah membaca setiap baris kata yang tertulis di lembaran kecil itu. Apa ini akhir dari kisah ini? Apa tidak ada barang sedikit pun jalan yang bisa aku ambil untuk mengapai bahagia itu?
Bagaimana aku harus menyampaikan hal ini pada bunda?
Ah, Nattawin… tahniah! Kau berhasil mengecewakan mereka!
Aku dan Mile… benar-benar sudah tidak punya harapan lagi. Kisah ku dengannya terpaksa aku akhiri dengan cara seperti ini!
KAMU SEDANG MEMBACA
1. Between Us [ MileApo ] ☑
FanfictionBook 1 : Fakta bahwa kisah diantara kita harus terhenti disini tanpa sebuah titik terang adalah sebuah kenyataan yang paling pahit untukku telan sendiri.