Can't Leave My Mind

2.6K 400 44
                                    

Pagi guyss😂😂😂😂
Maap ya lama, biasa aku mah suka gitu.
Kadang ada dan tiada kek lagu😂😂

Enjoy for today update, Love y'all mumuu khab🥰🥰🥰

Oh, aku nunggu 150 vote baru nanti aku balik bawa update lagi ya😂😂😂






Saking kesalnya Freen pagi ini. Ia tiba di kantor dengan wajah galak—padahal bos mereka biasanya penuh senyum dan ceria.
Apalagi setibanya masuk ruangan, atmosfer kerja mereka terasa tidak nyaman. Terlebih ketika Freen memanggil langsung manajer HRD yang masih mengunyah makanan di kantin kantor—tengah sarapan.

“Pak, Rudi. Siapa hari ini yang interview untuk anak baru?” Freen bersidekap dada dengan jarak terlalu dekat dengan lawan bicara.

Rudi, yang mulutnya masih penuh dengan lontong dan gorengan. Hampir tersedak—untung saja ia mendistraksi dengan lihat ke bawah, telan makanan sebelum mendongak menatap si Bos wanita mereka.

“Pak Jeremy, Bu. Dia lagi di lantai satu untuk perekrutan anak baru, bersama Bu Hera dan Pak Yanto.” Mulutnya yang masih penuh minyak itu mesti langsung menjawab, ia bahkan tak mau ambil kesempatan untuk sejenak minum. Takut kena bantai bahkan hanya dengan tatapan mood buruknya pagi ini saja. Tumben bos cantik bete, biasanya dia bahkan suka mentraktir mereka.

Freen tidak biasanya serius, jika bicara. Bos mereka selalu penuh senyum sebelum berkata. Lah ini, dari sebelum dia mendekat saja. Rudi tahu, kalau bosnya mungkin sedang tidak punya mood bagus.


“Nanti tolong, habis kamu selesai sarapan. Bilang ke Jeremy, kalau ada yang namanya Rebecca Armstrong. Jangan terima dia. Mengerti?”

Rudi yang mendengar, cukup kaget tapi mengangguk juga. Heran kenapa gerangan jadi tiba-tiba ikut campur dengan calon anak baru. Biasanya juga, Bos selalu menyerahkan segalanya dan percaya saja. Tapi ini tumben sekali. Apalagi setelah berkata demikian. Freen langsung minggat dengan memutar tubuh seperti seorang Paskibraka nyasar.

Langkahnya tegas, galak, dan kelewat sangar. Heelsnya bahkan mengetuk lantai seolah ingin menancapkannya sampai ke bawah, saking keras derap kaki itu berjalan.

Kenapa dia?

Rudi naikkan bahu bersamaan dengan bibirnya yang merapat. Nurut sajalah. Yang penting dikasih waktu untuk selesaikan sarapan.

Namun saat Rudi selesai sarapan, berjalan masuk Lift sambil menepuk perutnya yang kini jadi membulat—mungkin karena efek punya Istri—untuk ke lantai bawah.

Tepat ketika pintu hampir menutup, ia melihat si Bos wanita yang tadinya kelihatan galak. Kini berlari dengan panik dan hendak hentikan lift. Tapi mesin berjalan cepat dan kini Rudi beserta pegawai lain—yang bahkan terlalu kaget untuk bereaksi apapun saat sang Bos berlari sambil meneriakkan nada tak jelas. Mereka hanya bisa menatap satu sama lain dengan bingung. Tapi membiarkan lift itu untuk tetap berjalan ke bawah.

“Sial!” Freen harus cegah si Rudi untuk sampai ke lantai bawah duluan sebelum ia bicara lagi.

Dengan bringasan, Freen menekan tombol atas-bawah Lift agar mesin pengangkat itu segera kembali naik. Namun karena masih jam pagi, semua orang sibuk datang untuk memakainya.

Jadi Freen mau tidak mau harus turun tangga. Iya, turun dari lantai delapan ke lantai satu dengan tergesa dan berakhir ngos-ngoson seperti orang hampir kehilangan nyawa. Keringat bahkan kentara di atas dahinya yang buat wajah dramatis panik dan kelelahan itu berhasil membuat para pegawai sontak melirik.

Anya—resepsionis lobi, yang baru saja duduk di tempatnya pun, langsung hampiri si Bos yang kelihatan butuh napas buatan karena tarikan napasnya yang sesak ketika melangkah.

“Bu?” Anya hendak bertanya ada apa, tapi Freen keburu angkat tangan untuk melarang apapun yang berusaha keluar dari mulutnya.

“Anya, jang-jangan bertanya.” Freen menarik napas dengan susah. Ia tidak mau energi ini dikeluarkan untuk menjawab rasa penasaran gadis itu padanya.
Ia lebih memilih segera lanjutkan langkah untuk menyusul Rudi yang ternyata sudah masuk ruangan dan kini telah keluar dengan cepat.

“Rudi?!” yang sontak buat Freen meneriakkan namanya dengan lantang. Membuat seisi ruangan kelihatan mencekam.

Apalagi ekspresi Rudi yang kini melotot sambil pegangi dadanya yang juga menggembul timbul.

“Kau sudah beritahu Jeremy?!” Freen langsung menyergap, meletakkan kedua tangan di bahu Rudi dengan mata melotot beserta remasan yang seolah penuh ancaman.

“Jeremy lagi interview anak baru. Jadi aku tadi kasih tahu Pak Yanto dulu untuk diberitahukan pada Jeremy.”

Freen yang hampir lepas jantung, terpasang lagi napasnya. Merasa lega dan perasaan ingin mencekik perut Rudi jadi menghilang seketika.

“Kamu pergilah, aku yang akan bicara lagi pada Pak Yanto.” Freen mengusir, mengibas tangan dengan mata terpejam dan peluh yang menitik ke bawah.

Dengan cepat ia tegakkan badan dan melangkah masuki ruangan si Yanto berada.

“Pak?” Baru saja suara dan kepala Freen muncul, lelaki paruh baya yang tengah makan roti itu hampir tersedak.
Mulut megap-megap dengan tangan otomatis mengambil botol air minum dan menelan segala yang tersangkut di tenggorokannya saat ini.

“Pak, hiraukan apa yang diminta sama Pak Rudi tadi. Semuanya batal. Saya yang minta.” Lalu tinggalkan si Yanto yang bahkan belum memproses segalanya tapi sudah disuruh mengerti duluan.


~~*~~


Kenapa Freen jadi plin-plan begini? Karena ketika ia balik ruangan setelah meminta Rudi untuk tidak menerima lamaran Becky kerja.

Dia jadi berpikiran terlalu panjang, dan berakhir takut menyesal. Apalagi kalau mengingat senyum Becky sambil meraba pipinya malam itu tiap kali Freen menutup mata.

Ini perasaan yang sangat menyiksa, kau bahkan tak bisa marah melainkan gemetaran di dada.

Sampai saat ini pun, dimana ia harusnya sibuk bekerja, Freen malah bengong seperti Bagong. Ia duduk melamun sambil menatapi jendela kacanya yang gelap. Menatap langit cerah yang bimbangkan perasaannya.

Kalau Becky kerja disini. Apakah ... Mereka bisa lebih dekat?

Dirinya sadar betul, ia dan Becky lebih sering adu bacot ketimbang bicara baik-baik. Apalagi kalau Becky pakai pakaian minim yang pajangkan bahu dan perut indahnya itu secara gratis.

“Freen?”

Freen tergelak kaget, reflek memutar kursi dan mendapati Nam yang telah masuk ruangan tanpa mengetuk, seperti biasa.

“Apa kau tidak bilang kalau Becky harus lulus seleksi?”

“Tidak?” tunggu, apa Becky gagal? Bocah yang selalu mengaku paling pintar itu gagal?

“Berarti dia lulus karena kepintarannya sendiri?” Nam sudah tanya Jeremy, dan merasa lega ketika Becky lulus tes dan interview perusahaan dengan mudah. Lelaki muda itu bahkan tanpa henti memuji segalanya—termasuk kecerdasan dan penampilan cantiknya.

“Oh...” ternyata dia lulus.

“Tapi apa Becky bisa bekerja di bagian administrasi? Dia bilang tidak suka duduk di bilik kecil. Tapi masih ada kursi kosong dibagian promosi dan tim kreatif, juga dia kan dulu pernah jadi model. Kita bisa—“
Freen sebetulnya tidak mendengar banyak Nam bicara apa selain dia bilang kalau Becky tidak suka bekerja di bilik kecil yang akan membuat otaknya kerdil.

Jadi Freen harus berpikir lebih cerdas dari biasanya. Lagian kalau Becky ditaruh di bagian yang jauh dari lantainya bekerja. Sama saja artinya ia tidak bekerja dengan perempuan banyak tingkah itu.

Kalau begitu...

“Dia akan jadi sekretaris pribadiku.” Case closed. Freen memutar kursi duduk lalu kembali menatap keluar jendela sana dengan pasang kaca mata hitamnya.

What?! Kamu serius?!” selama ini Freen tidak suka punya sekretaris pribadi, dia bilang sendiri kurang nyaman. Jadi biasanya kalau tidak panggil dirinya, Pak Rudi atau Jeremy, Freen bisa atasi sendiri segala pekerjaannya.

“Kapan dia mulai kerja?” Kenapa Freen yang malah jadi deg-degan? Bayangkan jika Becky bekerja dengannya.

“Besok?” tapi Nam mengerutkan dahi tentang yakin atau tidaknya. Tapi, “sepertinya besok.” Ia mengangguk pada diri sendiri.

Bahkan jika harus lusa atau Minggu depan mulai kerja, Nam yakin Freen pasti meminta Becky untuk langsung bekerja secepat mungkin. Mengingat bagaimana lengketnya Freen kemarin saat mereka bertiga pergi ke Mall.

You Belong With Me (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang