Warm

2.5K 372 43
                                    

Menjelang siang guysss😁😁😁

I dunno what to say, this story come out different then what I'm planning before.

It become ... More sad😂😂😂

It's been so long since I wrote something sad, karna aslinya aku juga gak ahli bikin yg sedih2 gitu

But, since the plot udah mateng, jadi aku lemparin aja apa yg ada dipikiran.

Anyway, happy reading ya, love you all.

Jangan nanya kapan mereka nananinu, yg nulis juga lupa gimna cara bikinnya😂😂😂

Jangan nanya kapan mereka nananinu, yg nulis juga lupa gimna cara bikinnya😂😂😂

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.





“Hei.” Freen mengelus pipinya, bangunkan Becky dari lamunan lama.

You okay?” dia menatap hujan dengan mata penuh kesedihan yang tampak tak bisa disembunyikan.

Ia masih ingin tanya kenapa, tapi sang Ayah yang dari kejauhan hendak menghampiri, Freen tahu kalau mereka tak bakal bebas bicara.

Namun dengan ajaib, Nam datang menyeret sang Ayah pergi, yang buat Freen langsung bernapas lega. Akhirnya meninggalkan mereka hanya berdua, ia mesti berterima kasih dengan Kakaknya habis ini.

I’m okay.” Becky mengabutkan pandangannya dari hujan pada wajah Freen. Mendongak sedikit dan menatap matanya yang kalau dipandangi, indah juga.

“Nak, bajumu basah tidak? Butuh ganti tidak?”

Freen menghela napas gemas, menatap sang Ibu dengan sedikit kesal, ya memang, kalau tidak Ayahnya, jelas ibunda yang bakal ganggu.

“Sedikit, Mah. Tapi tak apa, kok. Tidak begitu basah. Nanti juga kering.”

“Betulan tak apa?”

“Iya.” Becky mengangguk yakin, mekarkan senyum yang kemudian dipercayai ibunda Freen. Lalu tahu-tahu dirinya ini digiring ke ruang tamu dengan untuk perlihatkan segala makanan penutup yang memenuhi meja.

Ya Tuhan. Masih mau makan lagi, ya? Becky menatap Freen yang tampak melotot bahagia melihat banyak makanan itu. Ini juga lagi, tidak ada kenyangnya ini orang.

She’s literally munching everything. Hidup seminggu dengan Freen, kebiasaan yang melekat padanya adalah nyemil. Nonton TV nyemil, habis makan nyemil, mau mikir nyemil, dia bahkan kadangkala kenyang karena nyemil bukan makan nasi.

Lihatlah jamuan di atas meja itu.

Memang pada suka makan kayaknya, mungkin itulah kenapa Freen suka sekali nyemil kalau di rumah. Ternyata karena kebiasaan dari keluarganya sendiri.

“Sini, cantik. Cobain, deh. Puding roti yang Mamih bikin tadi siang.” Becky disuruh duduk di sebelah Freen yang sudah melahap kue kering dengan mulut lebar. Seperti anak-anak, wanita itu bahkan meninggalkan remah bertebaran di atas bajunya.

“Freen.” Ia menghela napas sambil mengibas remahan itu keluar dari sekitaran pakaiannya. Sementara tangan satu memegang piring kecil berisi sepotong puding yang baru saja diberikan Mamah padanya.

Thank you.” Freen tersenyum dengan gigi gusinya, lalu lanjut melahap kue lain di depan meja. Yang buat Becky gelengkan kepala, apalagi menatap Nam beserta kedua orang tua kedua Kakak-beradik itu.

Mereka betul-betul makan banyak. Astaga, perut kecilnya saja hampir meledak karena makan nasi tadi, ini mereka muat berapa banyak ronde.

Lebih hebatnya lagi. Setelah mereka makan sebanyak itu. Keluarga kecil ini masih sempat dan kuatnya karokean. Bersenang-senang sambil menari-nari. Freen bahkan, yang ia sangka bakalan kaku dan tidak seru, wanita itu jelas menikmati musik sampai seluruh tubuhnya bergoyang hingga wibawa yang selama ini diperlihatkan, semuanya hilang ditelan sendawa besarnya yang kagetkan telinga.

You serious?

Freen nyengir lebar setelah puas keluarkan sendawa yang akhirnya melepaskan perut ini dari sesak habis makan.

“Ayo, ikut menyanyi.” Nam menyeret Becky, berikan Mic, lalu menyuruhnya melanjutkan lirik yang tertera di layar kaca.

Becky yang awalnya ragu, ikut menyanyi juga meskipun kadang kebingungan karena ia tak banyak dengar lagu yang mereka nyanyikan. Namun pada akhirnya ia menikmati pemandangan dan ikut dalam suasana pesta kecil-kecilan ini.

Ia bahkan tertawa sampai menutup mulut saat Nam joget duet dengan Freen, apalagi saksikan Ibu-Bapak itu yang juga berputar-putar di samping kedua anaknya. Bukan lagi fokus bernyanyi, mereka hanya bersenang-senang hingga  merusak setiap nada dengan semua candaan.

What an amazing view. Becky menatap dengan sedikit sendu, namun senyuman dibibir.

Ia tidak pernah merasa sehangat ini, setertawa ini, sesenang ini. Perasaan seperti ini sangatlah langka, sebab segala malamnya selalu dipenuhi dengan ruangan yang sepi, dan pemandangan jendela luar yang hanya perlihatkan temaran gulita hari. Ia belum pernah berpesta bersama keluarga meski sederhana begini.

Sebab selama ini, ia selalu berusaha menjauh dari sesuatu yang namanya Keluarga.

“Pulanglah besok, ini sudah terlalu malam untuk perjalanan pulang.” Sang Ayah lebih pada meminta, melihat Nam yang sudah melipir ke lantai atas karena kelelahan, serta Freen yang menatapi perempuan lebih muda untuk tahu jawaban dari mulutnya. Dia jelas tak mau asal jawab kecuali Becky setuju duluan.

Becky akhirnya mengangguk saja. Memang sudah malam. Tahu-tahu sudah jam satu pagi saja. Keluarga ekstrem ini memang. Kalau di luar negeri, mungkin rumah ini sudah dilaporkan polisi karena kebisingan yang berlebih.

“Kamu mau tidur sendirian atau ...?” Freen sudah mengantar Becky ke lantai atas, tepatnya di depan kamar lamanya dulu. Lebih baik bertanya apakah dia ingin tidur sendiri atau tidak keberatan kalau ia juga berada di dalam bersama, tak keberatan bahkan kalau dirinya hanya tidur dilantai beralaskan dinginnya lantai pun, tak apa. Persis seperti orang putus asa.

“Kamu jangan banyak basa-basi Freen.” Becky tersenyum melihat Freen menggaruki leher yang mungkin tak ada gatal dimanapun. “Ayo, masuk.” Seperti yang punya tuan rumah saja, Becky memasuki kamar duluan, lalu dengan santai melepas dressnya sampai jatuh ke lantai, untuk kemudian masuk ke kamar mandi.

Meninggalkan Freen yang melongo sambil pegangi dada, takut jantungnya lepas dan melarikan diri entah kemana. Sebegitu lemah dirinya.

Ia bahkan harus berpegangan pada bibir kasur karena sekelebat tampilan Becky—dengan celana dalam dan bra mungilnya. Astaga-astaga. Freen menutup mata seperti baca mantra, menggumam dalam hati kalau ia tak boleh berpikiran kotor.

Tapi mau bagaimana?! Orang si Betinanya saja seperti memancing kail padanya!
Freen mana tahan!

“Freen?”

“Astaga!” Freen langsung balik punggung, duduk meremas bibir kasur sampai ujungnya kusut. Menutup mata yang terasa gatal karena baru saja didatangi oleh Becky dengan pakaian dalam yang sama. Perlihatkan bagaimana tubuh itu begitu menggoda.

“Kau punya baju, kaos biasa yang masih disini?” Becky tidak keras memanggilnya, tapi reaksi Freen yang terlonjak kaget sambil pegangi dada malah jadi kelihatan seperti lansia yang kena serangan jantung.

“Ya-ya, di lemari sana.” Freen menunjuk pada lemari tanpa ingin menatap Becky. Ia harus lari, tapi jangan melarikan diri. Makanya ia putuskan untuk ke kamar mandi dan mencuci muka serta gosok gigi. Mungkin saja ketemu air dingin bisa hancurkan segala pikiran mesumnya.
Tapi nyatanya, saat ia keluar dari kamar mandi dengan mulut segar. Pemandangan Becky memakai kaos kebesaran dan rambut tergelung ke atas—tengah duduk di bibir kasur. Membuatnya jadi menelan ludah.

Freen, kamu sudah kenyang. Makan banyak sampai sendawa besar. Ia mengatai diri sendiri sambil menutup mata. Masa iya, lihat begitu saja langsung pengen melahap.
Mungkin karena yang dilihat matanya kini bukanlah makanan, melainkan kulit halus lehernya yang terpampang bebas. Dia sangat cantik.

“Sudah gosok gigi?” Becky bertanya, alihkan pandangan dari ponsel pada Freen yang tengah berdiri kikuk di depan pintu kamar mandi. “Aku ambilkan celana pendek dan kaos ganti. Tidak keberatan, kan?” ia menuding pada setelan kaos yang tergeletak di sampingnya duduk. “Nih.” Lalu berikan pada wanita yang lebih tua.

Thank you.” Freen sampai harus berdeham keras demi kaburkan pandangan. Memilih ganti baju di pojok kamar sambil memunggungi Becky yang menatapnya heran.

“Kau bahkan memakai boxer telur ceplok itu?” Becky menarik satu alisnya melihati boxer yang perlihatkan Gudetama tengah menungging pantat seperti yang Freen lakukan saat ini, posisi sama dia memakai celana pendeknya.

“Diam.” Freen cepat-cepat memakai celana dan kaosnya. Lalu berjalan entah mau kemana ini, sampai ia menabrak lemari hingga benturkan dahi yang suaranya berhasil kagetkan Becky.

You okay?!” Becky segera hampiri, reflek menegakkan kepala Freen untuk melihat apakah ada luka disana.

I’m okay.” Freen buru-buru melepas tangan Becky yang meraba kepala dan dahinya. Sebab jantungnya berdetak begitu keras, takut dia mendengar dan jadi ketakutan.

Why are you acting so weird?” Becky mencubit lengannya, gemas kenapa dia ini bertingkah canggung. Padahal tadi di bawah sana Freen sangat all out mengeluarkan jati dirinya yang setengah pelawak bersama Nam.

“Aku tidak bertingkah aneh.” Freen berkacak pinggang, membela diri dan berusaha kuatkan hati.

“Yeah-yeah.” Becky memutar bola mata, lalu tersenyum sambil menepuk pipi gembulnya.

Thank you, anyway.

Freen heran, “terima kasih untuk?”
Today, I guess. I’ve never felt so welcoming into something so warm. But ... your family. Is so warm that it tickles my heart.”

“Aw. Kenapa kau bilang seperti itu? Kau juga punya kedua orang tuamu.”

“Hehm.” Becky mengangguk dengan mata ditebarkan ke samping. “I spent my whole life alone Freen, in somewhere where there’s no family embracing.

“Beck ...” Freen salah bicara. Melihat matanya yang cantik jadi meneduh tundukkan kepala. Ia tahu ada sesuatu yang dia simpan sendiri.

“Oh, anyway.” Becky menepuk tangan, buyarkan pembicaraan dengan nada yang diubah dengan penuh kepura-puraan. “Kenapa Nam dulu tidak sekolah bareng kita?”

“O, dia.” Freen mengingat sedikit masa itu, lupa dengan topik sebelumnya. “Dulu dia punya sahabat kecil yang tidak bakal bisa dipisahkan, dia hanya mau sekolah kalau ada sahabatnya itu.”

“Benarkah? Lalu dimana sahabatnya sekarang? Aku tidak pernah lihat Nam kelihatan jalan sama orang lain kecuali dengan kamu dan Lisa-Jennie.”

“Dia sudah meninggal.”

“Aw.” Becky menutup mulut. Salah cari topik dia ini. “Maaf ya.”

“Tidak apa.” Freen tersenyum, memilih duduk di bibir kasur yang diikuti Becky setelahnya. “Itu sudah lama sekali, Nam mungkin sudah tidak memikirkannya sesering dulu. Karena saking sedihnya, Nam mengurung diri di kamar dan tidak mau makan. Dia juga tidak mau main denganku, lalu kemudian kita mendapat ide untuk memelihara anjing. Tapi kau tahu apa selanjutnya?”

“Kenapa?”

“Anjingnya sakit dan meninggal juga.”

“Ouch.” Becky menyernyit sedih. “Rasanya pasti double sakit.”

“Yeah.” Freen mengangguk, menatap Becky tanpa make up yang jadi tampak segar dan muda. Dia lucu sekali.

“Kamu mau langsung tidur?” Becky menatap jam di dinding, ternyata sudah jam dua saja. Cepat sekali. Tangan otomatis melepas ikatan rambut hingga jatuh tergerai—tanda siap rebahkan diri. “Aku mau langsung tidur kalau tidak keberatan.” Ia tak mau menunggu Freen menjawab. Toh, dia ini lebih sibuk menatapi wajahnya daripada bicara.

Jadi ia beranjak dari kasur, mematikan lampu, merebahkan diri dan menarik selimut. Meninggalkan Freen yang padahal masih mau mengobrol.

You Belong With Me (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang