The Death of Born Something

11.8K 629 100
                                    

Hey guys, gue balik bawa cerita baru lagi😁😁

Ini aku gak janji ya, bikin crita ini bisa sampe selesai ato gak. Aku juga gak janji buat update setiap hari ato gak.

Yg jelas aku cuman minta pengertian kalian aja.
Aku cuman pengen nulis, ada ide, nulis dan nulis.

Meskipun akhir2 jadi sering kecapean dan kurang tidur, jadi susah buat mikir dan takut kena write block lagi😂😂😭😭😭

Tapi ya, tolong sabar ya sama gue yg kek begini😭😭😭

Anyway, happy reading, mumu banyak2🥰🥰🥰

Semoga suka😁

Semoga suka😁

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.







Kakek Handoko telah meninggal.

Itu yang Freen ingat sebelum keributan dalam rumah terjadi.  Sementara ia hanya mengerutkan kening dengan kebingungan, kenapa orang tuanya bereaksi berlebihan?

“Kenapa kalian yang panik? Pak Handoko bukan kakek kita. Kakek kita sudah meninggal setahun yang lalu.” Freen melipat tangan ke dada, duduk bersilang di sofa ruang keluarga. Yang ia pikir hari ini bakal jadi hari santainya.

Meskipun kunjungan ke rumah orang tua kemarin adalah diskusi keluarga yang belum disampaikan sampai saat ini. Itulah kenapa ia masih disini, sabar menunggu. Sampai berita kematian sahabat kakeknya yang telah tiada beberapa menit lalu berhasil membuat kehebohan.

“Pah, jelasin ke Freen.” Sang Istri menyuruh, sementara ia ngacir ke lantai atas, entah untuk apa. Mungkin menelepon orang secara rahasia sebab ponsel yang digenggamnya tampilkan layar nyala—tengah menelepon seseorang.

Sementara sang Ayah mengambil napas, menghadapi Freen yang masih tampak tenang. Bersiap hancurkan posisi santainya dengan katakan;

“Kalau Pak Handoko sudah tiada. Artinya kamu harus cepat menikah.”

“Huh?!” ini kenapa ... “Apa maksudnya aku harus menikah padahal hanya dengar berita Kakek Handoko meninggal?! Apa hubungannya dengan kehidupanku?!” Freen sontak murka. Berdiri dengan garang menatap Ayahnya.

Ayahnya tahu kalau Anaknya bakal bereaksi seperti ini. Jadi ia tak perlu kaget dan akan balas dengan tenang.

“Kau tak ingat apa, kalau cucu pertama akan dijodohkan sesuai perjanjian?”

“Perjanjian apa? Aku tidak merasa punya perjanjian apapun setelah dilahirkan. Kalau perjanjian itu ada sebelum aku lahir, berarti itu bukan urusanku!” kesal tidak sih, kok bisa kehidupannya mau diporak-porandakan begini. Apa maksudnya coba?

“Freen, Pak Handoko dan Kakekmu membangun bisnis dan sukses bersama. Perjanjian itu sama dengan urusan bisnis yang sedang kamu kelola sekarang. Meskipun jabatanmu Direktur. Tapi kamu akan kehilangan semuanya kalau menolak perjodohan ini.” Sang Ayah harus memastikan Freen paham dan mengerti akan situasi genting ini. Itu sebabnya ia dan Istri seperti kalang-kabut kebingungan.

“Itu tidak masuk akal! Aku masuk perusahaan karena kemampuanku. Ini tidak adil!” Freen tidak ingin berdiskusi dengan hal yang menyangkut kehidupan pribadinya. Orang lain tidak boleh memaksakan kehendak.

Jadi ia berdiri, hendak pergi. Namun sang Ayah langsung menangkap lengan dan menahan.

“Freen, percayalah, kau harus melakukan ini. Karena kalau tidak, semua harta kekayaan keluarga kita dan keluarga Pak Handoko tidak akan jatuh pada keluarga sendiri melainkan pada badan amal.”

“Huh?! Kok, bisa begitu?!”

You Belong With Me (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang