Hole in Your Heart

1.8K 223 49
                                    

Met pagi guyssss😁😁😁

Short update, I knowww, pelan2 ya, mohon kesabarannya sama cerita ini. Pokoknya aku lagi nyempetin nulis terus.

Anyway, have a nice day!


“Becky!” Freen harus menjagal tangan Becky. Menarik gadis itu masuk lorong sepi. Demi jelaskan dengan apa yang baru saja ia sampaikan.

You see me like a sister?” Becky menyembur napas dengan sarkas. “We freaking slept together, Freen. And YOU, see me, as a sister?” Hebat ya, dia.

“Becky, I can explain.”

“No, Freen.” Becky mengangkat tangan di depan wajah wanita itu. Mengambil napas untuk lagi bicara. “We’re not a fucking children anymore. Apapun perkataanmu, adalah sebuah kejelasan. Jadi aku tidak perlu mendengar apapun alasan kamu selanjutnya.”

Ia memberi tatapan mengetat tajam, nyatakan kalau ia serius dengan setiap detil kata tanpa ada celah untuk Freen bicara. Bahkan ketika ia tahu wanita itu hendak mangap ingin berkata, Becky mesti mendorong dadanya hingga menubruk tembok belakang tubuh. Mengintimidasi lewat tatapan.

You know what, Freen.” Jangan menangis. Itu adalah mantra yang saat ini Becky percikkan dalam hati. Mencoba untuk sanggup bicara, “I thought we could gave a shoot and see where this is going. And today ... you just proves it.” Ia kira membuka kesempatan tidak ada salahnya, tapi nyatanya memang tidak benar diawal.

Layaknya keputusan kacau balau, Becky hanya perlu tak menyesali. Sakit hati adalah sebuah masa yang takkan pernah ada henti dalam hidupnya. Mau ia pergi kemanapun, dengan siapapun. Barangkali takdirnya memang begini.

“A-aku...” Freen menelan ludah, bingung ingin bilang apa. Takut salah kata akan membuat situasi ini jadi makin tidak baik. Sementara perasaannya kini penuh dengan penyesalan. Ia berharap bisa menarik apa yang telah diucapkan.

“Tidak, kamu tidak perlu bicara apapun. Karena sekarang aku mengerti apa maumu. Kamu hanya lihat aku seperti adik kecil. Jadi aku akan berada diposisi itu mulai sekarang. Aku akan dengan senang hati membatalkan segala niat dan memulai keyakinan yang lain untuk mencari hal yang lebih baik daripada memulai sesuatu yang akan menyakitiku lagi.” Becky sudah lelah mengejar sesuatu yang percuma. Jadi ia akan berjalan ke arah lain demi kebaikan hatinya yang pernah patah.

“Becky—“ Freen ingin berkata sesuatu yang bisa yakinkan perempuan di depannya, tapi gadis itu melengos, membuat langkah menghindar, meski ia gapai tangan untuk mencegahnya bergerak.

Let. Me. Go.” Mulut manisnya berkata dengan mata penuh getar kecewa, “karena mulai hari ini. Aku secara resmi membatalkan perjodohan ini. Akan mencari uang tanpa menyerah, dan tak takut pada apapun di depanku.” Lalu melempar tangan Freen lepas dari genggamannya.

Melangkah tegas, meninggalkan Freen yang memandangi punggungnya tanpa berusaha mengubah sebuah keadaan sebelum makin terlambat.

Meski dia mengejarpun, hasilnya akan sama. Penolakan.

Sebab kau tahu apa?

Becky sudah kecewa. Ia terlalu berpikiran baik pada Freen, sehingga memberinya celah hati. Dan membuka semua gerbang yang selama ini ia tutup untuk orang-orang.

~~*~~

Becky menekan tombol kata sandi masuk apartemen Freen dengan bergetar tangan, air matanya sudah basahi pipi.

Bercampur keringat habis jalan kaki. Ia mewek sejalan-jalan. Mengakui malu pada diri sendiri. Untuk biarkan ia jadi dilukai layaknya bayi tak mengerti. Apalagi tak pedulikan beberapa orang lewat dan satpam depan yang sempat melihat bagaimana ia menutup muka dengan suara tangis segukan tanpa jeda.

Mungkin Becky mesti kabur saja dari awal. Ia berpikiran begitu, tapi artinya ia menyesal. Padahal sudah janji, kalau ia tak bakal merasa demikian apapun akhibatnya.

Namun hanya dalam satu kalimat saja, ia terluka dan kini kesakitan seperti ini.
Jelas tidak adil. Ia harusnya jadi wanita kuat, seperti biasa. Bahkan saat ia mendapatkan kematian Niall, perselingkuhan sang Ayah, ataupun penolakan Mark. Harusnya Becky sudah biasa.

Tapi ini, sakit cinta instan sangat melubangi hatinya dan ini tidak adil!

God damn it!”

Becky akhirnya berteriak. Setelah masuk rumah dengan langkah bergetar luka, ia kini berdiri di depan jendela balkon yang lebarnya bisa membuat ia langsung berlari dan loncat hingga mati dengan mudah.
Namun tidak, bukan begitu cara seorang Becky melewati sebuah drama.

Ini akan sama seperti sebelumnya. Iya, Becky berpikir demikian. Itu sebabnya setelah memelototi balkon dengan langit cerah.

Ia menantang diri dengan kering air mata di pipi. Bahwa ia tidak takut dan akan melawan semua orang. Termasuk dirinya sendiri.

Itu kenapa ia cepat-cepat masuk kamar. Melempar sepatu, hingga tas yang isinya bercecerah keluar ke atas kasur. Ia membuka kembali koper yang telah dikosongkan untuk kembali diisi. Lalu setelahnya ia bisa mandi berendam selama yang ia mau.

Tapi baru selesai satu koper, ponselnya telah berbunyi. Untuk yang kesekian kali. Ia sebenarnya mengabaikan semua dering menyebalkan itu.

Untuk siapapun yang menelepon. Ia takkan mengangkat. Terutama kalau dia adalah pelaku kejahatan seperti Freen Sarocha. Akan ia cekik hidup-hidup kalau sampai dia pulang dan bertemu dengannya.

Namun suara aplikasi lain membuat nada yang sontak, buat Becky langsung arahkan pandangan pada ponsel yang tergeletak di atas kasur dekat tasnya. Hentikan semua gerakan gegabahnya dalam memasukkan pakaian.

Diikuti suara telepon dari aplikasi yang sama. Becky berjalan hampiri demi bisa melihat, siapa gerangan yang menelepon?

Mark?

“Halo?” tidak bermaksud langsung mengangkat, tapi ia jelas punya reflek bagus soal lelaki itu. Maklum saja, mereka sudah jalani hubungan sampai lima tahun sebelum berpisah dengan penuh luka.

“Oh, Becky.” Ada helaan napas kelegaan, yang begitu keras terdengar disana. Kemudian tak lama diikuti kalimat lain, “aku berpikir kamu takkan mau bicara denganku lagi.” Sebab ia begitu rindu, dan kehilangan.

For a second, yes. Kenapa? Kamu mau bicara apalagi denganku?” lebih baik katakan tanpa basa-basi, itu kenapa ia langsung bertanya pada inti.

I got the ticket.” Ada suara yang kedengaran begitu senang.

Tapi Becky mengerut alis kebingungan. “Hah? Tiket apa?”

To Indonesia. I’m going. Aku akan menyusulmu kesana, melamarmu dengan bangga, dan memperjuangkanmu lebih baik.”

“Mark...”

You Belong With Me (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang