Drunk Text

1.4K 200 10
                                    

Selamat malam minggu guyssss😁😁

Iya, maaf ya kok tetiba ngilang lagi aku😂😂😂

Yg katanya tinggal ngedit, tapi malah berujung ganti plot dan dirombak habis😭 abis itu chapter yg udah aku tulis banyak yg kebuang, ya amploopp😭😂😂

Kayaknya aku buang 5 chapter dengan 1500kata untuk mengganti plotnya😂😭😭😭

Jadi aku minta maap, ya.
Tenang, tenang. I'll still writing.

Those who waits with patient, thank you much. Love you guys so muchhh🥰🥰🥰

Kenapa sih, Becky tuh cangtip banget😭😭🥰🥰🥰😘😘

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kenapa sih, Becky tuh cangtip banget😭😭🥰🥰🥰😘😘





Becky menepak dahi dengan frustasi, ia tidak sangka kalau penjelasannya soal dia yang pecundang malah bakal membuat lelaki itu memutuskan hal yang tidak gampang.

Kalau Mark kesini, harus drama apalagi yang bakal Becky mesti lewati?

You can’t do that.”

Why not?”

“A-aku...” Becky malah dibuat kelu oleh pikirannya sendiri. Tadinya ia mau bilang kalau bakal menikah disini. Tapi saat ia mengingat kalimat Freen yang menggaung memori, ‘Becky sudah kuanggap seperti seorang adik’. Berhasil membuat kepala mendidih.

“Aku tidak ingin bicara dengan siapapun saat ini. Aku tidak mau berkata gegabah dan salah mengambil keputusan.” Ia kemudian langsung memutus telepon tanpa perlu menunggu jawaban si dia yang terkaget dan kebingungan.

Lebih memilih sibuk sendiri. Memasukkan lagi segala pakaian, termasuk sekotak alat jahit kesayangan beserta semua kancing warna-warninya.

Sialan, kancing kesukaan malah jadi mengingatkan pada kemeja Freen yang ia jahit hampir dua mingguan lalu.

Jadi ia buang saja ke tong sampah dekat jendela. Tak ingin berpikir untuk menyimpan kembali. Sama seperti perasaannya. Setegas ia membuat keputusan.

Ia letakkan lagi ponsel itu ke atas kasur, lanjut ambil pakaian yang dilipat-masukkan ke dalam celah kopernya.

Namun baru saja ia berdiri untuk lanjut ambil baju yang di gantung, ponselnya kembali bunyi, ia menilik sedikit hanya untuk balik lanjutkan aktifitas. Menebak kalau Mark pasti kembali menelepon. Bodoh amat dia mau bicara apa. Becky harus bersiap kabur.

Dertt ... Dertt ...

Jelas saja berisiknya ponsel itu tak bisa dihentikan kecuali yang punya mematikan. Sambil menggerutu kesal, ia akhirnya ambil kembali ponsel yang diletakkan. Mengangkat tanpa melihat layar, ia hanya akan marahi siapapun orang yang terus saja menelepon seolah tak punya kesibukan.

“Bisakah jangan terus meneleponku?!” Becky membentak. Kaget dengan suaranya yang bisa sekeras begitu. Sambil melihat kaca lemari yang pantulkan dirinya. Ia tiba-tiba menyesal telah dikuasai amarah yang sedemikian besar.

Mommy?”

“Robby?” the hell. Becky auto berubah ekspresi, alisnya tertaut kebingungan, sambil jauhkan telepon genggam untuk lihat nama dalam layar kaca depan. Ia membaca Nama ‘Robby’, tertera disana.

“Aku tidak boleh menelepon?” ada suara ketakutan, kaget saat diangkat, malah terdengar suara marah. Bagaimana Robby tidak panik mendengar, perasaan ia tidak punya salah, kok.

No.” Becky menggeleng kepala reflek, seolah orangnya ada di depan. Ia luruhkan tatapan menggelapnya menjadi lebih terang. Pelankan suara dan bicara normal. “Mark baru saja telepon, jadi aku mencoba melarangnya untuk terus mencoba hubungi.” Ia akhirnya bicara.

Yang dibalas Robby dengan helaan napas keras dari seberang sana. “Aku pikir Mommy tidak mau bicara lagi padaku. Kan, aku kaget. Padahal tidak punya salah.”

“Iya, maaf ya.” Becky tersenyum di depan cermin, bukan bicara pada yang ditelepon, ia serasa seperti mengobrol pada diri sendiri. “Kenapa telepon? Ini jam berapa, loh?” ia kemudian melihat jam tangan yang tunjukkan pukul tiga sore di Indonesia, disana pasti hampir tengah malam.

“Aku cuman mau konfirmasi, kalau gaun pesanan Mommy sudah sampai di Indonesia. Aku mengirimkannya ke alamat Orang Tuamu, apa sudah diterima? Bagus tidak?”

“Hah?” Becky jelas langsung nge-lag, apa dia bilang barusan? “Gaun apa, lagi?” ia jelas langsung bingung karena tak merasa meminta sebuah gaun untuk dikirim kesini.

A freaking white dress. Mommy membuat catatan sangat detail padaku, gaun lengan pendek, sederhana, jangan diberi payet berlebihan, bahannya halus dan tidak boleh berat saat dipakai.” Robby bahkan memeriksa kembali chat yang Becky kirim minggu lalu padanya.

Dress putih apa, Robby sayang??? Aku tidak pernah suruh kamu kirim barang kesini.” Wanita itu sungguh tidak pernah mengatakan atau ingat pernah menyuruh apapun pada Robby tentang sebuah gaun, apalagi untuk di kirim ke rumah. Sangat mustahil! Siapa coba yang nge-chat anak ini?!

“Mommy bahkan mengirimkan contoh gambarnya padaku.” Robby tidak terima, nadanya naik untuk kemudian membuat screen shoot akan pesan Becky untuk dikirim ke si empunya yang tiba-tiba hilang ingatan itu.

Oh, my God.” Becky hampir saja menyatukan dua alis bersama, melihat pesan berisi foto yang dikirim Robby padanya. Sambil menggigit jari, ia mencoba mengingat kapan ia membuat pesan ini.
Masalahnya adalah, tidak ada bekas chat! Itu kenapa ia tidak ingat kapan dia melakukan ini!

“Kenapa? Mommy beneran tidak ingat? Aku sudah kirim, lohhh.” Robby jadi ingin mewek, pokoknya Becky mesti terima dan mensanjung gaun-jadi yang sudah dikirimkannya!

Oh, honey. I’m sorry. I think ...” Becky Cuma berhenti di ujung mulut, entah mau bicara apa.

Tapi Robby segera melanjut kata, “jangan bilang, it was a drunk text?” Becky pernah melakukannya. Seperti punya kepribadian berbeda, saat mabuk. Becky bisa melakukan banyak hal, seperti menggambar lukisan setembok besar di ruang tamunya dahulu, bicara dengan bahasa lain, atau bahkan merangkak dan berguling layaknya bayi. Kebiasaannya bakal tak terduga. Dan mungkin bisa jadi dia melakukan hal yang sama.

“Sepertinya sih, begitu.” Becky kembali mengingat kapan dia terakhir mabuk. Kapan? Oh, iya. Saat dirinya meniduri Freen pertama kali setelah pemakaman sang Kakek. For a second, I thought it was Freen who send it to you. Tapi melihat dari gambarnya.”

Becky melihat dengan teliti coretan merah yang kelihatan seperti spidol namun bukan, di atas tembok itu. Iya, tembok. Bukan kertas. “Aku memang mabuk.” Damn. “I think I used one of my lipstick for this.”
Untung saja ia tidak menari striptease dan mengirimkan ke sembarang orang. Sebab ia pernah menemukan CCTV rumah yang siarkan dirinya mabuk dan menari hampir telanjang di depan sofa ruang tamunya.

Yang diseberang telepon cuman menghela napas, tapi kemudian bicara, “jadi Mommy menerimanya apa belum?”

“Aku belum menerimanya.” Artinya ia mesti pergi ke rumah orang tuanya lagi. Sial, setelah pengusiran dramatis hingga disaksikan para ART, mana punya image dia ini untuk balik kesana.

Tapi, sekalian bilang ke mereka kalau ia tak jadi menikah, ada bagusnya juga datang ke rumah.

“Kalau sudah diterima, nanti tolong review, ya Kakak cantik, kirim ke yang buat ini, sebab aku menunggu pujiannya. Haha...”
Ketawanya Robby memang agak menakutkan, meski kelihatan Boti abis, tapi suaranya besar bagai tong yang kau tendang dan menggema hingga kecamatan sebelah.

“Iya, Adekku sayang. Tenang aja. Nanti Mommy kirim reviewnya, full video lima menit, ya. But right know, I need to get ready.” Harus mandi biar jiwa raganya segar dan tidak cengeng lagi.

“Awh, Mommy, tapi aku ingin mengobrol, memang mau kemana, sih darling?” nada besarnya bergoyang tanda ingin ngambek. Tapi sang lawan bicara langsung ketus dengan bilang;

Don’t call me darling no more, honey. It get me traumatized.”

“But—“ belum juga Robby menghalangi Becky untuk matikan telepon, tapi si empunya segera bilang, “Bye.” Lalu matilah itu sambungan mereka.

Becky harus mandi, minggatnya ditunda dulu. Ia akan bilang pada orang tuanya untuk batalkan semua rencana. Masa bodoh dengan uang dan segala harta. Untuk kali ini saja, Becky ingin menjadi egois.

You Belong With Me (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang