7. Lelaki yang Aneh

952 182 4
                                    

Liam masih saja terdiam selama beberapa saat sampai dia tersadar karena suara klakson dari kendaraan lain. Sepertinya keberadaan mobilnya yang lama diam mengganggu pengendara lainnya.

"Lo nggak suka sushi?" tanya Giyan karena melihat wajah Liam yang berubah.

"Iya, gue nggak pernah cocok makan makanan Jepang," sahutnya. Liam berbohong karena bukan seperti itu alasan sampai dia tidak menyukai makanan Jepang lagi.

"Oh ... lo aja deh yang pilih mau makan di mana, gue makan hampir semua makanan kok," ucap Giyan bangga.

"Apa saja tempat makan yang bakal kita temui sepanjang perjalanan ini," balasnya. Dengan ucapan Liam yang seperti itu, Giyan pun mengarahkan matanya ke jalan raya agar bisa memberitahu pada Liam tempat makan apa saja yang tertangkap olehnya.

"Ayam goreng, sate, bakso, apalagi yang di pojokan itu .... Oh soto ayam, seafood ...." Giyan masih saja menyebut nama-nama makanan yang dilewati oleh mobil Liam tapi hingga Giyan lelah menyebutkan satu demi satu namanya, lelaki itu tidak kunjung memberikan pilihan. Giyan melirik ke arah Liam dan merasa kesal karena Liam seperti sedang mengerjainya.

"Lo mau makan apa sih sebenarnya?" tanya Giyan selang beberapa saat kemudian.

"Nggak ada pilihan yang menarik," sahut Liam.

"Ya sudah, langsung pulang aja kalau gitu," balas Giyan kesal padahal tadi lelaki itu yang mengajaknya makan. 

Dalam diamnya, Giyan memaki dalam hati dan merasa bingung kenapa tiba-tiba saja Liam berubah seperti orang yang sedang banyak pikiran. Yang paling menyebalkan, Liam malah seperti tidak peduli pada ucapan Giyan, dia masih saja sibuk dengan pikirannya sendiri.

Hingga mobil Liam berhenti di depan apartemen Giyan, lelaki itu tak kunjung berbicara sepatah kata pun hingga membuat Giyan yakin jika Liam sebenarnya tidak terlalu serius dengan ajakan makannya tadi.

"Tunggu dulu." Suara Liam baru terdengar saat Giyan telah melangkahkan kakinya keluar dari mobil Liam. Giyan menahan debar di dadanya masih sambil memaki dirinya karena bisa-bisanya dia masih merasakan debaran saat Liam telah membuatnya begitu kesal.

Apa Liam itu bermaksud meminta maaf padanya dan telah menentukan tempat makan mereka?

"Kotak makan lo ketinggalan," ujar Liam dengan wajah datar sambil tangannya terulur dan memberikan kotak makan berwarna biru itu. Giyan menahan napas karena mendadak rasa kesalnya semakin bertambah dan membuatnya ingin berteriak.

Tangan Giyan dengan cepat menyambar kotak makan yang tadi pagi diberikannya pada Liam. Tanpa berbicara apa pun, Giyan bergegas meninggalkan Liam. Dalam hatinya terus berkata jika ini adalah terakhir kalinya dia memberikan bekal pada Liam.

Setelah masuk ke kamar apartemennya, Giyan melempar kotak bekalnya dengan asal dan segera menuju kamar. Bagi Giyan, hanya kamarnya yang bisa memberikan ketenangan baginya.

Menyebalkan! Dia masih saja menumpahkan kekesalannya dalam hati walaupun Liam sudah tidak berada di hadapannya lagi. Lelaki yang aneh, kadang bersikap baik, tapi kadang juga menyebalkan.

Giyan berusaha melupakan apa pun yang berhubungan dengan dunia keartisan termasuk Liam saat dia sudah menyalakan laptop. Mengetik sebuah cerita adalah jalan yang terbaik agar bisa melupakan kekesalan pada Liam. Kali ini tidak ada Liam atau siapa pun itu yang membuatnya kesal.

Tapi ... keningnya berkerut saat membuka media sosial milik Lynn dan lagi-lagi mendapatkan pesan pribadi dari Liam yang entah kapan dikirimkannya, mungkin masih kelanjutan dari pesan yang tempo hari tidak digubris oleh Giyan.

Giyan berusaha memalingkan wajah dan mencoba tidak tertarik dengan pesan itu, paling hanya basa-basi seperti yang diucapkannya tempo hari. Setelah apa yang dilakukan Liam padanya tadi, Giyan sedang berusaha untuk tidak terpengaruh pada lelaki itu lagi. Tapi ... tidak bisa!

Dengan membuang napas kesal, tangan Giyan dengan cepat bergerak agar bisa membuka pesan pribadi dari Liam untuk Lynn.

Setelah sesaat membaca pesan dari Liam yang mirip dengan sebuah curhatan, Giyan baru sadar jika Liam adalah sosok yang bisa dengan mudahnya merubah sifatnya. Dengan Lynn, Liam bercerita panjang lebar tentang proyek film baru yang akan dibintanginya serta meminta bantuan Lynn jika suatu saat dia merasa kesulitan untuk mendalami karakter Sean, tokoh yang diperankan oleh Liam.

Dia juga kembali mengatakan betapa sukanya dia dengan karya-karya Lynn hingga membuat Giyan ingin sekali membocorkan identitas siapa sebenarnya Lynn. Jika Liam tahu, Giyan tidak yakin jika dia akan mengucapkan hal yang sama padanya.

Karena kesal, Giyan kemudian menekan tombol blokir hingga dia tidak bisa melihat profil serta pesan dari lelaki itu lagi.

Tapi ... kenapa memblokir Liam dari media sosial Lynn malah membuatnya gelisah? Giyan merasa begitu tidak memiliki pendirian saat tangannya kembali menekan tombol untuk membuka blokir yang baru saja dilakukannya.

Menyebalkan!

Akhirnya dia menutup media sosial milik Lynn dan mulai berkonsentrasi pada tulisannya. Seorang penulis sejati tidak akan terganggu oleh gangguan apa pun saat menulis, begitu terus yang diucapkannya di dalam hati hingga dia merasa sedang membohongi dirinya sendiri karena nyatanya kekesalannya pada Liam masih membuatnya sulit untuk berkonsentrasi.

Sambil menarik napas panjang, Giyan mencoba mengetik satu kalimat pertama ceritanya. Terasa lancar dan dia melanjutkan kalimat keduanya. Semakin lama tenggelam di dunianya, Giyan bahkan lupa jika dia belum berganti pakaian setelah pulang dari pemotretan tadi. Tangannya dengan lincah mengetik kata demi kata hingga menjadi sebuah kalimat yang penuh dengan makna.

Keningnya berkerut saat konsentrasinya terganggu karena suara panggilan dari ponselnya. Giyan menoleh sejenak ke arah layar ponselnya dan mengira jika Gwen yang menghubunginya. Hingga saat ini Gwen belum mengatakan kepastian kapan dia akan pulang ke Jakarta.

Tangan Giyan terulur dan mengambil ponselnya karena tidak bisa melihat dengan jelas nama orang yang sedang menghubunginya.

Matanya tak berkedip selama beberapa saat. Giyan berharap jika dia salah melihat layar ponselnya tapi tetap saja nama Liam terlihat jelas di matanya, terpampang dengan begitu nyata seolah berharap Giyan segera mengangkat panggilan teleponnya.

Apa lagi mau lelaki ini? Giyan berdesis pelan. Dia senang bisa berkomunikasi dengan Liam setelah selama ini keduanya hanya seperti orang asing, tapi nyatanya setiap keduanya mulai berkomunikasi dengan baik, ada saja hal yang membuat Giyan merasa Liam hanya mempermainkannya, berpura-pura baik tapi sebenarnya dia hanya sekadar berbasa-basi dan menganggap Liam tidak penting.

Giyan menarik napas panjang, rasa sukanya membuatnya mengabaikan perasaan kesal yang tadi dirasakannya. Dalam satu gerakan, Giyan pun menarik ponsel dan mulai menjawab panggilan dari Liam.

"Gue bawa makanan buat lo, turun sekarang kalau lo mau," ucap suara di seberang sana seperti sebuah perintah.(*)

Hasta Lavista, Baby!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang