2. Yang Tak Diduga

1.7K 247 12
                                    

Liam Mahardika adalah seorang artis seperti dirinya. Bedanya Liam memiliki banyak penggemar dan sepertinya tidak ada satu pun yang menghujatnya. Dia adalah tipe artis baik-baik dengan aura yang begitu menenangkan kaum wanita. Sangat berbeda dengan aura Giyan yang selalu membuat sesama wanita menjadi kepanasan karena cemburu.

Oh! Giyan menutup mulutnya karena merasa dia terlalu berlebihan memikirkan Liam yang padahal saat bertemu dengannya saja tidak pernah menyapanya. Walaupun sesama artis, tapi Liam termasuk sosok yang jarang sekali bergaul dan irit bicara.

Giyan segera mengesampingkan pikirannya tentang Liam dan segera membuka pesan dari lelaki itu tadi.

Hai Lynn,

Aku sangat menyukai semua tulisanmu, bisa kita berteman?

Giyan menjerit dengan kuat dan mengabaikan jika dia baru saja melemparkan ponselnya ke lantai. 

"Aku pasti sedang bermimpi!" jeritnya.

Giyan sangat mengidolakan Liam, jauh sebelum dia terjun ke dunia artis. Liam yang tampan dan selalu terlihat sempurna membuat Giyan tidak bisa menghilangkan bayangan Liam.

Bagaimana ini? 

Liam mengirimkan pesan pribadi ke akun Lynn dengan ajakan berteman yang rasanya hanya bisa dibayangkannya di salah satu adegan film. Itu artinya Liam tertarik secara khusus pada Lynn.

Giyan kontan menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Dia merasa senang sekaligus salah tingkah. Tapi ..., kenapa justru pada Lynn? Pada sosok misterius buatan Giyan yang tidak nyata.

Tidak masalah, ini akan menjadi pertanda baik agar bisa mengenal Liam lebih dalam walaupun melalui perantara Lynn. Begitu terus yang diucapkan oleh Giyan hingga dia kembali mengambil ponselnya yang terlempar ke lantai. 

Satu ...dua ... tiga .... Giyan menghitung di dalam hati sambil memicingkan mata melihat layar ponselnya dan berharap ada pesan selanjutnya dari Liam. Tidak ada pesan lain lagi. Hanya satu pesan yang membuat pikirannya jadi kacau selama beberapa saat.

Apa artinya Liam sering membaca novel-novel yang ditulisnya hingga mengirimkan pesan seperti itu? 

Giyan meringis saat menyadari jika seharusnya dia tidak segera membaca pesan dari Liam itu agar lelaki itu bertambah penasaran pada sosok Lynn. Tapi sudah terlanjur, Giyan harus membalas pesannya sekarang juga.

Jari-jarinya dengan cepat menekan-nekan layar ponselnya tapi sesaat kemudian keningnya berkerut-kerut dan dia mulai menghapus tulisan yang baru saja diketiknya.

"Nggak bisa ..., Liam bisa il-feel kalau kubalas kayak gini." Giyan berbicara sendiri dengan mata yang fokus menatap layar ponsel.

Ternyata membalas pesan dari Liam terlalu sulit dilakukannya, jauh lebih sulit dari mengetik sebuah cerita pendek dengan seribu karakter. Napasnya tertahan dan matanya membesar dengan isi kepala yang terus memikirkan isi pesan yang akan dikirimkannya pada Liam.

Sial! Giyan mengumpat dalam hati saat sadar jika dia telah melakukan hal yang begitu menghabiskan waktu. 

"Mas Caraka minta lo datang jam tiga sore ini." Gwen tiba-tiba membuka pintu kamarnya dan membuat Giyan tersentak. Jika tadi sudah ada beberapa kata yang tersusun di otaknya, kali ini semuanya benar-benar buyar.

"Lo ah! Masuk nggak pakai ketuk pintu," omelnya.

"Memang biasanya gue ngetuk pintu kamar lo? Lo lagi di toilet aja, biasanya gue main masuk aja," balasnya tidak terima.

"Apa tadi yang lo bilang?" tanya Giyan sambil menyimpan ponselnya dan melupakan jika seharusnya dia membalas pesan yang dikirimkan oleh Liam tadi. Sebenarnya bukan melupakan, tapi kehadiran Gwen malah membuatnya semakin tidak bisa berkonsentrasi membalas pesan Liam.

"Mas Caraka minta lo datang jam tiga sore. Pemain-pemain yang lainnya juga bakal datang," jelas Gwen lagi hingga Giyan mengerutkan keningnya.

"Buru-buru banget ya, nggak bisa ditunda besok aja," ucap Giyan seperti sedang berbicara pada dirinya sendiri.

"Kalau lo yang punya production house sih, gue kira bisa," balas Gwen sekenanya.

"Memang ada hal penting yang sedang lo kerjaan sekarang?" Mata Gwen memicing dan menatap Giyan dengan wajah penuh rasa ingin tahu.

"Tentu saja, setiap waktu pasti penting buat gue. Ingatin gue lagi kalau sudah jam dua siang. Gue harus nerusin tulisan gue," ucapnya pada Gwen yang artinya dia sedang meminta Gwen untuk meninggalkan kamarnya sekarang juga.

"Baik Nona Giyanti," balas Gwen setengah meledek. Dia pun melangkah mundur dari kamar Giyan dan menutup pintunya perlahan.

Giyan menarik napas panjang karena merasa hampir saja Gwen memergokinya membalas pesan dari Liam. Hanya masalah membalas pesan saja sudah membuatnya begitu tak karuan. Gwen tidak boleh tahu jika selama ini Giyan begitu mengidolakan Liam. Terlalu banyak rahasianya yang diketahui oleh manajernya itu, tapi untuk yang satu ini, dia benar-benar tidak mau Gwen sampai tahu.

Bagi Gwen yang gila kerja, masalah percintaan adalah sesuatu yang berada di urutan paling terakhir. Dia tidak akan segan-segan mengomeli Giyan jika tahu gadis itu diam-diam menyukai seorang lelaki. Gwen selalu mengatakan padanya jika masalah perasaan dan pekerjaan tidak akan pernah bisa berjalan beriringan. Harus bisa memilih salah satu yang paling penting dan tentu saja itu adalah pekerjaan. 

Hal inilah yang membuat Giyan tidak bisa membicarakan masalah perasaannya pada Gwen. Manajernya yang kadang bicaranya mirip seperti seorang motivator itu akan kembali melanjutkan omelannya hingga besok pagi jika satu kali saja Giyan mengatakan sedang mengaguminya sosok Liam Mahardika.

Dua jam telah berlalu dan gilanya Giyan masih seperti tadi, tidak ada satu kata pun yang bertambah di tulisannya dan dia juga masih belum membalas pesan dari Liam. Hari ini dia merasa sangat tidak produktif. Apalagi alasannya kalau bukan karena sosok lelaki tampan yang baru saja mengirimkan pesan padanya.

"Sudah jam dua loh. Lo bisa siap-siap dari sekarang." Suara Gwen bersamaan dengan ketukan pintu membuat Giyan membuang napas panjang. Dia mengesampingkan urusan membalas pesan dari Liam dan akan memikirkan kalimat yang tepat nanti malam. Sekarang dia harus segera bersiap, jika tidak suara omelan Gwen akan bergema terus di telinganya.

***

"Siapa aja yang bakal bermain bareng gue nanti?" tanya Giyan saat turun dari mobil dan diikuti oleh Gwen.

"Lo belum baca email dari Mas Caraka?" tanya Gwen dengan kening berkerut.

"Kapan dia kirim email ke gue?"

"Ada, ke gue aja ada. Tadi gue juga sudah bilang ke lo. Di situ jelas banget tertulis siapa nama-nama pemain, ringkasan cerita dan hal-hal lainnya," jelas Gwen sementara mata Giyan justru sedang terpaku pada satu hal.

"Lo dengar nggak gue ngomong?" tanya Gwen mulai kesal karena sadar jika Giyan sedang mengabaikannya.

"Lo yakin di sini tempatnya?" tanya Giyan dengan wajah tidak percaya.

"Yakin banget. Mas Caraka memang nggak meminta bertemu di production house karena katanya dia hanya ingin mempertemukan semua pemain sebelum syuting dimulai," jawab Gwen.

Mata Giyan kembali memicing saat menatap sebuah mobil berwarna biru tua di parkiran. Giyan sangat yakin mobil siapa itu.

Saat kakinya melangkah masuk, dia merasa seluruh mata memandang ke arahnya. Ini hal yang biasa dialaminya, padahal saat ini dia berpenampilan sederhana dan tanpa riasan yang berat, hanya mengenakan kaos dan juga celana jeans. 

Caraka dan krunya terlihat di pojok kafe. Sama seperti yang dialaminya tadi, semua orang yang berada di meja yang sama dengan Caraka menoleh dan menatap ke arahnya dengan sorot mata kagum dan juga iri.

Sepertinya tidak semua mata mengarah padanya. Seorang lelaki tampak tidak peduli dengan kedatangannya. Dia malah sibuk bermain dengan ponsel yang berada di tangannya. Lelaki itu adalah Liam Mahardika.(*)

Comment donk kalau suka ☺️😁❤️

Hasta Lavista, Baby!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang