29. Satu Hal

743 116 1
                                    

Giyan merasa ingin segera pulang dari apartemen Liam. Bukan karena tidak betah, tetapi sikap Liamlah yang membuatnya salah tingkah.

Setahu Giyan, Liam adalah sosok lelaki yang tidak peduli dengan hal-hal sepele dan jarang menunjukkan perhatiannya secara khusus. Padahal dulu Giyan merasa Liam adalah sosok yang begitu sulit dijangkau, dia seperti memiliki dunianya sendiri. Tapi kenapa kali ini semuanya terasa begitu berbeda?

"Biasanya kamu memang seperti ini ya?" tanya Giyan sambil mengerling ke arah lelaki yang sedang memeluknya itu. Mereka sedang duduk di depan televisi dengan keadaan tidak mengerti acara yang sedang ditayangkan. Bagaimana tidak, dari tadi pelukan Liam membuat Giyan tidak bisa berpikir dengan benar.

"Apanya?" Liam balik bertanya sambil mengendus lengan Giyan yang terbuka.

"Kayak gini," jawab Giyan mata yang mengarah pada wajah Liam.

"Ya nggaklah, masa sama yang lainnya aku juga kayak gini," ucapnya sambil terkekeh.

"Kecuali lagi syuting sih," sambungnya.

Entah kenapa Giyan merasa kesal saat membayangkan Liam melakukan adegan mesra dengan lawan mainnya. Melihat mata Giyan yang menatapnya tajam, Liam kontan mengernyitkan keningnya.

"Kenapa?" tanyanya sambil mengusap wajah Giyan.

"Lagi kesal ngebayangin kamu sama wanita lain," jawab Giyan. Liam terbahak karena melihat wajah kesal Giyan yang menurutnya terlihat menggemaskan.

"Kenapa malah dibayangin sih." Liam masih tertawa sambil mengacak rambut Giyan.

"Yang pakai hati, kan cuma sama kamu," sambungnya dan membuat Giyan menahan senyum mendengar ucapan Liam.

"Kamu norak," ucapnya. Di bibirnya bisa saja mengatakan penolakannya tapi sebenarnya Giyan senang mendengar ucapan Liam, dia hanya salah tingkah saat mendengar ucapan lelaki itu.

Melihat wajah Giyan yang memerah, Liam justru merasa senang karena berhasil menggoda gadis itu. Dia mendekatkan wajahnya dan mengecup pipi Giyan yang merona. Giyan yang bertambah salah tingkah tidak bisa berbuat apa-apa lagi selain menundukkan wajahnya karena malu.

"Kalau kita nggak berperan di film yang sama, mungkin sampai saat ini kamu masih bersikap nggak peduli padaku," kata Giyan. Dia mengangkat wajahnya dan memberanikan diri menatap dalam-dalam wajah lelaki yang telah menyita perasaannya itu.

"Dulu kamu menyebalkan tapi anehnya kenapa aku naksir banget sama kamu ya," sambungnya seperti sedang berbicara pada dirinya sendiri. Liam malah tertawa saat mendengar ucapan Giyan.

"Menyebalkan gimana?" tanyanya penasaran.

"Kamu nggak pernah mau menyapaku dulu, padahal yang lainnya malah akan berlomba-lomba untuk menyapaku. Kamu juga sombong karena nggak pernah mengajakku mengobrol walaupun hanya basa-basi," jawabnya.

"Baiklah, aku akan menebus kesalahan yang telah aku lakukan dulu," ucapnya.

"Mana bisa, kamu kira bisa kembali ke masa lalu dan memperbaiki hal-hal yang menyebalkan itu?" Giyan mencemberutkan wajahnya saat mendengar ucapan Liam yang tidak masuk akal.

"Tentu saja nggak dengan cara kembali ke masa lalu," balas Liam sambil terkekeh.

"Mulai saat ini aku akan memperlakukanmu dengan baik hingga kamu lupa jika dulu aku adalah sosok yang menyebalkan," sambungnya. Perlahan sebuah senyum tersungging di bibir Giyan dan membuat Liam terlihat tidak bisa menahan diri untuk mendekat.

Mata keduanya saling bertatapan dan membuat Giyan berharap dia bisa mendapatkan waktu lebih banyak lagi agar bisa bersama Liam.

"Ah ... itu ..., sudah jam berapa ini," kata Giyan yang mendadak merasa salah tingkah. Dia benar-benar tidak bisa menahan diri saat menatap mata Liam dalam-dalam.

"Memangnya kenapa? Kamu nggak buru-buru mau pergi, bukan?" tanya Liam sementara sebelah tangannya menahan lengan Giyan agar gadis itu tidak beranjak dari duduknya.

"Kayaknya aku sudah terlalu lama di sini," jawab Giyan.

"Siapa yang bilang begitu, aku nggak merasa kalau kamu terlalu lama di sini kok," balas Liam sambil menarik Giyan mendekat ke arahnya. Ini hal yang dikhawatirkan oleh Giyan, jika Liam sudah menyentuhnya dengan lembut seperti yang sedang dilakukannya saat ini, dia selalu kehilangan akal sehatnya.

"Apa yang membuatmu buru-buru ingin pergi?" tanya Liam. Suara Liam yang terdengar berat malah membuat Giyan menahan napas. 

"Itu ..., nggak ...." Belum sempat Giyan melanjutkan ucapannya, tiba-tiba saja bibirnya terasa hangat dan embusan napas Liam menerpa wajahnya. Akhirnya yang dilakukan Giyan hanya memejamkan mata dan membiarkan Liam mencium bibirnya.

Napas Liam yang menderu cepat terdengar jelas di telinga Giyan dan membuat seluruh tubuhnya terasa memanas. Giyan sama sekali tidak pernah menyangka jika sosok lelaki yang dulu terlihat tidak peduli padanya malah akan menjadi sedekat ini dengannya. Dia bahkan bisa melihat wajah Liam sedekat ini.

"Jangan buru-buru pulang, aku masih kangen," bisiknya dan kemudian mengecup telinga Giyan hingga gadis itu mengerang perlahan. Giyan ingin sekali menggoda Liam tapi melihat tatapan mata lelaki itu yang menggelap, akhirnya dia hanya bisa menahan napas.

Sebuah ciuman kembali mendarat di bibir Giyan, terasa begitu dalam dan panas. Kali ini bukan hanya napas Liam yang menderu, Giyan juga merasakannya. Dia berusaha bernapas dengan tenang, tapi ciuman Liam membuat Giyan sulit melakukannya.

"Aku baru tahu kalau ternyata ini sangat menyenangkan," ucap Liam sambil melepaskan ciumannya. Giyan tahu apa maksud ucapan Liam tadi tapi dia berpura-pura tidak mengerti dengan tidak membalas ucapan lelaki itu.

"Aku seperti melupakan hal-hal berat jika berada di dekatmu," sambungnya. Giyan tertawa kecil saat mendengar ucapan Liam dan memberanikan diri menyentuh wajah lelaki itu dengan kedua belah telapak tangannya. Wajah Liam terasa lembut, terasa tidak sesuai dengan raut wajah Liam yang dingin.

"Seperti kulit bayi," komentar Giyan sambil masih menyentuh wajah Liam. Liam terkekeh mendengar ucapan Giyan.

"Apa aku boleh melakukan satu hal yang membuatmu nggak akan meninggalkanku?" tanya Liam dengan wajah serius. Pertanyaan Liam kontan membuat Giyan mengerutkan keningnya, apa maksud ucapan lelaki itu?

"A-apa yang mau kamu lakukan?" tanya Giyan cemas sekaligus penasaran. Pikiran liar Giyan sudah berkelana entah ke mana saat lelaki itu mengecup lehernya.

"Kenapa harus aku yang nggak akan meninggalkanmu?" tanya Giyan.

"Karena aku nggak akan melakukannya," jawab Liam dan ciumannya terus berlanjut hingga membuat Giyan menahan napas.

"Aku juga nggak akan melakukannya," ucap Giyan yakin.

"Ta-tapi apa yang mau kamu lakukan?" tanya Giyan sambil mendorong kepala Liam perlahan karena lelaki itu mulai mengendus kembali lehernya.(*)

Baca juga Hidden Part-nya di KaryaKarsa ya. Link ada di profil ☺️❤️

Hasta Lavista, Baby!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang