5. Pasti Bermimpi

1.1K 206 4
                                    

Giyan dan Gwen saling berpandangan sesaat setelah Liam menyelesaikan kalimatnya. Kening Giyan berkerut, dia bahkan menatap Gwen dengan tatapan mata bingung.

"Lo nggak lagi bercanda, kan?" tanya Giyan yang malah membuat Liam menatapnya dengan tajam.

"Terserah lo deh," balasnya dan seperti akan menjalankan mobilnya kembali.

"Eh ... tunggu, gue dan Giyan ikut lo. Apartemen Giyan nggak jauh kok, hanya setengah jam dari sini," ucap Gwen cepat dan membuat wajah Liam semakin masam. Walaupun terlihat enggan, Giyan mengikuti Gwen masuk ke mobil Liam. Karena Gwen sudah membuka pintu belakang, Giyan merasa tidak sopan jika dia juga duduk di belakang bersama Gwen, kesannya seperti Liam adalah sopir mereka. Mau tidak mau Giyan membuka pintu depan dan duduk di sebelah kemudi. Dia bahkan tidak mau menoleh ke arah Liam karena masih kesal padanya.

"Di mana apartemen lo?" tanya Liam sambil menjalankan mobilnya. Sebelum Giyan menjawab, Gwen sudah lebih dahulu menjelaskan pada Liam dengan detail di mana alamat apartemen Giyan. 

Giyan tidak tahu apa kali ini dia beruntung karena Liam menawarkan bantuan dan menolongnya. Tapi sepertinya tidak, wajah lelaki itu terlihat masam sepanjang perjalanan menuju apartemen.

Giyan berusaha tidak peduli dan tidak mau mengajak Liam berbasa-basi. Dia khawatir pertahanannya akan runtuh jika kembali mendengar suara lelaki itu. Hati Giyan memang begitu lemah, apalagi berhubungan dengan lelaki yang disukainya.

Suasana di dalam mobil Liam benar-benar sunyi, tanpa musik dan tanpa ada suara orang yang sedang berbicara. Keheningan tiba-tiba terpecah saat terdengar suara dering ponsel. Tidak perlu ditebak lagi, Giyan tahu jika yang berbunyi adalah ponsel Gwen. Sedangkan Liam yang masih berkonsentrasi dengan mobilnya terlihat acuh, wajahnya datar dan tanpa ekspresi.

Samar terdengar Gwen berbicara dengan nada panik. Giyan sampai mengernyitkan keningnya karena penasaran dengan apa yang dibicarakan Gwen. 

"Kenapa?" tanya Giyan setelah Gwen menyelesaikan panggilan teleponnya.

"Hari ini gue boleh izin pulang nggak?" pinta Gwen.

"Pulang ke mana?" tanya Giyan bingung.

"Ke Bandung. Bokap masuk rumah sakit," jawabnya. Sesaat wajah Giyan menegang saat mendengar ucapan Gwen.

"Ya sudah deh, pulang aja sekarang," katanya yang tidak bisa mengatakan jika Gwen tidak boleh berlama-lama di Bandung. Bagaimana Giyan bisa mengatakannya jika Gwen minta izin pulang ke Bandung tanpa ada rencana.

"Jadi ..., mau diantar ke mana? Ke agen travel atau stasiun kereta?" tanya Liam yang ternyata mendengar pembicaraan Giyan dan Gwen.

"Ah ... itu ke agen travel aja," jawab Gwen masih dengan wajah panik. Setelah mendengar ucapan Gwen, Liam segera memutar arah mobilnya menuju agen travel terdekat. Dari sudut matanya Liam melirik ke arah Giyan yang juga sama paniknya dengan Gwen. Dia tidak tahu sedekat apa keduanya hingga Giyan bersikap seperti itu.

"Gue ikut ke Bandung deh," cetus Giyan tiba-tiba.

"Ngaco lo. Besok lo ada syuting iklan loh," balas Gwen cepat.

"Terus gue mesti ke lokasi syuting pakai taksi sendirian gitu?" tanya Giyan pada Gwen saat sadar mobilnya dalam keadaan rusak.

"Iya, nggak ada pilihan lain. Semoga aja besok siang mobil lo sudah benar. Gue usahain bakal cepat balik ke Jakarta," ucap Gwen.

"Agen travel ke Bandung, bukan?" Suara Liam kontan membuat Giyan dan Gwen terdiam.

"Iya benar, yang ini. Gue biasa naik travel yang ini kok," balasnya.

"Gue buru-buru banget. Sori ya nggak bisa nemanin lo selama beberapa hari ke depan. Jangan lupa cek email dan jadwal lo buat beberapa hari ini bakal gue kirim," ucap Gwen sambil turun dari mobil Liam dengan tergesa.

Saat suara Gwen tidak lagi terdengar dan Liam mulai menyalakan kembali mesin mobilnya, di saat itulah Giyan baru sadar jika saat ini dia hanya berdua saja dengan Liam. Giyan memang tidak berpengalaman mencari perhatian lelaki yang disukainya. Apalagi dari tadi lelaki itu sudah membuatnya begitu kesal dan sekarang bertambah kesal karena Liam bahkan tidak berbicara satu patah kata pun sejak menurunkan Gwen di agen travel tadi.

Liam tahu jika dari tadi Gwen terus memperhatikannya dengan wajah masam. Yang dia tidak tahu jika sebenarnya Giyan juga sedang menahan debaran halus yang terasa di dadanya. Sesaat Giyan bahkan menyesal mengiakan tawaran Liam untuk pulang bersama.

"Ah ... gue singgah di sini aja," kata Giyan saat mobil Liam melewati sebuah pusat perbelanjaan.

"Lo mau ngapain singgah di sini?" tanya Liam dengan kening berkerut.

"Mau singgah aja, memangnya gue mesti jelasin alasan gue ke lo?" Giyan balas bertanya dengan nada ketus. Sebenarnya tidak ada hal penting yang ingin Giyan lakukan dengan meminta Liam menurunkannya di depan pusat perbelanjaan. Dia hanya merasa semakin canggung dengan keberadaannya di mobil Liam, apalagi sejak tadi lelaki itu terus mengabaikannya.

"Yang benar aja lo mau singgah di sini," ucap Liam.

"Memangnya kenapa?" tanya Giyan bingung.

"Bukannya nggak aman kalau lo pergi seorang diri? Lo nggak mikir sampai ke situ?" sahut Liam dan malah menaikkan kecepatan mobilnya hingga berlalu begitu saja dari pusat perbelanjaan yang dimaksud oleh Giyan.

"Mendingan lo langsung pulang aja," kata Liam lagi dan kali ini Giyan merasa lelaki itu begitu mirip dengan Gwen.

Liam sendiri tidak mengerti kenapa dia malah melarang Giyan untuk turun padahal harusnya dia tidak perlu peduli dengan apa yang akan terjadi dengan gadis itu. Bagi Liam, kehadiran Giyan di dekatnya saja sudah menyita pikirannya, harusnya dia tidak perlu menambah berat beban pikirannya lagi.

Giyan menoleh sekilas ke arah Liam dan merasa jika lelaki itu terasa berbeda dari yang dikenalnya. Liam yang selalu mengacuhkannya ternyata bisa berbicara seperti itu.

Setelah Liam melewatkan pusat perbelanjaan, tidak ada yang saling berbicara lagi. Giyan menatap lurus ke arah jalan raya sedangkan Liam masih berkonsentrasi dengan mobilnya. Giyan bahkan merasa lebih nyaman berada di dalam taksi daripada berada di mobil Liam. Rasa canggung dan salah tingkah membuat Giyan merasa serba salah. Lagi-lagi Giyan memaki dirinya yang bisa menyukai lelaki paling acuh seperti Liam.

"Di sini bukan?" Suara berat Liam menyadarkan Giyan dan dia pun mendapatkan mobil yang dikendarai Liam telah berhenti di depan apartemennya. Harusnya Giyan merasa lega karena sebentar lagi rasa canggungnya akan hilang dengan beranjak dari hadapan Liam, tapi nyatanya dia malah merasa enggan untuk turun. 

"I-iya. Terima kasih buat tumpangannya," ucap Giyan terbata. Giyan merasa dirinya begitu tidak masuk akal yang saat ini karena merasa ingin bersama Liam lebih lama lagi.

"Besok lo syuting di mana?" tanya Liam dan kembali menyadarkan Giyan jika dia harus segera turun dan mobil lelaki berwajah datar itu. Giyan kemudian menyebutkan lokasi syutingnya karena menganggap Liam hanya berbasa-basi dengannya.

"Lo bisa bareng gue kalau mau. Kebetulan besok gue juga ada kerjaan di lokasi itu," ucap Liam dan membuat mata Giyan membesar. Dia pasti sedang bermimpi dan berharap tidak akan sadar dari mimpinya.(*)

Hasta Lavista, Baby!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang