16. Terserah Lo Sih

792 139 3
                                    

Wajah Giyan mendadak memanas setelah mendengar ucapan Liam yang terasa tidak masuk akal buatnya. Dia bahkan tidak bisa berbicara selama beberapa saat sampai mata keduanya bertemu dan semakin membuat Giyan salah tingkah.

"Gue lagi nggak berminat mendengar gurauan lo," ucapnya sinis padahal jantungnya sedang berdetak tak karuan.

"Gurauan?" Liam bertanya balik dengan wajah yang kian mendekat ke arah Giyan. Dengan sikap Liam yang seperti itu, Giyan jadi berpikir jika Liam sedang mengerjainya.

"Sudah deh! Gue ngantuk banget," kilahnya dan berusaha keluar dari mobil Liam. Giyan kira Liam akan menahannya seperti yang dilakukan lelaki itu tadi, tapi nyatanya hingga pintu mobil kembali tertutup, Liam sama sekali tidak melakukan apa-apa.

Tidak ingin membuatnya semakin merasa salah tingkah, Giyan terus berjalan meninggalkan mobil Liam tanpa berkata-kata. Padahal napasnya sudah hampir berhenti karena dadanya yang terasa sesak. Giyan masih tidak percaya jika Liam akan mengatakan hal tidak masuk akal tadi. Dan ... dia meraba bibirnya tiba-tiba. Oh tidak! Bahkan ciuman Liam masih terasa begitu jelas di bibirnya. 

Giyan terus memaki dirinya di dalam hati dan berharap dia bisa lupa ingatan saja.

Giyan mengira jika telah berada di kamarnya dan tidak melihat wajah Liam lagi, pikirannya akan terasa lebih baik. Tapi nyatanya tidak, wajah Liam malah seperti berkeliaran di pikirannya, seolah sedang meledeknya. Giyan membuang napas kesal dan merasa dia begitu konyol hingga memikirkan lelaki yang hanya bisa membuat perasaannya kacau itu.

Dia melemparkan tasnya dengan asal. Pikirannya tak karuan dan rasanya hari ini dia tidak ingin melakukan apa pun selain mengurung diri di dalam kamar. Tapi mana mungkin dia bisa melakukannya sedangkan nanti sore jadwal syuting telah menunggu.

Sambil melirik jam di ponselnya, Giyan mengempaskan tubuhnya di tempat tidur. Harusnya jika memiliki waktu luang seperti ini, dia mengambil laptop dan menyelesaikan ketikan ceritanya. Tapi ternyata pikiran kacaunya malah lebih memilih bermalas-malasan.

Ini semua karena Liam. Giyan terus memaki Liam di dalam hati sampai akhirnya dia merasa lelah dan tertidur.

***

Suara dering ponsel yang terdengar begitu nyaring membuat Giyan membuka matanya perlahan. Dengan mata yang masih terasa berat, tangannya kemudian menggapai ponselnya yang berada di atas kepalanya.

"Lo ke mana aja?" tanya suara dari balik telepon. Giyan mengernyit saat mendengar suara lelaki yang tidak asing itu.

"Syuting sebentar lagi dimulai, lo lagi di mana?" tanya suara itu lagi. Mata Giyan kontan terbuka lebar saat dia melihat jam yang tertera di ponselnya.

"Giyan ....," panggil suara dari balik telepon karena Giyan belum berbicara sepatah kata pun.

"Gue segera ke sana," ucapnya panik sambil melompat dari tempat tidur.

Giyan mengomel dalam hati setelah mematikan panggilan telepon dari Liam tadi. Jika lelaki itu tidak menghubunginya, dia mungkin akan tertidur hingga malam.

Giyan terus menyalahkan Gwen yang mendadak tidak bisa mengantarnya hari ini. Jika tadi ada Gwen, dia mungkin tidak akan terlelap terlalu lama karena ada Gwen yang membangunkannya.

Giyan masih mengomel dalam hati sambil berganti pakaian saat ponselnya kembali berbunyi. Dia mengabaikan ponselnya sesaat karena sedang mengenakan pakaian. Ini pertama kalinya dia hampir melewatkan jadwal syuting karena ketiduran. Semua ini karena Liam, begitu terus yang diucapkannya di dalam hati.

Ponselnya kembali berdering tepat di saat Giyan akan mengambil ponselnya untuk memesan taksi online. 

"Ini sudah di jalan," ucap Giyan saat panggilan tersambung. Giyan kembali mengomel dalam hati, menyalahkan Liam yang selalu mengganggu di saat dia sedang tergesa-gesa.

"Di jalan apanya? Gue bahkan nunggu di depan apartemen lo dari tadi," balas Liam dan kontan membuat Giyan tersentak.

"Ngapain lo nungguin gue?" tanya Giyan sambil melangkah keluar dari kamarnya.

"Memang lo mau pergi ke lokasi syuting bareng siapa lagi kalau bukan bareng gue." Giyan menjauhkan ponselnya dari telinga dan segera mematikan sambungan telepon. Saat ini bukan waktu yang tepat untuk berdebat dengan Liam.

Giyan menemukan mobil Liam sedang terparkir tepat di seberang apartemennya. Giyan masih berharap jika lelaki itu berbohong padanya hingga keduanya tidak perlu bertemu. Tapi nyatanya Liam malah melambaikan tangannya pada Giyan, seolah gadis itu tidak mengetahui keberadaannya.

"Gue nggak minta lo jemput," ucap Giyan dengan napas terengah karena setengah berlari saat menyeberangi jalan.

"Cepat naik, kita hampir terlambat," kata Liam tidak memedulikan ucapan Giyan tadi. Sejenak Giyan terdiam dan merasa hari-harinya terasa semakin aneh sejak kenal dan berhubungan dengan Liam. Giyan tidak mengerti kenapa Liam bisa tiba-tiba ingin menjemputnya padahal tidak ada pembicaraan seperti itu sebelumnya.

Liam sengaja mengabaikan Giyan setelah gadis itu duduk di sebelahnya. Dia bahkan tidak menoleh sedikit pun ke arah Giyan hingga mobilnya mulai berjalan. Sejak pulang mengantar Giyan tadi, Liam memang tidak pulang ke apartemennya.

Dia lebih memilih menghabiskan waktunya di kedai kopi yang berada di seberang apartemen Giyan. Entah kenapa pikirannya justru terasa kacau setelah mengucapkan permintaan tidak masuk akalnya pada Giyan tadi. Ada perasaan menyesal karena telah melakukan hal gegabah, tapi di sisi lainnya dia justru merasa penasaran dengan ucapannya sendiri. 

Sejujurnya Liam tidak sedang bercanda saat mengucapkan permintaannya tadi. Tapi bukan juga sebuah permintaan yang begitu serius hingga dia sangat berharap akan jawaban Giyan. Saat ini dia merasa begitu nyaman ketika bersama Giyan tapi tidak tahu ke mana rasa nyaman itu akan dibawa.

"Gwen mana?" tanya Liam memecah keheningan hingga membuat Giyan menoleh ke arahnya. Giyan bahkan mengira jika Liam akan terus mendiamkannya hingga mereka sampai nanti.

"Masih ada urusan katanya," jawab Giyan.

"Lo kenapa jemput gue?" tanya Giyan sekali lagi karena dari tadi Liam belum menjawab pertanyaannya.

"Lagi nggak ada kerjaan." Jawaban Liam kontan membuat wajah Giyan cemberut. Giyan benci pada dirinya sendiri karena di saat dia merasa kesal karena sikap Liam yang sulit ditebak, dia justru merasa berdebar saat menatap wajah lelaki itu.

Liam tidak berbicara lagi dan kembali berkonsentrasi pada jalan di depannya. Padahal yang sebenarnya terjadi, dia sedang berpikir dengan keras untuk mencari pembicaraan yang bisa memancing Giyan membahas mengenai hubungan mereka.

Sesaat kening Liam berkerut, hubungan seperti apa yang diharapkannya?

"Giyan ...," panggil Liam tiba-tiba dan bersamaan dengan mobilnya yang berhenti karena lampu merah.

"Gue nggak menginginkan pacaran pura-pura seperti yang pernah lo minta," ucapnya. Seketika Giyan merasa napasnya seperti berhenti.

"Jangan mulai lagi deh," balas Giyan setelah beberapa kali menarik napas panjang.

"Lo nggak perlu ngeledek gue terus hanya karena gue pernah ngajak lo pura-pura pacaran," sambungnya. 

"Siapa juga yang sedang ngeledek lo," balas Liam tidak terima.

"Terserah lo sih, mau atau nggak," kata Liam lagi hingga membuat Giyan ingin sekali menjerit dengan keras di telinga Liam dan mengatakan jika dia bersedia.(*)

⏩⏩Next Hidden Part 16 dengan POV Liam. Cari tahu apa yang sebenarnya ada di pikiran Liam 😁. Baca hanya dia KaryaKarsa ya, link ada si profil ❤️.

Hasta Lavista, Baby!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang