28. Janji

779 106 1
                                    

Sudah setengah jam Liam dan Giyan meninggalkan apartemen dan dalam perjalanan menuju suatu tempat. Giyan tidak sabar tapi perjalanan yang terasa lama membuatnya mengantuk, apalagi dari tadi Liam tidak mengajaknya berbicara.

Giyan mengerti bagaimana perasaan Liam saat ini. Apalagi saat ini mereka tidak dalam rangka akan berjalan-jalan, tapi mendatangi makam Hayu, adik Liam. 

Saat ini Liam mungkin merasa sedih karena memikirkan adiknya itu. Giyan sengaja tidak bertanya atau mengajak Liam berbicara, dia membiarkan Liam sibuk dengan pikirannya sendiri.

"Sebentar lagi sampai kok," kata Liam saat sadar jika dia telah mendiamkan Giyan selama lebih dari setengah perjalanan.

"Letaknya memang di luar kota," sambungnya.

"Nggak apa-apa kok, aku juga sedikit mengantuk," balas Giyan dan seketika wajahnya memanas saat ingat kenapa pagi ini dia masih merasa mengantuk. Tentu semuanya karena perbuatan lelaki yang berada di sebelahnya ini. Walaupun tidak terjadi seperti yang ada di pikiran liar Giyan, tapi tetap saja Giyan tidak bisa tidur nyenyak dengan keadaan Liam yang berada di sebelahnya. Lelaki itu tak henti-hentinya memeluk, mengendus, mengusap dan menciumnya. Bayangkan saja, mana bisa dia tidur dengan keadaan seperti itu.

"Biasanya Ayah dan Ibu pasti ikut, tapi kali ini aku sengaja hanya membawa kamu aja," ucap Liam.

"Apa ... Om dan Tante tahu kalau kamu mengajakku?" tanya Giyan.

"Tahu, mereka yang mengatakan jika seharusnya hanya kita berdua saja yang menjenguk Hayu. Nanti ada saatnya mereka juga akan ikut bersama kita," sahutnya.

"Jangan buat wajahmu semuram itu, ada yang terasa nggak nyaman?" tanya Liam kemudian sambil melirik sejenak ke arah Giyan.

"Aku sedang ikut merasakan kesedihanmu," balas Giyan.

"Semenjak tadi malam, perasaanku sudah jauh lebih baik. Saat ini yang terasa hanya perasaan rindu dengan sosok Hayu, itu saja," ucap Liam. 

Hampir saja Giyan menanyakan apa yang terjadi tadi malam hingga membuatnya merasa lebih baik. Tapi saat ingat dengan cumbuan panas Liam, dia sadar jika Liam sedang membicarakannya.

"Aku jadi penasaran bagaimana sosok Hayu," kata Giyan yang sedang mengalihkan pembicaraan. Dia berharap Liam tidak tahu apa sebenarnya yang ada di pikirannya saat ini.

"Oh ... aku belum pernah menunjukkan fotonya padamu ya? Nanti aku tunjukkan padamu," ucap Liam.

"Apa ... dia wanita yang fotonya terselip di bukuku? Ah ... itu, maksudku, aku nggak sengaja menemukan ada selembar foto di dalam buku karanganku." Giyan berbicara dengan terbata karena khawatir Liam akan merasa tidak senang karena dia telah melakukan hal yang melanggar privasinya.

"Ada ya foto yang terselip? Aku malah sudah lupa," balas Liam sambil terkekeh.

"Sekilas dia mirip banget sama kamu," kata Liam lagi. Giyan terlihat berpikir dan membayangkan apa wajah gadis yang pernah dilihatnya di foto itu mirip dengannya.

"Tapi semakin lama aku kenal kamu, aku merasa kalian nggak mirip lagi," sambungnya.

"Mungkin karena aku yang terus-menerus menyamakan kamu dengan Hayu itulah membuatku nggak segera menyadari perasaanku ke kamu." Giyan pura-pura memasang wajah datar sesaat setelah ucapan Liam berakhir. Dia merasa begitu salah tingkah mendengarnya. Akhir-akhir ini Liam selalu tahu cara membuatnya tersipu malu.

"Sudah sampai," ucap Liam sambil menurunkan kecepatan mobilnya. Mereka telah tiba di sebuah area pemakaman yang dari luar begitu asri, sama sekali tidak terlihat menyeramkan. Ada banyak pohon-pohon rindang dan juga bunga-bunga yang ditanam di area pemakaman. Sedangkan untuk menuju pemakaman sendiri, mereka harus berjalan kaki beberapa meter dari jalan raya.

"Aku baik-baik aja," kata Liam mengulang ucapannya lagi karena Giyan yang terus menatapnya. Gadis itu sepertinya khawatir Liam tidak akan bisa menahan diri saat berada di makam Hayu nanti. Tangannya kemudian menyentuh puncak kepala Giyan dan mengusapnya dengan lembut.

"Ayo," ajaknya kemudian. Giyan segera mengambil sebuket bunga mawar putih yang dibelinya saat perjalanan tadi walaupun awalnya Liam mengatakan jika Giyan tidak perlu membawa apa pun. Sedangkan di tangan Liam tergenggam sebuah novel karangan Lynn yang telah ditandatangani. Tandatangan yang diminta oleh Liam saat jumpa penggemar Lynn tempo hari.

"Aku jadi membayangkan seandainya Hayu masih ada, dia pasti akan berteriak kegirangan karena aku berhasil membujuk penulis kesukaannya datang menemuinya," ucap Liam. Ada kesedihan yang tersirat dari ucapannya. Tangan Giyan segera terulur dan menggenggam telapak tangan Liam. Liam kemudian tersenyum sambil menoleh ke arah Giyan

"Seenggaknya saat ini aku masih bisa merasakan punya seorang adik sekaligus pacar," ucapnya dengan wajah usil. Ucapan Liam tadi malah membuat Giyan terharu. Dia yang selama ini selalu sendiri, tidak ada saudara dan orang tua yang sudah berpisah. Ucapan Liam tadi membuat Giyan merasa telah menjadi bagian penting dari hidup Liam.

Semilir angin pagi menemani keduanya sepanjang perjalanan menuju makam Hayu. Makam Hayu berada di area belakang pemakaman hingga keduanya mesti berjalan cukup jauh.

"Beberapa saat setelah kepergian Hayu, aku selalu mengkhawatirkan banyak hal. Bagaimana keadaan Hayu saat ini, apa dia tidak sendirian, dan berbagai hal nggak masuk akal yang terus aku pikirkan hingga membuatku tertekan," kata Liam.

"Masa-masa itu terasa begitu menyulitkan buatku. Aku berusaha terlihat tenang saat di depan kamera tapi sebenarnya hatiku sedang terluka dan pikiranku begitu kalut," sambungnya.

"Aku merasa beruntung karena bisa melewati itu semua."

"Kamu pasti sangat menyayangi Hayu," ucap Giyan lirih. Dia menggenggam telapak tangan Liam dengan erat dan membiarkan lelaki itu membagi kesedihannya. Liam kemudian menoleh ke arah Giyan sambil tersenyum dan entah kenapa membuat Giyan salah tingkah.

"Kalau nggak kenal dan dekat denganmu seperti ini, mungkin hari-hariku masih sama seperti dulu. Berpura-pura baik-baik saja padahal ada banyak kesedihan yang nggak bisa aku ceritakan pada siapa pun," ujar Liam. Ada debaran halus yang terasa di dada Giyan saat mendengar ucapan Liam. Untuk menyembunyikan wajah malunya, Giyan pun pura-pura mengedarkan matanya ke segala arah.

"Bukan hanya aku yang bilang kamu mirip Hayu, Ayah dan Ibu juga bilang begitu. Ibu bahkan sempat kaget waktu aku bawa kamu ke rumah tempo hari," kata Liam lagi.

"Apa itu buat mereka sedih?" tanya Giyan cemas.

"Nggak kok, buktinya Ayah dan Ibu terlihat baik-baik aja, kan? Semakin lama mereka sudah bisa merelakan kepergian Hayu," jawab Liam.

"Ini makamnya," kata Liam sambil menarik tangan Giyan agar mengikuti langkahnya. Keduanya berjalan perlahan menuju sebuah makam yang terlihat terawat, tanda jika makam ini sering dikunjungi.

"Aku sudah menepati janjiku ke kamu," ucap Liam perlahan dengan mata yang mengarah pada makam adiknya. Giyan merasa terharu dan tidak sadar jika air mata mulai menggenang di pelupuk matanya.(*)

Selanjutnya Hidden Part 28 dan baca hanya di KaryaKarsa ya ❤️. Sudah mau tamat nih, yakin nggak mau baca Hidden partnya?

Hasta Lavista, Baby!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang