17. Bagaimana Jika?

746 136 3
                                    

Dari tadi Giyan berusaha menahan tangisnya dan tidak bisa dikendalikannya lagi saat berada di kamarnya. Liam baru saja mengantarnya pulang setelah mereka makan bersama. Makan malam yang terasa begitu aneh buatnya karena mereka hanya saling diam.

Bukannya merasa senang dengan ajakan berpacaran dari Liam, Giyan justru merasa serba salah. Dia sangat yakin jika Liam tidak benar-benar menyukainya seperti perasaan yang dirasakannya selama ini. Liam hanya sedang ingin bermain-main dengannya.

Giyan membuang napas panjang. Perasaannya terasa tak karuan setelah ucapan Liam tadi. Dia memaki dalam hati dan mengatakan betapa anehnya Liam. Tapi sesaat dia sadar jika dia sendiri tidak kala anehnya dengan mengajak Liam berpura-pura pacaran.

Karena kesal dengan dirinya sendiri, Giyan kemudian menelungkupkan wajahnya di balik bantal. Rasa kesal dan juga bingung membuatnya merasa serba salah. Dia begitu menyukai Liam, tapi bukan begini caranya. Giyan ingin Liam benar-benar menaruh perasaan padanya, benar-benar memiliki perasaan yang sama seperti yang dirasakannya.

Setelah beberapa kali mengembuskan napas panjang, Giyan segera beranjak dari tempat tidur. Tanpa mengganti pakaian yang dikenakannya saat syuting tadi, dia mengambil laptop dan mulai menyalakannya. Giyan bahkan tidak peduli kalau seharusnya dia tidur cepat malam ini karena besok, syuting akan dilakukan pagi-pagi sekali.

Giyan berhutang banyak naskah yang belum diselesaikannya. Syuting yang padat dan beberapa kegiatan yang tidak terduga membuatnya melupakan beberapa naskahnya yang belum selesai. 

Perasaan gelisah sepertinya membuat mood-nya untuk menulis meningkat. Giyan memilih salah satu naskah yang belum diselesaikannya dan dalam waktu beberapa detik sudah terlihat fokus dengan tulisannya.

Giyan mengetik dengan cepat, idenya begitu lancar. Cerita yang sedang ditulisnya kali ini tentang cinta seorang gadis yang bertepuk sebelah tangan. Giyan sudah merencanakan akhir yang manis untuk pemeran utamanya tapi mendadak pikirannya berubah. Pikiran kacaunya karena ucapan Liam tadi membuatnya mengetik ceritanya dengan alur yang sedih.

Sesaat dia menghentikan ketikannya dan merasa apa yang dilakukannya tidak benar. Dia akan mengacaukan seluruh jalan cerita naskah yang sudah dibuatnya hanya karena rasa kesalnya pada Liam. Beberapa kali tarikan napas panjang membuat pikiran Giyan lebih tenang.

Biasanya Giyan tidak pernah seperti ini, mau sekacau apa pun pikirannya. Dia selalu bisa menyelesaikan jalan ceritanya tanpa terpengaruh pikiran dan perasaannya. Tapi kali ini terasa berbeda, dan semuanya karena Liam.

Setelah puas memaki Liam di dalam hati, Giyan kemudian memaki dirinya sendiri. Kenapa dia masih menyukai lelaki yang mempermainkan hatinya seperti ini? Harusnya Giyan bisa menghentikan rasa sukanya saat tahu jika Liam tidak memiliki sedikit pun perasaan pada dirinya.

Gwen pasti akan memarahinya jika tahu rasa sukanya sebesar ini, jika dia begitu merasa tersakiti karena sikap Liam. Gwen selalu membanggakan Giyan dan menganggap ada banyak lelaki yang begitu memuja Giyan. Satu orang lelaki seharusnya tidak berpengaruh buat Giyan.

Tapi nyatanya tidak seperti itu yang dirasakan Giyan. Mau sebanyak apa pun lelaki yang memujanya, dia hanya menginginkan Liam.

Setelah menghentikan ketikannya selama beberapa saat, Giyan baru merasa pikirannya lebih jernih. Dia harus mengubah jalan cerita yang telah dibuatnya karena sesungguhnya Giyan bukan penulis yang senang menulis sebuah cerita dengan akhir yang menyedihkan. Baginya membaca adalah sesuatu yang menyenangkan dan semua itu harus diakhiri dengan perasaan bahagia.

Jam di laptopnya menunjukkan pukul dua dini hari saat Giyan merasa seluruh tubuhnya pegal karena terlalu lama duduk. Beberapa jam lagi Giyan harus bersiap untuk syuting yang akan dilakukan di luar kota. Sadar jika waktu tidurnya tinggal beberapa jam lagi karena jam lima pagi nanti, kru film akan datang menjemputnya, Giyan pun mematikan laptop dan segera menuju ke tempat tidur. Terlalu asyik dengan pikirannya sendiri malah membuatnya lupa waktu.

Nyatanya dia malah tidak bisa tertidur walaupun jam telah menunjukkan pukul setengah empat pagi. Tidak ada rasa kantuk yang terasa sehingga Giyan memutuskan untuk segera bersiap sebelum kru film datang menjemputnya. Dia berharap bisa mencuri tidur saat dalam perjalanan nanti.

Syuting kali ini akan dilakukan di sebuah desa di daerah Bogor, di tengah perkebunan teh yang masih berkabut saat pagi hari. Giyan menarik napas panjang saat menyadari jika dia sendirilah yang membuat banyak lokasi di cerita yang dibuatnya hingga nanti akan ada beberapa tempat yang harus didatangi kru film untuk syuting.

Giyan mandi dengan cepat karena udara pagi ini terasa sejuk. Dia mengambil beberapa helai pakaian ganti dan menjejalkannya di dalam tas ranselnya. Belum ada kepastian, apa mereka akan bermalam atau tidak. Giyan hanya berjaga-jaga, siapa tahu rencana berubah dan mengharuskan mereka menginap.

Giyan baru saja selesai memasukkan beberapa produk perawatan wajahnya ke dalam tas, saat ponselnya tiba-tiba berdering. Giyan yakin jika yang menghubunginya adalah salah seorang kru film yang akan menjemputnya.

"Lo mau bareng gue?" tanya suara di seberang sana. Kening Giyan berkerut dan segera menjauhnya ponselnya untuk melihat siapa yang menelepon. Wajah Giyan kontan terasa memanas saat tahu siapa yang senang menghubunginya,

"Gue bareng kru film," jawabnya. Hari masih pagi, tapi jantungnya sudah berdetak begitu kencang. Setelah semalam berakhir dengan saling diam, mendengar suara Liam pagi ini malah membuatnya salah tingkah.

"Bareng gue aja," ucap Liam.

"Nggak deh, gue sudah janji sama kru film," tolak Giyan yang sebenarnya menyesal dengan ucapannya tadi.

"Nggak enak sama mereka," sambungnya.

"Lebih nggak enak sama mereka atau gue yang sudah nunggu di depan kamar lo," kata Liam dan kontan membuat Giyan panik. Dia berjalan dengan cepat menuju pintu dan benar saja ada sosok Liam masih dengan ponsel yang menempel di telinganya.

"Sudah siap, kan?" tanya Liam setelah mematikan sambungan teleponnya. Giyan masih melongo tapi beberapa saat kemudian berusaha mengendalikan dirinya agar tidak terlihat seperti orang bodoh di mata Liam.

"Sudah," jawabnya singkat.

"Lo bareng gue aja. Masalah kru film yang bakal jemput, lo bisa hubungi mereka dan bilang kalau sudah bareng gue," ujar Liam. Giyan tidak bisa berbicara apa-apa karena Liam sudah memberi kode padanya untuk segera keluar dari kamarnya.

"Ngapain lo pagi-pagi sudah ke sini, kemarin katanya lo bareng kru film juga," kata Giyan sambil mengikuti langkah Liam yang semakin cepat menuju mobilnya.

"Berubah pikiran aja. Gue merasa lebih nyaman kalau pergi dengan kendaraan sendiri," sahutnya.

Giyan diam karena sedang berusaha menenangkan hatinya. Dia masih tidak menyangka jika Liam akan datang menjemputnya pagi ini.

"Lagi pula, gue merasa nggak aman kalau lo bareng kru film yang kebanyakan lelaki," sambungnya. Giyan mengerling ke arah lelaki yang baru saja membuatnya salah tingkah itu.

"Bagaimana jika mulai hari ini kiita memulai hubungan layaknya pasangan yang sebenarnya?" tanya Liam sambil menoleh ke arah Giyan.(*)

⏩⏩ Next Hidden Part 17 dengan POV Giyan. Baca hanya dia KaryaKarsa ya. Link ada di profil ❤️.

Hasta Lavista, Baby!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang