20. Baru Ingat

698 126 0
                                    

Menyebalkan. Giyan terus memaki dirinya di dalam hati dan tak hentinya menyesali apa yang terjadi tadi. Dia benar-benar benci dengan keadaan yang terjadi saat ini, rasanya serba salah dan membuatnya kebingungan akan berbuat apa sementara dari tadi dia terus mengurung diri di dalam kamar Liam. 

Apa yang terjadi beberapa saat yang lalu membuat Giyan merasa seperti kehilangan rasa percaya dirinya. Liam menolaknya.

Setelah menciumnya dengan penuh kelembutan, tiba-tiba saja Liam meninggalkannya, seolah apa yang dilakukannya adalah sebuah kesalahan. Giyan meringis saat menyadari ternyata dadanya terasa sesak membayangkan apa yang baru saja terjadi tadi.

Dengan apa yang dilakukan Liam tadi, Giyan jadi berpikir jika hingga saat ini Liam sama sekali tidak memiliki perasaan padanya. Sekali lagi dia memaki dirinya saat sadar bukankah Liam tidak salah, dirinya yang salah karena terlalu berharap banyak pada hubungan mereka.

Untuk menenangkan diri, Giyan berusaha menarik napas panjang berkali-kali. Dia tidak boleh membuat keadaan semakin rumit dengan berharap Liam akan membalas perasaannya. Setelah merasa lebih tenang, Giyan kemudian bangkit dari tempat tidur. Rasa ragu membatalkan niatnya yang akan keluar dari kamar, dia malah duduk di satu-satunya kursi yang berada di kamar Liam dan menatap setiap sudut kamar tanpa berkedip.

Mata Giyan kemudian mengarah pada beberapa buku yang tersusun rapi di rak yang berada tepat di sebelah tempat tidur. Giyan mendekat dan tersenyum karena mendapatkan beberapa judul bukunya tersusun di rak. Ternyata Liam tidak berbohong saat mengatakan menggemari karya-karya penulis Lynn. Padahal ini kedua kalinya Giyan berada di kamar Liam, tapi baru kali ini dia memperhatikan dengan saksama isi kamar lelaki itu.

Tangan Giyan tanpa sadar mengambil salah satu bukunya dan entah kenapa di malah membuka lembar demi lembar buku seolah belum pernah membacanya.

Selembar kertas jatuh saat Giyan akan menyimpan kembali buku tadi. Tangannya kemudian terulur dan berusaha mengembalikan kertas tadi ke dalam buku. Awalnya Giyan tidak terlalu peduli dengan kertas itu, tapi saat sadar jika kertas itu ternyata adalah sebuah foto, tangannya mendadak terhenti dan matanya menatap foto itu dengan kening berkerut.

Foto Liam dan seorang wanita. Giyan menahan napas saat merasa dadanya sesak melihat Liam bersama seorang wanita, walaupun hanya sebuah foto. Giyan tidak kenal dengan wanita yang berada di foto itu, tapi dia terlihat sangat cantik dan serasi dengan Liam. Apa wanita itu adalah pacar Liam? Begitu terus yang ditanyakan Giyan di dalam hati.

Masih dengan memegang foto Liam di tangannya, Giyan terus memikirkan keanehan sikap Liam padanya. Lelaki itu terlihat perhatian padanya tapi sekaligus menahan diri. Liam bahkan tidak pernah mengatakan jika dia menyukai Giyan padahal mereka telah berpacaran. Apa wanita di foto itu adalah alasan keanehan sikap Liam? 

Apa Liam masih menjalin hubungan dengan wanita itu hingga dia masih menyimpan foto mereka ataukah hubungan mereka telah berakhir tapi Liam masih mengharapkannya? Giyan menggeleng-gelengkan kepalanya berkali-kali sambil berusaha menyimpan kembali foto tadi. Menatap foto itu hanya membuat perasaannya menjadi tidak nyaman. Dia cemburu.

Apa pun hubungan Liam dengan wanita yang ada di foto tadi, bukankah Giyan tidak berhak tahu. Apalagi dia dan Liam hanya dua orang yang kebetulan sedang terlibat hubungan yang aneh, Giyan yang begitu tergila-gila pada Liam, sedangkan Liam tidak. 

Tidak ingin pikiran dan perasaannya semakin terasa tidak nyaman, Giyan akhirnya benar-benar keluar dari kamar. Liam tidak terlihat saat Giyan telah berada di luar kamar, mungkin saja lelaki itu sedang berada di kamar tamu, seperti yang dikatakan Liam padanya tadi.

Perasaannya semakin tidak nyaman. Saat ini dia justru merasa berada di apartemen Liam bukanlah pilihan yang baik, mungkin sebaiknya dia pulang saja. Lebih baik menghadapi kemarahan Gwen daripada berada dalam situasi yang terasa aneh ini.

Setelah beberapa saat menunggu, Liam tak kunjung terlihat. Sambil membuang napas panjang, dia masuk kembali ke kamar Liam untuk mengambil tasnya. Jika dia memaksakan diri untuk berada di sini, sepertinya suasana akan semakin terasa canggung. Giyan yakin jika saat ini Liam sedang menghindarinya.

Tanpa berusaha mencari Liam lagi, Giyan kemudian mengirimkan pesan singkat ke ponsel Liam dan mengatakan jika dia akan pulang. Mungkin seharusnya hubungannya dengan Liam tidak dimulai, pada akhirnya dia sendiri yang merasa sakit.

"Siapa yang ngizinin lo pulang?" Suara berat itu membuat langkah kaki Giyan yang sudah berada di depan pintu terhenti. 

"Eh ... gue kira lo lagi tidur," ucap Giyan salah tingkah. 

"Kenapa lo tiba-tiba pulang tanpa pamit?" tanya Liam yang terlihat tidak peduli dengan ucapan Giyan tadi. Giyan terdiam, jawaban jujur apa yang bisa dikatakannya pada Liam? Dia pulang karena ciuman mereka tadi atau karena sosok wanita misterius yang ada di foto Liam tadi? 

"Gue ada kirim pesan tadi," balasnya.

"Ngapain pakai kirim pesan segala, lo bisa tinggal ngomong ke gue, kan?" tanya Liam terdengar tidak senang. Giyan semakin salah tingkah, apalagi saat melihat alis Liam yang hampir bertaut, menandakan jika lelaki itu sedang kesal.

"Gue kira lo tidur, makanya nggak mau ganggu lo," ucap Giyan sambil mengalihkan matanya. Menatap mata Liam saja bisa membuatnya kembali mengingat bagaimana raut wajah Liam yang ada di foto tadi, begitu bahagia dan terlihat tanpa beban. Mungkin saja karena sosok wanita yang sedang berfoto dengannya itu.

"Padahal tinggal ketuk dan panggil nama gue aja, nggak perlu pulang diam-diam kayak gini. Lagian tadi katanya lo mau menginap di sini," katanya dengan wajah penasaran.

"Gue pengen pulang, rasanya nggak nyaman aja ngerepotin lo. Dan ... Gwen juga kayaknya sudah nggak ada di apartemen," jelas Giyan terbata. Mata Liam menatap tajam ke arahnya, seolah ingin berkata 'lo nggak lagi bohong, kan?'.

"Makanya ... gue mau pulang aja," sambung Giyan dengan perasaan cemas, khawatir Liam akan tahu apa sebenarnya yang sedang dirasakannya saat ini.

"Bukan karena hal lain?" tanya Liam penuh selidik. Dari ucapannya, Giyan yakin jika Liam sepertinya tahu jika salah satu alasan dia ingin meninggalkan apartemen ini adalah karena ciuman tadi. Yang membuat Giyan kesal, Liam sama sekali tidak menjelaskan kenapa tadi dia tiba-tiba meninggalkannya, seolah menciumnya adalah sebuah kesalahan.

"Nggak ... bukan ..., bukan karena yang lain," ucap Giyan semakin salah tingkah. Haruskan dia menambahkan satu alasan lainnya lagi, alasan karena dia cemburu.

"Gue pulang dulu," kata Giyan yang merasa tidak bisa menyelesaikan kalimatnya.

"Kata siapa lo boleh pulang." Liam tiba-tiba mendekatkan tubuhnya hingga Giyan melangkah mundur dan membuatnya terkurung oleh tubuh Liam dan dinding.

"Gue yang bawa lo ke sini, jadi gue juga yang bakal antar lo pulang," sambungnya.

"Gue baru ingat kalau kita sudah berpacaran, jadi seharusnya gue nggak merasa bersalah karena mencium lo tadi." Liam mendekat dan menumpukan kedua lengannya di dinding hingga membuat Giyan seperti terkunci dan tidak bisa bergerak lagi.(*)

Halo, selanjutnya Hidden Part 20 bisa dibaca di KaryaKarsa ya. Semua hal yang nggak terjawab di sini, bakal kalian dapatin di sana 😁. Link buat baca ada di profil ya ❤️.

Hasta Lavista, Baby!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang