12. Merasa Seperti

851 146 2
                                    

Giyan merasa begitu gelisah saat mobil yang dibawa Liam mulai memasuki basement apartemennya. Apa sebenarnya yang ada di dalam pikiran lelaki itu hingga mengajaknya ke apartemennya?

Menurut Giyan jika ada seorang lelaki membawa wanita ke apartemennya, sudah pasti di antara keduanya ada hubungan khusus. Tapi bukankah tidak ada hubungan apa pun diantara dia dan Liam saat ini?

Semakin mengenal Liam, Giyan semakin tidak bisa menebak apa yang sebenarnya ada di pikiran lelaki itu. Dari yang tiba-tiba meninggalkan tempat makan dengan alasan yang rasanya terlalu mengada-ada sampai mengajaknya ke apartemen miliknya dengan alasan tidak ingin repot menjemputnya untuk datang ke acara nanti malam.

Yang menjadi masalah buat Giyan saat ini adalah pakaian yang dikenakannya. Seenaknya saja Liam memintanya untuk membeli pakaian di butik dan tidak perlu pulang. Bukankah malah lebih mudah untuk mengantarnya pulang dibanding menemaninya ke butik membeli pakaian baru? Giyan berdecak dan terus mengatakan betapa anehnya lelaki yang sedang berada di sebelahnya itu.

"Justru bakal makan waktu kalau gue mesti ke butik lagi buat cari pakaian," ucap Giyan dan berharap jika Liam akan berpikir mengenai ucapannya. Liam menoleh sesaat ke arah Giyan dan mematikan mesin mobilnya.

"Gue punya teman yang punya butik, lo tinggal lihat jualannya secara online dan nggak perlu bersusah payah keluar dari apartemen buat beli pakaian," balasnya dengan nada santai.

Giyan menahan napas karena sesungguhnya dia sedang kebingungan menanggapi ucapan Liam. Kali ini bukan masalah betapa mudahnya membeli pakaian yang akan digunakannya untuk nanti malam, tapi kenapa harus datang ke apartemen Liam sementara apartemennya sendiri terasa lebih nyaman.

"Ayo, kamar gue di lantai lima," kata Liam masih dengan wajah tanpa bebannya. Sudah terlanjur, begitu yang diucapkan Giyan di dalam. Mau ikut ke kamar Liam ataupun pulang sebenarnya tidak akan terlalu berpengaruh pada Liam. Giyan pun memutuskan untuk mengikuti lelaki itu menuju kamar apartemennya. Anggap saja sebagai salah satu cara untuk mengenal Lima lebih dalam, begitu yang diucapkannya di dalam hati.

"Lebih nyaman apartemen lo," ucap Liam ketika membuka pintu kamar apartemennya.

"Sama aja," komentar Giyan sambil mengedarkan matanya ke segala arah.

"Anggap aja kayak rumah sendiri," ucap Liam dengan santai. Giyan memberengut, mana mungkin dia menganggap apartemen orang lain seperti rumahnya sendiri. Biasanya jika di apartemennya, Giyan pasti akan mengenakan celana super pendek dan baju tanpa lengan sambil berbaring-baring di tempat tidurnya. Mana mungkin dia melakukan hal yang sama di apartemen Liam ini.

"Mau minum?" tawar Liam kemudian. Giyan mengangguk karena dia memang sedang merasa haus setelah seharian keduanya berada di luar.

Mata Giyan kembali mengedar ketika Liam beranjak untuk mengambil minuman. Apartemen Liam berukuran lebih besar dari apartemennya. Mungkin karena yang menempati adalah seorang lelaki, tidak ada apa-apa di ruang tamu apartemennya, hanya sofa dan meja tanpa ada hiasan apa pun. Giyan jadi penasaran dengan keadaan ruangannya yang lain.

Tak lama Liam datang dengan membawa sebotol air mineral dingin untuk Giyan. Gadis itu segera membuka botol dan meminumnya hingga habis separuh.

"Seharusnya tadi gue pulang aja, sekarang gue malah bingung mau ngapain di sini," cetus Giyan.

"Lo bisa pilih pakaian yang mau lo beli sekarang, nanti gue yang bayar," kata Liam sambil mengulurkan ponselnya yang telah membuka aplikasi belanja. Mata Giyan membesar dan menatap Liam dengan wajah tidak percaya. Sebenarnya saat ini dia sedang tidak ingin pakaian baru apalagi dibelikan oleh Liam.

"Jangan, nanti gue yang bayar sendiri," tolak Giyan sambil mengambil ponsel yang diberikan Liam padanya dan mulai memilih pakaian yang menarik untuknya.

"Ini benaran bisa langsung dikirim, kan?" tanya Giyan memastikan.

"Setengah jam sudah pasti sampai," jawab Liam dan membiarkan gadis itu sibuk dengan ponselnya. Dia kemudian masuk ke kamarnya dan berganti pakaian yang lebih santai. Udara panas di luar sana membuat tubuhnya terasa gerah, akhirnya dia memutuskan untuk mandi.

Giyan sudah menemukan pakaian yang diinginkannya saat Liam datang. Wajah lelaki itu terlihat lebih segar dari sebelum. Giyan mengendus dan mencium aroma wangi saat Liam duduk di sebelahnya. Tidak perlu ditebak lagi, Giyan tahu jika Liam baru saja mandi.

Wajah segar Liam yang baru selesai mandi malah membuat jantungnya berdetak dengan kencang, Giyan bahkan sampai memalingkan wajah agar tidak melihat wajah lelaki itu.

"Sudah dapat pakaiannya?" tanya Liam sambil memiringkan kepalanya agar bisa melihat ponselnya yang berada di tangan Giyan. Apa yang dilakukan Liam membuat Giyan menahan napas karena jarak mereka begitu dekat.

"Sudah," jawab Giyan dengan suara pelan.

"Sini biar gue bayarin," kata Liam meminta ponselnya.

"Sudah gue bayar tadi," balas Giyan dengan mata yang menatap ke arah Liam.

"Tadi gue, kan sudah bilang biar gue yang bayarin," katanya dengan wajah kesal. Giyan pura-pura tidak melihat wajah kesalnya dengan mengalihkan matanya dari Liam.

Terdengar helaan napas panjang Liam sesaat sebelum dia terlihat menghubungi seseorang dari ponselnya. Sepertinya Liam sedang menghubungi pemilik butik yang dikatakannya tadi. Dalam hati Giyan sedang berpikir hal apa lagi yang bisa dibicarakannya dengan Liam sementara lelaki itu terlihat seperti kesal padanya.

"Gu-gue boleh mandi?" tanya Giyan saat Liam menyelesaikan panggilan teleponnya. Padahal bukan itu yang ingin diucapkannya, tapi entah kenapa saat melihat wajah Liam, pikirannya mendadak kosong.

"Mandi? Tentu saja boleh," balas Liam dengan mata bersorot heran. Giyan terus memaki dirinya di dalam hati, kenapa malah mengatakan ingin mandi. 

"Eh ...." Giyan terdiam dan hampir mengatakan jika tiba-tiba saja dia tidak ingin mandi. 

"Gua ambilin handuk bersih buat lo dulu," kata Liam meninggalkan Giyan yang masih bengong karena ucapannya sendiri.

Bagaimana bisa dia dengan percaya dirinya mengatakan ingin mandi di apartemen seorang lelaki yang baru saja dikenalnya? 

"Bilang ke gue kalau lo butuh sesuatu," kata Liam sambil mengulurkan sehelai handuk berwarna putih pada Giyan. Giyan bengong selama beberapa saat hingga lelaki itu berlalu dari hadapannya. Mandi di apartemen Liam? Yang benar aja?

Giyan mengusap wajahnya yang terasa memanas karena memikirkan hal yang tidak seharusnya dia pikirkan. 

Setelah mengembuskan napasnya beberapa kali, Giyan kemudian beranjak dari duduknya. Dia pasti sudah tidak waras sampai menumpang mandi di apartemen Liam.

Liam sudah berada di ruang tamunya saat Giyan selesai mandi. Dia mandi dengan cepat karena sebenarnya merasa cemas dengan mandi di apartemen Liam. Tapi lumayan juga, setelah mandi dia merasa lebih segar walaupun masih mengenakan pakaian yang sama dengan tadi.

"Ini pakaian yang lo pesan tadi," ujar Liam sambil menunjuk sebuah bungkusan pada Giyan. Mata Giyan membesar karena tidak percaya jika pesanannya bisa datang secepat itu.

"Apa perlu di dry cleaning dulu?" tanya Liam.

"Nggak ... nggak perlu. Pakainya juga nggak lama kok," jawab Giyan.

"Cobalah dulu. Kalau kurang cocok, bisa segera lo tukar," kata Liam.

Entah kenapa Giyan merasakan interaksinya dengan Liam begitu aneh. Berada di apartemen yang sama, mandi di kamar mandinya, diminta mencoba pakaian baru, dan hal-hal yang membuat wajah Giyan semakin memanas. Dia merasa ... seperti benar-benar menjadi pacar Liam.(*)

Next ⏩⏩ Hidden part 12. Baca hanya di KaryaKarsa ya, link ada di profil ❤️

Hasta Lavista, Baby!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang