"Lo pasti tahu kalau tadi gue nggak serius dengan ucapan gue," ujar Liam tak lama setelah Javas meninggalkan keduanya. Giyan mengerling dan pura-pura tidak tertarik dengan ucapan Liam tadi. Padahal nyatanya tadi hampir saja dia kesulitan menahan napas karena ucapan Liam yang mengatakan akan pulang bersamanya.
"Gue cuma mau membantu lo yang kelihatan nggak nyaman dengan kehadiran Mas Javas tadi," sambungnya.
"Tentu aja gue tahu hal itu, nggak perlu lo jelasin. Gue juga nggak ngebet pengen pulang bareng lo," balasnya sementara dalam hatinya sedang memaki lelaki yang disukainya itu. Tadi Giyan memang sempat bersorak dalam hati karena tidak menyangka jika Liam yang dingin itu bisa begitu perhatian padanya. Tapi ternyata apa yang ada di pikirannya benar-benar tidak sesuai dengan kenyataan.
"Lain kali kalau memang merasa terganggu, jangan pernah lo ladeni dan berpura-pura ramah seperti tadi," ucap Liam.
"Gue bahkan lebih tahu tanpa harus lo nasehati," balas Giyan ketus karena masih kesal dengan ucapan Liam tadi. Kalau lelaki itu tidak serius ingin membantunya, seharus tadi dia tidak perlu berbasa-basi pada Javas seperti tadi.
Liam tidak berbicara apa pun lagi, yang ada dia malah beranjak dari duduk dan meninggalkan makanannya yang belum habis. Kening Giyan berkerut dan sedang mencoba memikirkan keanehan lelaki itu.
Liam memang sangat terkenal dengan sikap dingin dan tidak pedulinya, tapi setahu Giyan, perlakuan Liam pada orang lain tidak seketus perlakuan Liam padanya. Liam seperti memiliki dendam pada Giyan yang hingga saat ini selalu membuat Giyan bertanya-tanya apa sebenarnya kesalahannya. Dia tidak mengerti bagaimana nasib film yang akan mereka perankan nanti jika sikap Liam begitu dingin padanya.
Tinggallah Giyan dengan sepiring nasi goreng yang mendadak membuatnya tidak berselera. Kata makian tidak henti diucapkannya di dalam hati. Giyan heran kenapa dia masih mengagumi sosok lelaki menyebalkan seperti Liam padahal lelaki itu begitu ketus padanya.
"Yang lain sudah pada selesai makan, lo ngapain malam melamun." Giyan menoleh dan mendapatkan sosok Gwen telah duduk di sebelahnya, di kursi yang awalnya diduduki oleh Liam.
"Lagi nggak pengen makan," sahut Giyan sekenanya sambil meneguk air mineral yang ada di hadapannya. Saat ini Giyan bukan hanya kehilangan selera makan, tapi dia juga kehilangan semangat untuk berinteraksi dengan sesama artis yang lainnya. Apalagi alasannya kalau bukan karena Liam.
Giyan merasa begitu kesal sekaligus sakit hati. Biasanya dia tidak pernah peduli jika ada orang yang mengabaikannya karena dia akan membalas melakukan hal yang sama. Tapi saat Liam yang melakukannya, Giyan merasa seperti sedang patah hati.
"Gue mau pulang aja," cetus Giyan tiba-tiba dan membuat Gwen melongo.
"Secepat itu? Lo nggak sopan banget, habis makan langsung pulang," balas Gwen.
"Lalu yang seharusnya itu habis makan, bantu cuci piring?" tanya Giyan asal.
"Paling nggak, ngobrol-ngobrol dulu sama yang lain. Lo bakal dicap sombong kalau nggak mau berbaur dengan yang lain," kata Gwen seperti sedang memberi nasehat padanya.
"Nggak adil banget ya," ucap Giyan tiba-tiba-dan membuat Gwen menatapnya dengan wajah bingung.
"Nggak adil apanya?"
"Kalau artis lain bersikap sombong, nggak peduli dan sok cakep, nggak pernah tuh diomongin apa-apa. Tapi coba kalau gue yang kayak gitu, beritanya bakal sampai masuk ke infotainment," balas Giyan dengan wajah cemberut. Sesungguhnya kali ini dia sedang menyindir seseorang yang sayangnya orang itu pasti tidak akan mendengarnya karena dia berada jauh di pojok sana.
"Lo ngomong apaan sih," ucap Gwen sambil mengedarkan matanya ke sekeliling, khawatir ada orang yang mendengar pembicaraan Giyan tadi atau lebih parahnya ada wartawan gosip di sekitar mereka.
Gwen sadar jika Giyan sudah terlalu sering diberitakan di infotainment hanya karena hal-hal sepele dan tidak penting, yang seperti sengaja ingin menjatuhkan nama baik Giyan. Padahal Gwen sangat mengenal Giyan luar dalam. Lima tahun bekerja bersamanya membuat Gwen bisa mengatakan dengan yakin jika Giyan adalah sosok yang sangat baik sehingga mudah dimanfaatkan oleh orang lain.
"Basa-basi aja sebentar. Say hello dengan Mas Caraka atau siapalah itu, jangan langsung pulang," bisik Gwen dan ditanggapi Giyan dengan embusan napas panjang.
"Males banget deh," ucapnya sambil beranjak dari duduknya dengan enggan.
Sebenarnya Giyan adalah sosok yang ramah dan mudah bergaul dengan siapa saja. Tapi semenjak dirinya sering diberitakan tidak baik, dia mulai mengurangi kadar keramahannya dengan lebih memilah-milih teman.
"Lemas banget pemeran utama kita nih," sapa Caraka saat Giyan mendekat ke arahnya. Giyan tidak tahu lagi siapa yang bisa diajaknya mengobrol sedangkan yang lainnya seperti sudah memiliki grup obrolan sendiri, terkecuali lelaki yang sedang duduk di sudut sana, yang dari tadi sibuk dengan ponselnya.
"Ngantuk, Mas," jawab Giyan sekenanya.
"Akhirnya kita main film bareng lagi ya," timpal seorang wanita berambut pendek.
"Lo masih ingat aja kita pernah main film bareng," timpal Giyan sambil berusaha ramah.
Sebenarnya Giyan ingin berbicara berdua saja dengan Caraka dan menanyakan kenapa lelaki itu malah tertarik dan memilihnya menjadi pemeran utama. Tapi sayangnya dari tadi Caraka selalu dikelilingi oleh artis-artis dan juga kru film yang mengajaknya mengobrol.
Karena sepertinya tidak ada hal menarik yang bisa dilakukan selain berbasa-basi dengan sesama artis, Giyan akhirnya memutuskan untuk pulang.
"Pulang yuk," ajak Giyan pada Gwen. Tidak ingin melarang Giyan lagi, Gwen pun mengangguk dan mengikuti langkah Giyan.
"Syuting dimulai minggu depan, lo harus jaga kesehatan, jangan banyak bergadang," ucap Gwen sambil menandai catatan di ponselnya. Giyan hanya bergumam pelan menanggapi ucapan Gwen, padahal bergadang sambil menulis sebuah cerita adalah hal yang menyenangkan buat Giyan, apalagi setelah seharian dibuat penat oleh dunia artis.
"Besok pagi apa jadwal?" tanya Giyan setelah berada di dalam mobil.
"Sore ada pemotretan gaun rancangan Inez Kuswandi," jawab Gwen dan Giyan pun tersenyum senang karena artinya nanti malam dia memiliki banyak waktu untuk tenggelam dalam dunia imajinasinya.
"Kok nggak mau nyala ya?" Gwen seperti sedang berbicara pada diri sendiri sambil berusaha menyalakan mesin mobil. Giyan yang awalnya tidak peduli akhirnya memiringkan kepalanya ke arah Gwen untuk melihat apa yang terjadi.
"Minggu lalu, kan baru diservis," komentar Giyan.
"Mana gue tahu. Tuh, nggak mau nyala, kan?" balas Gwen mulai kesal karena keadaan di dalam mobil yang mulai terasa panas. Tidak tahan dengan udara di dalam mobil yang terasa sesak dan panas, Giyan pun memutuskan turun dari mobil, sedangkan Gwen masih berusaha menyalakan mobil.
Di saat yang bersamaan, sosok Liam berjalan mendekat dan hanya memalingkan wajah sesaat ketika melihat Giyan dan Gwen yang sedang kesulitan. Dengan wajah tidak pedulinya, dia kemudian masuk ke mobilnya yang berada tepat di depan mobil Giyan.
Sial! Giyan memaki di dalam hati. Bahkan sekadar menyapa saja tidak dilakukan lelaki itu.
"Kita naik taksi aja deh. Gue nggak tahu apa yang salah, biar orang bengkel aja yang kerjain." Gwen turun dari mobil sambil menyeka keningnya yang berkeringat.
"Biar gue antarin kalian pulang," ujar pemilik sedan biru yang berhenti tepat di sebelah Giyan. Giyan melengos dan pura-pura tidak tertarik.(*)
KAMU SEDANG MEMBACA
Hasta Lavista, Baby!
عاطفيةMemiliki dua pekerjaan membuat Giyanti Paramita seolah memiliki dua kepribadian. Sebagai Giyanti, seorang artis yang banyak mengundang decak kagum sekaligus cacian dari orang-orang. Dan sebagai Lynn, penulis misterius terkenal yang memiliki dunia kh...