22. Nggak Banyak Tahu

685 123 1
                                    

Wajah Giyan memerah, dia segera mengalihkan pandangannya dan membuat Liam penasaran. Liam kemudian memiringkan kepalanya, merasa tidak percaya dengan apa yang dikatakan Giyan. Dia bahkan mendekatkan wajahnya ke arah Giyan karena mengira pendengarannya yang salah.

"Bisa ulangi lagi?" tanya Liam dengan wajah serius. 

"Apanya yang diulangi," ucap Giyan sambil mendorong tubuh Liam menjauh dan beranjak dari duduknya. Sepertinya dia tidak bisa berlama-lama berada di dekat lelaki itu. 

Liam tidak tahu jika saat ini seluruh tubuh Giyan terasa gemetar. Giyan terus menyalahkan dirinya sendiri yang nekat berterus terang tentang perasaannya.

"Giyan ...," panggil Liam karena gadis itu malah beranjak meninggalkan ruang makan.

"Aku mau mandi dulu. Kamu habisin aja nasi gorengnya," kata Giyan sambil berusaha menenangkan perasaannya yang tak karuan. Sepertinya dia terlalu terbawa perasaan dan membuat Liam hampir tahu bagaimana perasaannya.

"Kita belum selesai bicara." Liam beranjak dari duduknya dan menarik lengan Giyan agar gadis itu menghentikan langkahnya.

"Nanti aja setelah aku mandi." Giyan berusaha menepiskan tangan Liam yang sedang berada di lengannya.

"Tadi aku hanya bercanda, jangan terlalu dipikirkan," ucap Giyan dengan wajah yang pura-pura dibuat setenang mungkin. Kening Liam berkerut dan menatap Giyan dengan raut wajah tidak percaya.

"Lagian kamu juga aneh banget kalau sampai percaya padaku." Giyan segera memalingkan wajah dan dengan satu gerakan berhasil menepis tangan Liam. Liam tidak bisa berkata-kata saat Giyan beranjak meninggalkannya.

Ada perasaan aneh yang terasa setelah Giyan beranjak pergi, tapi Liam tidak tahu apa itu. Dia yakin jika Giyan tidak sedang bercanda, wajah seriusnya serta suaranya yang lirih saat menjelaskan bagaimana perasaannya masih terekam dengan jelas di pikirannya. Mendadak dia merasa tidak berselera lagi dengan nasi goreng buatan Giyan yang berada di hadapannya.

"Kamu mandi atau ketiduran?" sindir Liam saat Giyan baru keluar dari kamarnya dengan rambutnya yang setengah basah. Giyan memang sengaja berlama-lama di kamar mandi agar bisa menenangkan diri dengan tidak bertemu Liam dulu. Dia merasa malu sekaligus canggung karena telah mengatakan perasaannya pada Liam. Dalam hatinya terus berharap jika Liam percaya jika dia hanya bercanda.

"Kenapa kamu nggak pulang aja kalau bosan nunggu aku mandi," balas Giyan. Kali ini dia telah berganti pakaian dengan mengenakan celana pendek dan kaos yang membuat mata Liam tak berkedip saat menatapnya.

Liam ingin sekali membahas pembicaraan mereka yang terhenti tadi tapi khawatir Giyan akan tidak senang dan benar-benar mengusirnya dari apartemen ini. Akhirnya Liam memilih menahan diri dan akan menunggu waktu yang tepat.

"Mau keluar?" tanya Liam setelah berusaha mengalihkan matanya ke arah lain, tidak pada Giyan lagi.

"Mau ke mana?" Pertanyaan Giyan seperti kode jika dia akan mengiakan ajakan Liam ke mana pun lelaki itu mengajaknya.

"Keluar aja, yang penting nggak di sini. Kamu nggak bosan apa dari kemarin di apartemen terus?" tanya Liam.

"Ayo," ajak Liam lagi. Liam merasa akan lebih mudah berbicara dengan Giyan jika mereka tidak berada di apartemen Giyan lagi. Mungkin gadis itu butuh suasana yang nyaman berbicara dengannya.

"Nanti sore kita syuting loh," kata Giyan mengingatkan.

"Tenang aja, sebelum sore kita sudah pulang kok," balas Liam. Walaupun terlihat ragu, Giyan kemudian menyambar ponselnya yang berada di meja dan mengikuti langkah Liam berjalan keluar dari apartemennya. 

Sesungguhnya rasa canggung masih menguasai pikirannya. Bagaimana bisa dia berpura-pura tenang sementara tadi baru saja mengutarakan perasaannya pada Liam. Rasanya Giyan ingin memaki dirinya terus menerus.

"Kamu nggak pernah pulang ke rumah orang tuamu?" tanya Giyan tiba-tiba. Melihat Liam yang sibuk dan tidak pernah bercerita tentang keluarganya, Giyan pun merasa penasaran.

"Biasanya dua atau tiga bulan sekali," jawab Liam. Sekilas dia menoleh ke arah Giyan dan menatapnya dengan wajah penasaran, Liam tidak mengerti kenapa Giyan tiba-tiba menanyakan hal itu padanya.

"Lama banget, padahal sama-sama di Jakarta, kan?" tanya Giyan lagi. Saat ini Giyan merasa lebih aman jika di mencari bahan pembicaraan yang tidak terlalu sensitif, yang bukan membahas mengenai hubungan mereka.

"Bagaimana lagi, kadang aku memang nggak punya waktu buat pulang. Karena biasanya kalau sudah pulang, malas banget mau kembali bekerja," jelas Liam.

"Kamu sendiri?" tanya Liam. Giyan menoleh dengan cepat ke arah Liam karena tidak menyangka jika lelaki itu akan mau tahu mengenai kehidupan pribadinya, biasanya selama ini dialah yang lebih sering mencari tahu mengenai Liam.

"Aku nggak punya tempat buat pulang," balasnya sambil membuka pintu mobil. Liam membiarkan Giyan masuk ke mobil terlebih dahulu dan dia melakukanya belakangan.

"Maksudnya?" tanya Liam tidak mengerti. Giyan terdiam sambil mengingat apa dia pernah bercerita mengenai keluarganya pada Liam hingga membuat lelaki itu terlihat bingung.

"Orang tuaku sudah berpisah," jawabnya dengan tenang. Perpisahan orang tuanya sudah lama terjadi sehingga membuat Giyan tidak merasa risih saat ada yang bertanya padanya.

"Papa dan keluarga barunya saat ini menetap di Inggris, kalau Mama dan keluarga barunya saat ini tinggal di Makassar," jelas Giyan.

"Mau pulang ke mana pun, aku bingung," sambungnya sambil terkekeh seolah apa yang diucapkannya adalah hal yang lucu.

"Ah itu ada es krim yang enak banget, coba berhenti sebentar," kata Giyan kegirangan saat mobil Liam baru saja meninggalkan apartemennya.

"Yang mana?" tanya Liam bingung. Tangan Giyan menunjuk sebuah kedai es krim yang tidak terlalu terlihat karena tertutup oleh beberapa kendaraan yang parkir di depannya.

"Singgah sebentar. Jarang-jarang bisa dapat es krimnya, biasanya keburu habis kalau agak sore." Giyan yang terlihat bersemangat membuat Liam menghentikan mobil dan membiarkan gadis itu keluar dari mobil.

Liam hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya saat Giyan kembali memasuki mobil dengan membawa dua buah es krim di tangannya.

"Buat kamu," katanya sambil tersenyum lebar. Melihat suasana hati Giyan yang terlihat lebih baik, Liam juga tersenyum sambil menerima es krim dari tangan gadis itu. Kalau tahu es krim yang bisa membuat suasana hatinya lebih baik, mungkin sejak tadi Liam sudah membelikannya.

"Habisin dulu baru kita jalan," ucap Giyan dengan mulut yang berlepotan es krim. 

"Kamu kayak anak kecil aja," kata Liam dan  mengambil sehelai tisu untuk gadis itu.

"Aku bisa sendiri." Giyan menyambar tisu dari tangan Liam dengan cepat dan segera membersihkan mulutnya. Dia tidak mau ada interaksi yang membuatnya kembali salah tingkah.

"Selain es krim, apalagi yang kamu suka? Kayaknya aku nggak banyak tahu tentang kamu," kata Liam sambil menoleh ke arah Giyan yang wajahnya kembali merona karena ucapan lelaki itu.(*)

Selanjutnya Hidden Part 22 bisa dibaca hanya di KaryaKarsa ya, link ada di profil ❤️.

Hasta Lavista, Baby!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang