30. Jangan Bersedih

892 103 0
                                    

Sadar jika dia baru saja mengucapkan hal yang tidak masuk akal, Giyan kemudian segera terdiam dan mengalihkan pandangannya agar Liam tidak melihat wajahnya yang memerah. Apa dia sudah gila dengan mengutarakan permintaannya tadi?

"Ulangi sekali lagi apa yang kamu katakan tadi," ucap Liam sementara keningnya masih berkerut karena ucapan Giyan tadi.

"Yang mana?" tanya Giyan pura-pura lupa dengan apa yang baru saja dikatakannya tadi.

"Aku hanya bercanda tadi," balas Giyan dengan wajah yang masih dialihkannya dari Liam. Dia pun pura-pura tertawa agar Liam yakin jika Giyan memang sedang bercanda.

"Kalau begitu, kali ini aku nggak akan bercanda. Ayo kita menikah, aku mau kok menjadi satu-satunya keluarga yang kamu percaya," ucap Liam dan membuat Giyan menegang.

"Aku nggak sedang bercanda," ulang Liam sekali lagi dan membuat Giyan menoleh ke arah lelaki itu dengan ragu.

"Sekarang," ucap Liam lagi.

"Nggak sekarang juga." Giyan menepuk lengan Liam dengan gemas dan membuat Liam tertawa dengan kerasnya.

"Tapi aku benar-benar ingin sekarang," kata Liam dengan nada serius.

"Jangan ngawur deh," balas Giyan sambil tersenyum masam. 

"Nggak, ini benar-benar serius. Aku memang sudah ingin mengatakannya tapi keduluan sama kamu."

"Ayolah, Liam. Jangan ngomong yang nggak-nggak," kata Giyan dengan wajah memelas karena khawatir Liam sedang mengerjainya sementara dia sudah hampir tidak bisa bernapas karena ulah lelaki itu.

"Kamu sih nggak sabaran banget," ucap Liam seperti sedang menggoda Giyan.

"Buat selanjutnya kamu bisa mengandalkan aku sebagai satu-satunya orang yang paling kami percaya. Jangan bersedih lagi," katanya lagi. Suaranya terdengar begitu lembut hingga Giyan mengira jika dia sedang bermimpi.

"Sekali pun kamu nggak mendapat perhatian dari orang tuamu, bukankah masih ada aku?" 

Giyan berdehem karena merasa Liam terasa berbeda. Dia seperti bukan Liam yang dikenal gadis itu. Bagaimana bisa Liam bersikap begitu perhatian dan memiliki sorot mata yang lembut.

"Tapi ... bukankah ini akan menghambat karirmu jika kita buru-buru memutuskan untuk ... bersama?" tanya Giyan ragu.

"Menurutku nggak ada hubungannya. Itu hanya mitos yang berkembang di dunia keartisan. Buat aku sih nggak ada bedanya," sahutnya.

"Sekarang yang jadi masalah utama, kamu bersedia, bukan?" Liam sampai menghentikan mobilnya di pinggir jalan yang sepi agar bisa mendengar apa yang akan dikatakan oleh Giyan.

"Kamu bicara apaan sih?" tanya Giyan yang merasa seluruh tubuhnya terasa panas dingin. 

"Kamu pura-pura nggak mengerti," goda Liam.

"Aku sudah pernah bercerita padamu jika selama ini nggak pernah menjalin hubungan dengan wanita mana pun secara serius, bukan? Sejujurnya itu juga terjadi saat aku mengajakmu berpacaran. Kamu pasti sudah tahu hal itu," kata Liam yang seperti akan memulai sebuah cerita panjang. 

Giyan merasa begitu salah tingkah apalagi saat tangan lelaki itu mulai menyentuh telapak tangannya.

"Aku kira kamu akan sama dengan wanita-wanita lain yang pernah kudekati," ucapnya.

"Ternyata malah kamu yang membuatku kewalahan menyembunyikan perasaanku." Wajah Giyan memanas, dia bahkan tidak berbicara apa pun setelah ucapan Liam berakhir. Dia malu sekaligus merasa senang saat mendengar ucapan Liam. Lelaki itu benar-benar membuatnya merasa salah tingkah.

"Aku juga nggak pernah berpikir tentang sebuah pernikahan. Apalagi semenjak kepergian Hayu, aku benar-benar ketakutan dan tidak mau merasa kehilangan lagi. Satu-satunya hal yang harus kuhindari tentu berhubungan serius dengan seseorang agar aku nggak akan pernah merasa kehilangan. Lagi-lagi kamu mematahkan keinginanku itu," ucap Liam. Dia menoleh ke arah Giyan dan menatap wajah gadis itu dalam-dalam. Dia sendiri saja tidak mengerti kenapa rasa ingin memiliki gadis itu terasa begitu besar.

"Aku benar-benar ingin bersamamu dan nggak mau merasakan kehilangan lagi." Sorot mata Liam meredup, ada nada sedih yang terdengar dari ucapannya.

Giyan yang tidak tahu harus berbicara apa kemudian mengulurkan tangannya dan memeluk lelaki itu. Dia juga merasakan hal yang sama jauh sebelum Liam mengutarakan apa yang dirasakannya. Tapi Giyan cukup tahu diri dan tidak pernah mengira jika Liam akan seserius ini dengannya.

"Bukan ... bukan hanya karena takut kehilangan, tapi aku benar-benar mencintaimu," bisiknya.

"Giyan ...." Liam mendorong tubuhnya perlahan hingga mereka saling bertatapan.

"Aku nggak terlalu berlebihan, kan? Kamu ... nggak takut dengan ucapanku tadi?"

"Atau mungkin aku terlalu terburu-buru?" tanya Liam seperti orang yang sedang mencemaskan sesuatu.

"Sama sekali nggak. Bukankah justru sebenarnya aku yang terlalu berlebihan sampai bisa menyukaimu jauh sebelum kamu mengenalku," balas Giyan sambil terkekeh seperti sedang menertawakan dirinya sendiri.

"Kamu membuatku salah tingkah aja. Ayo kita pulang sekarang," ajak Giyan berusaha menghilangkan kecanggungan di antara mereka.

"Pulang ke mana?" tanya Liam dengan sorot mata seperti sedang menggodanya.

"Tentu saja ke apartemenmu," balas Giyan sambil tersenyum. Dia pun memeluk lengan Liam sebelum lelaki itu menyalakan mobilnya lagi.

"Sudah merasa lebih baik?" tanya Liam.

"Aku baik-baik aja kok," jawab Giyan. Senyuman yang tersungging di bibir Giyan membuat Liam lega karena gadis itu tidak terlihat sedih lagi.

"Apa yang terjadi tadi?" tanya Liam penuh perhatian dan berusaha agar Giyan tidak merasa kembali sedih karena pertanyaannya.

"Mama melarangku bertemu dengan Papa. Dia bahkan memarahiku karena aku ingin bertemu Papa," sahut Giyan.

"Mama juga mengabaikanku dengan lebih memilih pekerjaannya padahal kami sangat jarang bisa bertemu," sambungnya.

"Aku jadi merasa dia sama sekali nggak peduli denganku."

"Sekarang kamu punya aku, bukan? Jangan khawatirkan apa pun lagi," ucap Liam sambil menepuk-nepuk kepala Giyan perlahan.

"Jadi nanti malam kamu nggak jadi menginap di hotel?" tanya Liam kemudian.

"Nggak deh, Mama juga nggak ada bilang apa-apa tadi," sahut Giyan.

"Bareng aku aja gimana?" tawarnya.

"Ke rumah orang tuamu?" tanya Giyan dengan mata memicing. Selama ini Giyan sama sekali belum pernah diajak menginap di rumah lelaki yang sedang dekat dengannya. Tentu saja tawaran dari Liam ini terdengar aneh buatnya.

"Nginap di sana?" tanyanya lagi.

"Iya, ada kamar kosong buat kamu kok. Aku bakal hubungi Ibu buat siapin kamar kamu," sahutnya.

"Aku nggak mau kamu bersedih lagi jadi lebih baik kamu ikut bersamaku daripada sendirian di apartemen, kan?" Giyan terlihat berpikir, sebenarnya dia masih merasa canggung jika harus berada di tengah-tengah keluarga Liam. Tapi lelaki itu seperti berharap jika Giyan mengiakan tawarannya.

"Baiklah," jawab Giyan sambil tersenyum.(*)

Satu bab lagi sebelum tamat ya 💃. Baca juga Hidden partnya di KaryaKarsa, link ada si profil ❤️❤️❤️

Hasta Lavista, Baby!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang