18. Mau Lo Apa?

790 127 5
                                    

Harusnya tadi Giyan berpikir ulang saat mengiakan ajakan Liam untuk bersama-sama ke lokasi syuting. Padahal Giyan selalu merasa tidak tenang saat berada di dekatnya, tapi dia malah nekat dan membuatnya berada dalam situasi yang serba salah ini.

"Lo masih ngerasa dingin, kan?" Liam mengulang pertanyaannya tadi dan justru membuat Giyan tidak berani menoleh ke arahnya. Menyebalkan. Giyan memang merasa kedinginan saat ini, angin pagi di area perkebunan teh berembus kencang, apalagi matahari belum menampakkan wujudnya. Giyan justru ingin memaki Liam karena pertanyaannya itu. 

Mata Liam memicing menatap gadis yang berada di sebelahnya. Liam begitu penasaran apa yang sedang dipikirkan Giyan sehingga membuatnya tidak langsung menjawab pertanyaannya.

"Peluk aja, nggak ada yang lihat kok," ucap Liam dengan nada santai seolah sedang berbicara basa-basi pada Giyan. Mata Giyan kontan melotot tajam, memang sih saat ini dia merasa sangat kedinginan. Tapi menuruti perkataan Liam tadi tentu merupakan hal yang memalukan. Memeluknya? Mau sih, tapi, kan malu.

"Terasa lebih hangat, kan?" Tiba-tiba saja lengan besar itu menariknya mendekat dan merangkulnya dari belakang. Seluruh punggung Giyan terasa hangat karena rangkulan Liam. Giyan bisa merasakan jika saat ini dia bersandar tepat di dada bidang lelaki yang selalu saja membuat jantungnya berdetak begitu kencang. 

"Tunggulah sebentar, ojek-ojek yang mengantar kru film akan segera kembali," ucap Liam lagi. Bibir Giyan terasa membeku, dia tidak tahu apa karena kedinginan atau terlalu tegang akibat pelukan Liam. Beberapa kali gadis itu teras memaki dirinya sendiri dan berusaha menyadarkan dirinya kalau dia tidak boleh terlalu menunjukkan pada Liam jika saat ini dia merasa nyaman dengan pelukan lelaki itu. Kali ini Giyan bahkan merasa otaknya juga ikut membeku.

"Gue ... sudah merasa lebih hangat kok," ucap Giyan terbata. Rasa canggung dan malu membuat tubuhnya memanas dengan sendirinya, sepertinya pelukan Liam begitu manjur di udara dingin ini.

"Serius? Masih dingin loh," balas Liam yang tidak percaya dengan ucapan Giyan. Liam tahu jika dari tadi Giyan terlihat tidak tenang saat berada di pelukannya dan entah kenapa dia merasa senang dengan sikap Giyan itu. Liam merasa perlu sedikit menggoda gadis itu.

"Sekarang malah tangan gue yang terasa dingin," keluh Liam. Giyan segera menoleh ke arah Liam dan membuat wajah keduanya begitu dekat.

"Masa sih, tadii rasanya hangat kok," ucap Giyan tidak percaya. Dia segera menjauhkan wajahnya karena merasa posisinya saat ini terasa begitu intim. Memang sih kata Liam, mereka sudah berpacaran, tapi tetap saja Giyan belum terbiasa dengan kedekatan mereka. Walaupun naksir Liam setengah mati, Giyan tidak mau mempermalukan dirinya dengan menunjukkan perasaannya terang-terangan pada Liam.

"Ini kalau nggak percaya," ucap Liam sambil menyentuh dan menggenggam tangan Giyan. Sentuhan tangan Liam membuat Giyan menahan napasnya. 

"Siapa suruh tadi lo kasih jaket lo buat gue," omel Giyan sambil berusaha melepas jaket Liam dari tubuhnya.

"Nggak perlu, lo aja yang pakai." Tangan Liam dengan cepat menahan tangan Giyan agar gadis itu tidak membuka jaketnya.

"Tapi tangan lo dingin." 

"Dingin sih, tapi masih bisa gue tahan kok. Nggak kayak lo yang baru dingin kayak gini aja sudah merengek. Jangan-jangan seumur hidup lo belum pernah melihat salju ya?" ledek Liam dan membuat mata Giyan membesar. 

"Gue sumpahin lo ngerasa kedinginan sampai ke tulang-tulang," ancam Giyan yang merasa kesal dengan ledekan Liam. Liam tertawa dengan kerasnya dan semakin membuat Giyan merasa kesal. Hampir saja Giyan terjebak dengan perasaannya sendiri dan menganggap apa yang dilakukan Liam tadi begitu romantis.

Hasta Lavista, Baby!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang