Sudah dua hari Giyan tidak bertemu dengan Liam. Terakhir kali mereka bertemu saat di apartemen Liam tempo hari, setelah itu Giyan menahan diri untuk tidak menghubungi Liam. Dia terlalu malu untuk sekadar menanyakan bagaimana kabar lelaki itu, walaupun sebenarnya dia penasaran dengan keadaan Liam.
"Berita tentang lo pacaran dengan Liam selalu ada tiap hari di infotainment," ucap Gwen sambil melirik ke arahnya. Sejujurnya Giyan sudah bosan mendengar ucapan Gwen yang bernada menyindir dari kemarin. Gwen memang tidak marah, tapi dia terus menerus menyindirnya, seolah Giyan telah melakukan sebuah kesalahan.
"Biarin aja," balas Giyan seperti tidak peduli.
"Gue masih nggak percaya kalau Liam yang duluan ngajak lo jadian. Padahal kata lo, dia nggak ada perasaan apa-apa ke lo," ujar Gwen. Giyan kemudian menarik napas panjang dan menghentikan gerakan tangannya yang sedang mengetik.
"Tanya aja sama orangnya sendiri kalau lo nggak percaya," balas Giyan.
"Tapi, kan seharusnya nggak secepat ini. Kalau kalian jadian sekarang, orang-orang bisa aja berpikir kalian hanya berpura-pura pacaran untuk menaikkan rating film kalian yang akan rilis," jelas Gwen.
Giyan terdiam sesaat dan mendadak memikirkan ucapan Gwen. Apa mungkin alasan Liam mengajaknya pacaran juga karena hal itu?
"Gue lagi nggak mau mikirin orang-orang yang sirik sama kehidupan gue," ucap Giyan sekenanya. Matanya kemudian mengarah kembali pada layar laptop di hadapannya. Saat ini Giyan berusaha tidak menanggapi apa yang diucapkan Gwen tentang hubungannya dengan Liam karena sejujurnya dia sedang tidak ingin memikirkan lelaki itu.
"Nanti sore jadwal syuting lo," kata Gwen mengingatkan. Giyan bergumam pelan membalas ucapan Gwen.
Benar saja, bukannya berkonsentrasi dengan ketikannya, Giyan malah memikirkan Liam. Menyebalkan, gerutunya di dalam hati.
"Jadi ... seharusnya lo senang karena bisa berpacaran dengan Liam, kan?" tanya Gwen penuh selidik. Giyan mengira pembicaraan tentang hubungannya dengan Liam sudah selesai, tapi nyatanya tidak.
"Ya senang sih," jawab Giyan tidak bersemangat karena memikirkan apa yang sedang terjadi antara dia dan Liam. Buat apa dia merasa senang dengan hubungan mereka jika pada kenyataannya tidak demikian dengan Liam. Walaupun tahu jika Liam tidak benar-benar serius dengannya, Giyan enggan mengakhir hubungan anehnya itu.
"Buat selanjutnya lo harus berhati-hati," ucap Gwen dan membuat Giyan menatapnya dengan wajah bingung.
"Kenapa mesti berhati-hati? Apa ada yang nggak benar?" tanyanya.
"Nggak sih. Berpacaran dengan sesama artis, artinya lo harus siap menerima risiko. Entah itu digosipin hal yang nggak benar atau yang lainnya. Yang pasti, mental lo harus lebih kuat dari sekarang," jelasnya panjang lebar.
Untuk hal itu tentu saja Giyan sudah tahu. Tapi dia kembali berpikir dengan keras saat Gwen menasehatinya. Bagaimana jika keputusannya untuk berpacaran dengan Liam bukanlah sesuatu yang baik. Bisa saja dia akan diserang orang penggemar fanatik Liam atau mungkin ada salah seorang wanita yang pernah didekati oleh Liam merasa tidak terima dengan kedekatan mereka.
Kening Giyan berkerut-kerut saat dia memikirkan hal itu dan memancing rasa ingin tahu Gwen.
"Lo kenapa?" tanya Gwen penasaran.
"Ah ... nggak. Gue cuma kepikiran tentang cerita yang belum selesai ini," kilahnya sambil pura-pura melanjutkan ketikannya yang terhenti tadi.
"Sudah ditanyain terus sama editor. Katanya kalau bisa minggu depan harus selesai agar bisa segera dibaca oleh editor," balas Gwen. Giyan hanya mengangguk-anggukan kepalanya saat mendengar ucapan Gwen padahal pikirannya saat ini sedang kosong, sama sekali tidak bisa diajak bekerja sama untuk menuliskan sebuah cerita.
"Kayaknya ada yang datang," cetus Gwen tiba-tiba. Suara bel pintu memang terdengar beberapa kali dan Giyan terlihat tidak peduli karena ada hal yang lebih penting dipikirkannya saat ini.
"Petugas apartemen kali. Tadi pagi gue ada ngelaporin tentang air yang macet," ucap Giyan dengan mata yang tidak beralih dari layar laptopnya.
"Gue lihat dulu," ucap Gwen dan dengan cepat beranjak dari duduknya.
Meskipun telah menarik napas berkali-kali, Giyan masih juga belum merasa tenang. Dia selalu saja merasa serba salah jika memikirkan tentang Liam.
"Ada Liam ...," ucap Gwen bersamaan dengan seseorang yang mengikuti langkahnya dari belakang. Mata Giyan membesar dan dengan cepat tangannya menutup laptopnya agar Liam tidak bisa melihat apa yang sedang dikerjakannya.
"Gue haus, mau beli minuman di depan dulu. Mau nitip?" tanya Gwen. Dari wajahnya saja terlihat jelas jika Gwen sengaja mencari alasan untuk membiarkan Liam bisa berdua saja dengan Giyan.
"Nggak deh," jawab Giyan tidak bersemangat. Gwen beranjak meninggalkan apartemen Giyan setelah gadis itu tidak berkata apa-apa lagi. Gwen sengaja berpura-pura ingin mencari minuman, agar Liam dan Giyan memiliki waktu untuk berdua tanpa merasa terganggu karena keberadaannya. Walaupun masih kesal dengan Giyan yang tidak menceritakan tentang hubungannya dan Liam, tapi Gwen merasa senang karena akhirnya Giyan dan Liam bisa memiliki hubungan yang serius.
Belum ada yang saling berbicara sesaat setelah Gwen meninggalkan apartemennya. Liam duduk di salah satu sofa yang berada tepat di hadapan Giyan. Merasa sedang diperhatikan oleh Liam, Giyan kemudian melepaskan kacamatanya dan mengumpulkan keberanian untuk menatap Liam.
"Ada apa, kok tiba-tiba ke sini?" tanya Giyan.
"Kita nggak lagi sedang berantem, kan?" Liam malah balas bertanya hingga membuat kening Giyan berkerut.
"Kamu dingin banget," sambungnya. Mendadak Giyan merasa jantungnya berdegup lebih kencang hanya karena kata 'kamu' yang diucapkan oleh Liam. Semenjak Liam meminta untuk menyebutkan panggilan yang lebih akrab, Giyan belum berani melakukannya. Panggilan aku-kamu itu terlalu akrab dan rasanya dia belum pantas melakukannya pada Liam.
"Gimana nggak dingin, lo ... ka-kamu datangnya saat aku lagi sibuk," balas Giyan terbata. Jika ada Gwen di sini, sudah pasti manajernya itu akan menertawakan percakapan mereka.
"Kamu ngapain sampai dua hari ini seperti menghilang?" tanya Liam sambil mendekat ke arah Giyan. Giyan panik, khawatir Liam akan membuka laptopnya dan melihat apa yang sedang dikerjakannya. Belum saatnya Liam mengetahui jika penulis kesukaannya adalah Giyan.
"Ada proyek iklan baru, aku lagi pelajari naskahnya," kata Giyan. Kalimat yang diucapkannya penuh dengan kebohongan, Giyan hanya bisa berharap jika Liam tidak tahu jika dia sedang berbohong.
"Sampai nggak ada kabar selama dua hari?" tanya Liam.
"Kenapa nggak dicariin kalau nggak ada kabar," balas Giyan ketus. Liam terkekeh dan merasa yakin jika Giyan sedang salah tingkah saat dia mendekat ke arahnya.
"Ini sudah dicariin," ucap Liam.
"Kamu ... manis juga kalau lagi di rumah," kata Liam lagi sambil menatap Giyan tanpa berkedip.
"Jangan bercanda deh," ucap Giyan tidak senang dan menatap Liam dengan kesal, padahal sebenarnya dia hampir tidak bisa bernapas karena apa yang dilakukan Liam tadi. Apanya yang manis, wajahnya saja polos tanpa riasan, pakaiannya apalagi, dia hanya mengenakan kaos kedodoran dan celana pendek.
"Kamu juga nggak hubungi aku selama dua hari ini. Kamu pasti jauh lebih sibuk dari aku," sindir Giyan.
"Oya?" balas Liam seperti sedang mengejeknya hingga Giyan memasang wajah cemberut.
"Kamu ... aneh banget hari ini. Kalau nggak ada keperluan penting, mending pulang aja sana," usir Giyan dengan perasaan tak karuan.
"Mana bisa aku pulang kalau ... masih kangen."(*)
Yakin nggak penasaran kelanjutannya?Baca Hidden Part 21 dengan POV Liam di KaryaKarsa ya. Link ada di profil ❤️
KAMU SEDANG MEMBACA
Hasta Lavista, Baby!
RomansaMemiliki dua pekerjaan membuat Giyanti Paramita seolah memiliki dua kepribadian. Sebagai Giyanti, seorang artis yang banyak mengundang decak kagum sekaligus cacian dari orang-orang. Dan sebagai Lynn, penulis misterius terkenal yang memiliki dunia kh...